"Mau apa lo ke sini?!" Dari nada bicara yang digunakan, sudah jelas menunjukkan kalau Marsell sama sekali tidak suka dengan kehadiran orang tersebut di tempat yang merupkan Rumahnya.
Mendengar suara yang tidak asing di telinganya, membuat cowok bertubuh tinggi yang sekarang menggunakan kemeja hitam dengan bawahan celana jeans melirik ke arah dari mana suara itu berasal.
Menatapnya beberapa saat sampai akhirnya berbicara, "Bukan urusan lo." Dengan sebuah nada yang begitu datar orang itu menjawab dan kemudian melangkahkan kakinya beberapa langkah.
Saat orang itu melangkahkan kakinya beberapa langkah, hal yang sama Marsell lakukan ke arah di mana cowok itu berada. Dalam jarak yang jauh lebih dekat dari sebelumnya, Marsell menatap cowok itu dengan tatapan yang begitu tajam.
Cowok itu menatap Marsell dengan tatapan yang datar, sepertinya di sini cowok itu lebih bisa mengontrol bagaimana cara menunjukkan rasa benci yang dia miliki pada Marsell, tidak seperti Marsell yang secara terang-terangan menunjukkannya.
"Segera pergi dari Rumah gue!" Tidak bisa menurunkan nada bicara, Marsell masih berucap dengan menggunakan nada yang tinggi, apalagi saat sekarang isi dari kalimat yang Marsell ucapkan adalah sebuah kalimat pengusiran.
Sebuah senyuman kecil terukir di bibir cowok itu. "Jangan terlalu menekankan kalau ini adalah Rumah lo. Tujuan gue ke sini bukan untuk ke Rumah lo, tapi ke orang yang pada waktu sekarang sedang tinggal di tempat yang lo akui adalah Rumah lo."
Rasanya tidak ada sebuah tujuan atau manfaat untuk dirinya jika di waktu sekarang dirinya dengan sengaja berkunjung ke Rumah Marsell. Alasan kenapa dirinya berunjung, karena ada seseorang yang ingin dia tuju sekarang dan memang dia tinggal di dalam Rumah ini.
"Sekarang gue sudah datang, cepat pergi dari Rumah gue!" seru Marsell yang begitu menunjukkan kalau dirinya sama sekali tidak ingin melihat cowok ini berada di hadapannya, sehingga tidak heran jika sedari tadi kalimat yang sudah Marsell ucapkan berisikan sebuah pengusiran untuk cowok tersebut.
"Kamu tidak bisa seenaknya mengusir anak saya!" Suara wanita datang, langkah kakinya masih belum berhenti. Wanita itu berjalan menuju ke tempat di mana anaknya dan juga Marsell berada.
Melihat siapa wanita yang sekarang tengah melangkahkan kaki menuju ke tempatnya, membuat sebuah amarah dalam dirinya kembali muncul dan membuat amarah yang sudah ada menjadi semakin bertambah.
"Kalau gue tidak bisa mengusir anak lo, silakan usir dia dari Rumah gue!" tekan Marsell dengan tatapan yang begitu tajam dengan sebuah emosinya yang terbendung di dalamnya.
Mendengar kalimat tersebut, membuat dirinya melangkahkan kakinya maju dan mendekat ke arah di mana Marsell berada. "Jaga bicara lo saat berbicara dengan Nyokap gue!" tekan cowok tersebut yang memang dirinya merasa tidak terima dengan cara Marsell yang tengah berbicara dengan Nyokapnya, Novita.
"Wanita seperti Nyokap lo gak pantas untuk gue hormati. Jadi, mau bagaimana pun gue berucap itu terserah gue. Lo gak ada urusan di dalam hal ini!" Jari telunjuk Marsell menekan dada cowok itu dengan begitu kuat.
Belum sempat Marsell yang menarik tangannya, tapi cowok itu sudah menggenggam kuat pergelangan Marsell. "Kalau lo gak bisa menghargai Nyokap gue, jangan salahkan gue kalau gue gak bisa menjaga sikap gue sama lo!" tekan cowok itu balik.
Dilihat dari cara mereka berhadapan, cukup terlihat kalau mereka berdua memiliki sikap yang emosian. Saat Marsell yang sudah jelas mudah terpancing emosi, hal ini juga berlaku untuk cowok tersebut, karena kalau cowok tersebut tidak mudah terpancing emosinya, tidak mungkin cowok tersebut akan sampai seperti ini.
