" Sial! Aku benar-benar nggak nyangka ya, apa mereka masih bisa disebut keluarga?." Mingke terengah-engah mengatur napas karena marah.
Mela cepat menyodorkan segelas air.
" Tenangkan dirimu." Ucap Mela yang masih bingung.
Dia baru saja membersihkan flatnya saat Mingke, sahabat kecilnya ini menerobos masuk dan membanting barang bawannya di meja makan. Ini flat kecil yang disewa Mela di sekitar kampusnya.
" Mel...!." Sentak Mingke dengan tatapan marah. " Mereka udah sejahat itu dan kamu masih bilang tenang."
Mingke menampar meja dengan kesal. Membanting pantatnya di kursi.
" Mereka... Dia ibumu, sepupumu dan pacar bajinganmu." Mata Mingke menyala.
" Mereka terlalu kejam." Dengusnya.
" Kamu!." Mingke mengenggam kasar lengan Mela.
" Kenapa tidak bilang padaku?aku bisa membawa tongkat bisbolku memghancurkan mereka semua."
" Mingke, ini sebenarnya ada apa?."
" Jangan berpura-pura tidak tahu."Mingke menatap kejam. " Si perek Jamila dan si brengsek David itu akan bertunangan dan itu diatur oleh ibumu."
Wajah Mingke memerah menahan emosi.
" Ibumu...itu ..wanita itu apa benar-benar ibumu?!." Mela sedikit tertekan mendengar pertanyaan sahabatnya ini.
Sejujurnya, dia juga memiliki pertanyaan ini dalam benaknya dalam jangka waktu lama. Apa dia benar-benar anak yang dilahirkan oleh ibunya? Bukan anak angkat? Kenapa ibu memperlakukan dia sangat berbeda dengan kakaknya? Seolah-olah semua hal hanya penting untuk Nina, kakaknya.
Gigi Mingke gemeretak." Ibu kandung mana yang mengatur pacar anaknya menjadi tunangan keponakannya? Apa hatinya dimakan binatang?."
" Aku juga mengetahui itu beberapa hari lalu, karena kedua keluarga sudah sepakat dan David juga tidak menentang, aku memilih diam dan menganggap semuanya hanya lelucon."
Kata Mela dengan ekspresi datar.
" Untuk apa mempermasalahkan?Kalau aku membuat keributan, David akan merasa diatas angin dan Milan akan merasa menang. Cukup tahu saja kalau mereka bukan manusia." Lanjut Mela lagi.
Emosi Mingke perlahan surut.
" Kamu yakin baik-baik saja?." Dia mengamati sahabatnya.
Mela mengangguk.
" Tenang saja. Aku tidak akan kacau hanya karena dua sampah itu."
Mingke bangkit memeluk Mela.
" Benar sekali. Jangan terpengaruh dengan sampah masyarakat kayak mereka. Ini benar-benar sahabatku, Melaku yang kukenal." Mingke tertawa menepuk punggung Mela.
" Jangan takut. Bahkan kalau mereka meninggalkan kamu. Aku masih disini." Mingke menepuk dadanya.
" Aku akan selalu disisimu. Kita ini best friend. Oh...bukan...bukan....duo sisters."
Mile dan Mingke dilahirkan oleh dua sahabat, Milani, ibu Mingke, Nima ibu Mela. Milani dan Nima satu SMA kemudian berlanjut di universitas karena itulah mereka menjadi dekat kemudian bersahabat. Ketika keduanya sudah menikah, Nima tinggal di rumah warisan mertuanya yang ternyata bersebelahan dengan rumah yang dibeli untuk investasi oleh Milani. Karena sahabatnya tinggal dikawasan itu dan bersebelahan, Milani akhirnya memilih pindah kesana juga.
Nima memiliki tiga anak, Naufal, Nina dan Mela.
Milani memiliki Miller dan Mingke.
Mela dan Mingke lahir di bulan April hanya tanggal yang berbeda, Mile tanggal 5 dan Mingke tanggal 28.
Sejak usia lima tahun, ulang tahun keduanya dirayakan bersamaan.
