"Mau ke mana kamu malam-malam seperti ini?"
"Cari angin," jawab Prisya dengan nada yang begitu santai.
Bram menatap Prisya dengan tatapan yang begitu serius. "Kamu mau keluyuran iya?!" tanya Bram yang menaikkan nada bicaranya.
Prisya membuang napasnya dengan begitu malas. "Ya udah Pah, aku mau keluar." Prisya kemudian menyalami tangan Papahnya.
"Kamu anak perempuan, malam-malam mau keluar. Kamu mau jadi apaan?" tanya Bram dengan nada yang seolah meremehkan Prisya.
Mendapatkan pertanyaan ini membuat Prisya melirik ke arah Maya. "Jadi seperti istri Papah bagaimana?" tanya Prisya sambil menyinggung Maya secara halus. Sebuah senyumaan terukir dengan begitu indah di bibir Prisya sambil terus menatap Maya.
"Maksud kamu apa? Kamu menyinggung saya?" tanya Maya dengan nada bicara yang terdengar mengandung emosi di dalamnya. Maya melirik ke arah Bram untuk mengadukan apa yang sudah Prisya lakukan padanya yang dia rasa hal itu cukup kurang ajar.
"Tante tersinggung? Kenapa tersinggung? Karena Tante bukan wanita yang baik?" Prisya kembali bertanya sambil terus memasang ekspresi yang memang berniat untuk menyudutkan Prisya di dalam situasi yang sudah dia buat sekarang.
Bram semakin menatap Prisya dengan tatapan yang penuh dengan sebuah amarah. "Berapa kali Papah bilang sama kamu kalau kamu sedang berbicara dengan Mamah kamu itu jaga ucapan-ucapan kamu, jangan sampai ucapan kamu membuat dia tersinggung!" seru Bram yang begitu tidak terima saat Prisya berbicara seperti itu pada istrinya.
"Lho, aku salah apa Pah?" Prisya merasa kalau apa yang sudah dia lakukan tidak ada salahnya, karena sedari tadi kalimatnya adalah kalimat yang terbilang biasa saja, di mana kalimat Prisya yang bisa membuat Maya tersinggung?
"Semula Papah tanya aku mau jadi perempuan seperti apa? Terus aku jawab kalau aku menjadi seperti istri Papah bagaimana, kenapa kalian berdua tersinggung?" tanya Prisya dengan begitu ssantai. Prisya benar-benar bersikap begitu santai sekarang.
Maya mengalihkan pandangannya ke arah Bram dengan sebuah ekspresi yang terlihat kalau dirinya merasa begitu kesal dan juga tidak suka. Bram memasang ekspresi yang begitu tanda tanya, sebab dirinya merasa bingung bagaimana berbicara dengan anaknya, sementara kalau dipikirkan apa yang sudah Prisya ucapkan memang benar.
Prisya hanya menjawab dengan sebuah pertanyaan 'kalau dirinya menjadi seperti istri Papahnya bagaimana?' saat Maya dan juga Bram yang merasa tidak terima dengan apa yang sudah Prisya ucapkan berarti mereka merasa kalau Maya memang bukan perempuan baik, sehingga saat Prisya menanyakan kalau menjadi seperti Maya mereka menanggapi kalau kalimat Prisya itu menyinggung Maya.
*****
Prisya duduk di kursi panjang pinggir jalan dengan sebuah minuman bersoda di tangannya, dia menatap indahnya langit malam, menghirup sejuknya udara, serta memperhatikan berbagai kendaraan yang berlalu lalang dengan cahaya yang terpancar berbeda-beda.
Mencoba untuk menenangkan dirinya dari semua masalah yang dia anggap tidak tahu waktu untuk datang. Semuanya semakin penuh dengan penolakan, karena siapa manusia yang akan menerima sebuah takdir buruk yang datang secara bersamaan?
Bukan termasuk ke dalam manusia yang berbahu tegak, Prisya tidak bisa dengan begitu saja menerima semua hal yang cukup menguras emosinya dan juga mengganggu suasana hatinya. Rasanya dia ingin mempercepat waktu dan menghapus berbagai kenangan buruk yang sudah dia lalui hari ini.
Kenangan hari ini tidak sepenuhnya salah mereka, karena Prisya sendiri yang memulainya. Namun, Prisya tidak akan menjadi seperti ini kalau tidak ada sebuah alasan yang menjadi faktor pendukung dari semua tindakannya sekarang.