*****
Sumilir angin masuk berhembus memberikan ketenangan pada Prisya yang sekarang tengah duduk santai di taman dengan secangkir kopi yang sudah dia beli. Tidak tahu karena hal apa, dirinya hanya ingin menikmati secangkir kopi hangat di tengah dinginnya angin malam.
Berbeda dari biasanya, di mana dia akan memilih untuk pergi ke Cafe saat ingin menikmati coffe, tapi kali ini diirinya jauh lebih ingin menikmati secangkir coffe yang dia beli di pinggir jalanan.
Menatap jalanan yang sekarang tengah ramai dilalui oleh banyak kendaraan, dengan sebuah harapan untuk bisa menenangkan dirinya, Prisya terus menikmati pemandangan yang tercipta sambil menikmati kopi tersebut.
Menatap ke arah langit, memperhatikan bintang-bintang yang tengah berpijar menunjukkan keterangan yang dia miliki membuat sebuah harapan muncul di dalam dirinya. Menarik napasnya dengan begitu dalam sambil mengontrol perasaan dalam dirinya tanpa mengalihkan pandangannya.
Tidak ada sebuah harapan dalam hidup gue di waktu sekarang, selain kebahagiaan. Gue ingin bahagia menjalani kehidupan yang akhir-akhir ini gue rasa begitu gelap. Gue harap kehadiran lo di hidup gue mampu memberikan cahaya terang dalam diri gue.
Tengah fokus memperhatikan indahnya bintang, Prisya dikagetkan dengan bunyi handphone-nya yang baru saja berbunyi. Mengambil handphone-nya dengan perlahan, kemudian memperhatikan layar handphone-nya dan membaca siapa orang yang sudah menghubunginya.
"Hallo, ada apa?" Prisya langsung berucap untuk memulai pembicaraan dengan orang tersebut.
"Cuma kangen," jawab orang tersebut dengan nada bicara yang cukup santai.
Prisya mengernyitkan alisnya sedikit heran saat mendengar jawaban yang sudah Marsell ucapkan. "Kesambet apaan lo kangen sama gue?" tanya Prisya yang merasa bingung dengan kalimat yang baru saja dia dengar.
"Gue kangennya sama lo, sepertinya gue juga kesambet diri lo." Dengan begitu enteng Marsell menjawab.
Ingin tertawa, tapi dirinya merasa kalau suasana hatinya tercampur dengan rasa kesal. "Kesambet gue, memangnya gue setan?" tanya Prisya dengan nada yang sedikit tinggi, tapi percayalah nada tinggi yang Prisya gunakan sekarang bukan sebab dira yang sepenuhnya marah pada Marsell. Prisya hanya sedang bercanda.
"Lo memang gak jauh beda dengan setan. Hanya ada sedikit perbedaan antara diri lo dan setan. Kalau setan itu bergentayangan di mana saja, sedangkan lo hanya bergentayangan di pikiran dan hati gue."
Rasanya kalimat yang merupakan gombalan itu membuat Prisya tanda tanya dan sedikit heran. Prisya bingung kenapa Marsell bisa sampai seperti ini. Memang kalimatnya berisikan sebuah gombalan, tapi nada bicara yang Marsell gunakan seolah tidak mendukung.
Sebenarnya Marsell sekarang hanya tengah mengalihkan sebuah perasaan kesal dan juga emosi yang sedari tadi terus berada dalam dirinya. Marsell bingung bagaimana menghilangkan rasa tersebut, sehingga Marsell memilih untuk menghubungi Prisya dengan sebuah harapan bisa mendapatkan sebuah ketenangan.
"Orang lain kalau mau gombalin pacarnya pake kalimat yang romantis. Disamain sama sesuatu yang istimewa, lah lo? Lo malah menyamakan gue dengan setan, kenapa gini amat ya punya pacar?" Prisya seolah bertanya akan hal ini disertai dengan sebuah tawaan kecil di ujung kalimatnya.
"Tapi lo tetep sayang sama gue kan?" tanya Marsell dengan nada bicara yang menjadi berbeda. Nada bicara yang sekarang terdengar begitu datar dan penuh dengan keseriusan.
"Kenapa lo tanya seperti ini?" Prisya merasa begitu heran saat Marsell bertanya dengan menggunakan nada yang begitu serius.