"Hallo, ada apa pagi-pagi udah video call?"tanya Prisya sambil menyimpan handphone-nya di meja. Prisya sedang menyisir rambutnya, tapi ada sebuah telepon yang masuk dan saat dilihat telepon tersebut dari Marsell. Maka dari itu, Prisya memilih untuk menerima sambungan telepon tersebut.
Tidak langsung menjawab, Marsell malah asyik memperhatikan Prisya yang sekarang tengah menyisir rambut panjangnya yang berwarna hitam mengkilap. Seolah hal tersebut adalah sebuah pemandangan yang begitu indah, Marsell asyik memperhatikan wajah perempuan yang merupakan pacarnya.
Beberapa saat tidak mendapat jawaban dari Marsell dalam beberapa waktu, membuat Prisya mengernyitkan keningnya dengan penuh kebingungan. "Hei, kenapa diem?" tanya Prisya yang sampai saat ini masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang sudah dia ajukan pada Marsell.
Marsell menggelengkan kepalanya santai. "Gak papa. Nanti ke Sekolah bareng gue ya, gue jemput ke sana." Tidak ada sebuah alasan yang serius saat pagi ini Marsell menghubungi Prisya, selain untuk mengatakan kalau pagi ini Prisya berangkat bersama dengan dirinya.
"Oh, kirain ada apa. Boleh sini aja, mau sekalian sarapan di sini juga boleh. Datang aja," jawab Prisya dengan nada bicara yang begitu enteng.
"Gak usah, nanti gue jemput langsung ke Sekolah aja."
Prisya berpikir sejenak. "Hm, oke deh."
"Ya udah lanjutin dandannya," ujar Marsell yang disertai dengan sebuah senyuman di ujung kalimatnya.
Mendengar hal tersebut membuat senyuman Prisya terukir dengan seketika. "Iya, mau gue lanjutin. Biar cantik kayak cewek yang deketin lo," ujar Prisya. Kalimat Prisya keluar dengan begitu enteng, meski ada sebuah sindiran di dalamnya.
Kedua mata Marsell menatap Prisya dengan cukup serius. "Lo udah cantik di mata gue." Kalimat ini terdengar dengan begitu jelas. Cara Marsell mengucapkan kalimat ini begitu serius sambil mamandang Prisya tanpa beralih sedikitpun.
Pipi Prisya memerah blushing. Pipi miliknya terasa sedikit panas, entah kenapa dirinya merasa malu. Beberapa kali Prisya mengalihkan pandangannya, tidak berani fokus menatap layar handphone-nya.
"Udah ah, sana gue mau lanjutin kegiatan gue." Prisya merasa tidak ingin berlama-lama berhubungan dengan Marsell, karena semakin dirinya ditatap dengan tatapan yang seperti itu oleh Marsell, dirinya semakin merasa malu.
"Ya," jawab Marsell dengan nada yang begitu enteng.
Tidak dilamakan lagi, Prisya langsung mematikan sambungan telepon. Prisya memandang dirinya di cermin, memperhatikan pipinya yang dia rasa semula terasa panas dan seolah mengembang dengan begitu besar.
Merasa sudah selesai dengan penampilannya, Prisya akhirnya mengambil tas dan langsung melangkahkan kaki keluar dari kamar. Langkah kaki Prisya sekarang sudah tertuju untuk menuju ke meja makan, untuk melakukan sarapan.
"Morning Bang," teriak Prisya sambil terus melangkahkan kakinya menuju ke arah di mana Abangnya berada.
Mendengar suara teriakan dari Adiknya, Reka melirik ke arah di mana Adiknya berada. "Morning," jawab Reka dengan nada bicara yang terdengar cukup santai dan juga dingin.
Tanpa banyak alasan, Prisya menikmati sarapannya dengan tenang bersama dengan Abangnya. Kehadiran Abangnya di Rumah ini seolah menghidupkan suasana Rumah ini yang dalam beberapa bulan, bahkan tahun ke belakang sunyi dan sepi.
Sudah sekitar 1 tahun lebih hampir 2 tahun Abangnya baru kembali lagi ke Rumah ini. Semula Abangnya tinggal di luar negeri dan sibuk di sana, sebenarnya ada alasan tertentu kenapa Abangnya sibuk di sana.
Sama seperti Prisya, Reka juga tidak terima dengan apa yang sudah terjadi pada keluarganya. Reka jauh lebih tidak menyukai hal ini, terlebih Reka itu dulunya begitu dekat dengan Mamahnya, tapi cukup disayangi oleh Papahnya.