Ayah Mela bekerja di perusahaan swasta bergengsi, setelah bekerja keras bertahun-tahun, dia akhir berhasil menanjak ke posisi Direktur.
Ibu Mela bekerja di kantor pemerintah dengan jabatan kasub. Kakaknya, Naufal menjadi karyawan kantoran dan Nina berada di semester terakhir. Mela sendiri kuliah di fakultas bisnis semester 4. Walaupun usia mereka berpaut 5 tahun, namun Mela nyaris mengejar ketertinggalannya dengan Nina dalam akademik karena Nina agak lamban dalam menyelesaikan kuliah.
Ayah Mingke dulunya juga pegawai swasta biasa kemudian memutuskan resign dan membuka usaha sendiri walaupun tidak dikatakan kecil, perusahan IT ayah Mingke cukup punya nama di Kota M. Kakaknya Miller setelah lulus S1 juga merintis usaha, setelah pijakannya merasa aman, dia melanjutkan S2.
Milani tetap bekerja sebagai pengacara meskipun sekarang tidak lagi menangani banyak kasus dan lebih memilih melatih pengacara muda yang direkrutnya kedalam perusahaan miliknya.
Dulu, Milani dan Nima akur menghabiskan akhir pekan mereka bersama keluarga, namun seiring waktu, jabatan membuat pekerjaan mereka juga makin banyak, Nima sibuk diluar.
Bahkan untuk ulang tahunnya, Mela hanya merayakannya bersama Mingke dan Keluarganya.
Saat itulah, Milani menganggap keduanya putri kembarnya. Pengambilan rapor Mela juga di wakilkan oleh Milani.
Dan semuanya berlanjut seperti itu sampai mereka kuliah.
Sekitar 6 bulan lalu, Mela protes karena kebijakan Nima yang hanya punya waktu untuk Nina dan selalu memprioritaskan Nina. Nima malah menuduh Mela bersikap arogan karena banyak bergaul dengan keluarga orang lain.
Nima bahkan mengatakan kalau dirinya tidak menyesal membuang satu anak yang tidak patuh, Mela yang juga emosi setuju untuk hidup diluar tanggung jawab ibunya dan meminta pemberian nenek Intan berupa sertifikat tanah dan kepemilikan toserba.
Nenek Intan merupakan Tante ayah Mela yang memilih hidup menjanda setelah suaminya meninggal dalam tugas dan tidak memiliki anak. Dia sering menemani wanita tua itu sebelum meninggal, karenanya, dia meninggalkan dua hal ini pada Mela yang uangnya malah sering dipake oleh Nina.
Terbawa emosi, Nima melemparkan sertifikat itu pada Mela yang pergi hari itu juga.
Miller yang kebetulan pulang membantu Mela mendapatkan Flat disekitar kampus. Dengan menggadai perhiasannya, Mela berinvestasi di bisnis Miller untuk mendapat penghasilan tambahan.
Saat mengetahui pertengkaran ibu dan adiknya, Naufal cepat menemui Mela dan membujuknya untuk kembali tapi Mela berkeras untuk terpisah.
Sedang Nima malah memarahi Naufal dan mengatakan kalau Nina sudah cukup menjadi kebanggaan keluarga.
Naufal juga sudah jarang pulang. Ayah Mela tidak tahu tentang perselisihan ini, hanya menganggap anak-anaknya keluar untuk hidup mandiri.
Mingke dan Ibunyalah yang selalu datang menjenguk Mela di flatnya.
Keduanya tertawa lagi. Mingke langsung lupa akan kemarahannya dengan sangat membuka barang bawaannya.
" Tadi, aku dan ibu memasak khusus untukmu."
" Banyak banget." Mela ikut membantu membuka kotak makanan.
" Kata ibu, ini bisa disimpan di kulkas, kamu bisa panaskan kalau kamu mau makan." Mingke mengoceh.
" Jangan keseringan makan mie instan. Biarpun kamu genius tapi kalau kebanyakan makan micin, otakmu bisa karatan." Mingke menepuk kepala Mela.
Mela yang tidak terima balik membalas membuat Mingke menjerit sakit. Mela awalnya ingin meledek Mingke lebay tapi melihat memar di dahi Mingke dia tertegun.