Melihat ada sebuah bintang yang bersinar dengan begitu terang membuat Prisya teringat akan seseorang, wajahnya kembali terlukis diingatannya, suaranya kembali menggema di telinganya dan pelukan hangatnya terasa begitu nyaman dalam dirinya.
Sayangnya semua itu hanya sebuah khayalan yang hanya akan menimbulkan sebuah perasaan sedih dalam hati yang mendalam saat teringat akan sosok yang begitu ia sayangi, tapi hanya bisa berakhir dengan menyayangi sepihak.
Kasih sayang darinya sudah tidak bisa Prisya rasakan lagi, andai dirinya bisa menukarkan sebuah nyawa dengan kembalinya orang itu, maka Prisya akan melakukannya. Rasanya jauh lebih menyenangkan kalau orang itu kembali lagi dalam hidupnya, sosok itu selalu menguatkannya.
"Ternyata takdir Tuhan tidak bisa ditebak."
Mendengar sebuah suara yang tidak begitu asing di telinganya, membuat Prisya menatap orang yang sekarang tengah berdiri di hadapannya. Prisya merasa begitu heran kapan orang itu datang dan kenapa sekarang dirinya bertemu dengan orang itu?
"Ada apa?" tanya Prisya sambil memperhatikan cowok yang sekarang duduk di sampingnya.
Cowok itu menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak ada apa-apa, hanya ingin menemani lo di sini." Dengan begitu santai cowok itu mengatakan kalau tidak ada sebuah hal apa pun yang menjadi dasar dari kehadirannya di depan Prisya.
Mencoba untuk kembali menenangkan dirinya, Prisya memilih untuk meminum minuman yang sekarang tengah dia pegang yang hanya tersisa setengahnya saja. Prisya menikmati minuman ini dengan sebuah pemikiran yang dia pikirkan dan dia bayangkan bisa dia hapus dari ingatannya.
Alis Prisya tengangkat dengan sebuah tanda tanya di dalamnya, Prisya tanda tanya saat dirinya merasa kaget mengetahui kalau Marsell sekarang tengah memperhatikannya dengan sebuah tatapan yang dia rasa berbeda dari biasanya.
"Lo mau minum?" tanya Prisya yang berusaha untuk mengubah cara pandang Marsell padanya.
"Boleh," jawab Marsell dengan begitu santai.
Prisya mengambil satu kaleng minuman yang semula berada di dalam kantong keresek yang ada di sebelahnya, Prisya memberikan minuman dingin yang sama-sama mengandung soda ini kepada Marsell. Marsell memandang Prisya dengan pandangan yang Prisya rasa berbeda.
"Jangan punya pikiran kalau gue semula menanyakan apakah lo mau minum itu langsung dari bibir gue!" ketus Prisya saat dirinya kembali teringat akan kejadian di mana dirinya menikmati minumannya dari bibir Marsell.
Prisya merasa kalau alasan yang membuat Marsell terdiam, karena Marsell mengingat kejadian itu. Dengan seketika Marsell tersenyum setelah mendengar sebuah pernyataan yang berisikan sebuah penolakan akan sebuah harapan yang belum tentu.
Di mana Marsell memang belum tentu mempunyai pikiran kalau dirinya ingin menikmati minuman yang sudah Prisya tawarkan secara langsung dari bibir Prisya. Dengan santai Marsell membuka minuman itu dan mulai menyicipinya sampai akhirnya benar-benar meminumnya.
Terdengar sebuah dering telepon yang masuk, membuat Prisya mengedarkan pandangannya. Prisya merasa sedikit tanda tanya kenapa Marsell malah memilih untuk mengabaikan panggilan itu, Marsell hanya mengganti mode suara handphone-nya yang semula bersuara berubah menjadi hening.
"Kenapa ditolak panggilannya?" tanya Prisya yang merasa heran dengan alasan yang membuat Marsell sampai memilih untuk menolak panggilan tersebut.
Tidak langsung menjawab, Marsell lebih memilih untuk kembali minum dan kemudian menatap Prisya sejenak dengan tatapan yang berhasil membuat Prisya kebingungan dengan makna dari tatapan yang tengah Marsell berikan sekarang.