Mengetahui kalau Mamahnya mempunyai hubungan dengan laki-laki lain membuat pandangan dirinya terhadap Mamahnya berubah, semula Reka menjadi lebih akrab pada Papahnya sampai suatu hal yang memalukan dilakukan oleh Papahnya dan dia menjadi tidak suka pada keduanya.
Rasa sayang yang dia miliki pada Prisya tidak cukup untuk menahan dirinya. Beberapa waktu Reka kabur dari Rumah, salah pergaulan dan lain-lain sampai akhirnya Reka memilih untuk tinggal bersama dengan orang yang sudah dia anggap seperti Papahnya sendiri.
Orang tersebut begitu mengerti akan suasana hati Reka serta apa yang ada dalam pikiran Reka sampai Reka menjadi seperti ini dan kebetulan orang tersebut punya banyak bisnis yang pada saat itu memilih untuk menjalani bisnisnya yang ada di Jepang sampai akhirnya memilih untuk mengajak Reka.
"Pagi ini mau berangkat sendiri?" tanya Reka saat mereka sudah selesai sarapan dan hanya tengah menikmati minumannya.
Prisya menggelengkan kepalanya sebagai bentuk kalau pertanyaan Reka mendapatkan jawaban tidak, Prisya masih terus menikmati susu yang masih tanggung sudah berada di bibirnya.
"Aku pagi ini mau berangkat sama cowok aku Bang, berangkat bareng. Ada apa emangnya?" tanya Prisya sambil menatap wajah Abangnya dengan tatapan yang tanda tanya.
Beberapa saat Reka terdiam. "Gak ada," jawab Reka dengan begitu enteng.
Mendengar jawaban yang seperti itu membuat Prisya menatap Reka dengan tatapan yang kesal. "Huh! Gak jelas banget sih. Sikap gak jelasnya gak bisa dihilangkan apa Bang atau disimpen aja gitu di Jepang?" tanya Prisya sambil tersenyum-senyum kecil sebab merasa senang sudah mengatakan hal ini pada Kakaknya.
Reka tidak menjawab, dirinya hanya menggelengkan kepalanya santai dan kemudian melanjutkan kalimatnya. Prisya dengan santai mengelap mulutnya dengan tissue yang dia rasa di sana ada sisa makanan dan juga susu yang sudah dia minum.
Tin
"Nah kayaknya itu mobil cowok aku deh Bang," ucap Prisya. Kali ini Prisya langsung mengatakan mobil, sebab klakson yang baru saja berbunyi dan masuk ke telinganya tidak mirip dengan suara klakson motor Marsell.
"Oh," ujar Reka dengan begitu datar tanpa ada sebuah antusias apa pun.
"Ya udah aku pamit ke Sekolah ya Bang?" Prisya dengan santai menyalami tangan Reka. "Abang gak mau ikut ke depan gitu?" tanya Prisya yang siapa tahu Reka ingin ikut bersama dengan dirinya untuk melihat siapa orang yang sudah menjemputnya.
Reka menggelengkan kepalanya. "Gak, kalau mau pergi silakan. Hati-hati dan pikirkan banyak hal," ujar Reka dengan nada bicara yang terdengar santai, tapi mengandung sebuah keseriusan di dalamnya.
Kening Prisya mengernyit tidak paham dengan apa yang sudah Abangnya ucapkan. "Maksudnya apa Bang? Hal apa aja memangnya yang harus aku pikirkan?" tanya Prisya yang memang dirinya sama sekali tidak mengerti dengan kalimat akhir yang sudah Abangnya ucapkan.
"Apa saja dan juga ketahui lebih banyak tentang orang yang berstatus sebagai cowok lo." Reka tidak ingin menjelaskan secara lebih jauh tentang alasan atau maksud kenapa dirinya mengucapkan hal itu.
Dengan penuh kebingungan, Prisya menganggukkan kepalanya. "Hm, iya deh. Aku juga udah cukup tahu tentang dia, serta beberapa latar belakangnya." Prisya memang belum terlalu jauh mengenal Marsell, hanya saja dirinya tidak terlalu buta dalam hal ini.
"Sepertinya ada hal yang belum lo ketahui tentang dia," ujar Reka. Kali ini nada bicara Reka terdengar seolah dirinya merasa begitu yakin dengan hal ini.
Semakin lama Prisya semakin tidak mengerti. "Memangnya hal apa yang belum aku ketahui? Kalau aku tidak sampai mengetahui hal itu bagaimana? Tapi kenapa Abang seolah yakin kalau ada hal yang belum aku ketahui tentang cowok aku?
Dengan seketika Marsell menghembuskan napasnyadan tersenyum miring. "Karena kalau lo sudah tahu akan hal ini, lo tidak mungkin ingin terus bersama dengannya."
"Memangnya apa Bang? Kenapa bisa sampai membuat aku tidak suka padanya?"