Dia cepat menyibak rambut gadis itu.
" Kenapa dengan kepalamu?kok lebam gitu?."
" Dipukul ibu." Jawab Mingke cepat menutupinya kembali dengan rambut.
" Tante Kami selalu lembut, nggak biasa pake kekerasan kayak gitu. Kamu bikin salah apa?."
Mela mengintrogasi.
Dengan muka manyun, Mingke menjelaskan.
" Setelah tahu kalau jamilun dan si dedak itu mau tunangan dan diatur ma Mama kamu, aku bilang kalau kamu itu bukan anak kandung Tante Nima. Mama langsung bilang kalau dia melihat sendiri kamu dilahirkan. Jadi aku bilang lagi kalau kamu mungkin anak pria lain yang tidak diinginkan. Ibu mukul pundakku.
Aku langsung bilang kalau ibu juga mulai kasar, mungkin ibu juga bukan ibuku. Aku di tabok deh pake roll kayu." Mingke mengusap dahinya.
" Kamu sih mulutnya nggak dijaga." Mela menanggapi.
" Iya. Tadi juga ibu agak sedih gitu bilang kalau sampai kapanpun, aku itu anaknya, bahkan kalau aku tidak mengakuinya." Kata Mingke cemberut.
" Kamu udah minta maaf?."
" Udah. Aku sampai merengek-rengek minta maaf."
" Jangan gitulah. Bikin Tante Lani Baper."
" Iya. Aku juga nyesel kali ngomong ngasal gitu."
" Ayo keruang tengah. Aku obati." Ajak Mela.
" Beresin ini dulu lah." Kata Mingke cepat membereskan kekacauan diatas meja dibantu Mela.
" Terus ini apaan?." Tunjuk Mela pada ransel besar di kursi samping Mingke.
" Barang-barang ku." Mingke nyengir." Aku mau nginap."
" Kamu tidak sedang berantem ma Tante, kan?." Selidik Mela. Dia tahu, Mingke sangat jarang berpisah dengan ibunya.
" Enggaklah." Ucap Mingke cepat." Kamu bisa nelpon ke rumah kalau nggak percaya."
" Iya deh, percaya." Mela cepat mengambil alih ransel Mingke dan membawanya keruang tengah.
" Tempat tidurku nggak terlalu besar, tapi masih muat berdua asal kamu nggak main silat aja kalau lagi tidur." Kata Mela usai mengobati luka Mingke. Mereka memasuki kamar tidur.
" Bukannya masih ada kamar kosong, ya?."
" Ada dua lagi, satu benar-benar kosong satunya aku bikin gudang."
Mela mengajak Mingke melihat kamar lainnya.
" Dulu aku pernah tawarin ke kamu, kalau praktekmu padat dan sampai malam, kamu bisa nginap disini. Kalau kamu pengen punya kamar sendiri, kamu bisa pake kamar ini. Makanya kubiarin kosong begini, tiap hari tetap aku bersihin sih."
" Lumayan besar, ya?."
" Yah....kalau dibandingin ma kamar di rumahmu sih gak besar. Ini seukuran kamarku kok."
" Serius, ya? Aku bisa tinggal disini?." Mingke cepat memasang mata cerah.
Mela mengangguk cepat.
" Tentu saja. Kalau mau, kamu tinggal bilang kapan mau pindah dan mengatur kamarnya."
" Hari ini ajalah." Putus Mingke setelah berpikir sebentar.
" Hari ini?!."
" Iya. Kenapa? Kamu menyesal sekarang?." Mingke menggoda Mela yang tekejut.
" Bukan itu." Sela Mela cepat." Mendadak banget."
"Kita cuma butuh beli beberapa furniture, kan?!."
" Temboknya gimana?biarin polos begitu?."
" Beliin aja wallpaper untuk dua sisi, sisi lainnya biarin putih polos."
" Mau pergi siang atau sore?."
" Sekarang ajalah. Kita makan siang diluar aja."
" Ya udah, aku mandi dulu." Kata Mela cepat.
" Kamu belum mandi ternyata."
" Orang habis beres-beres tiba-tiba kamu nongol."
***