Chereads / The President's Baby / Chapter 11 - Sial, Ternyata Aku Lupa Memakai Kondom

Chapter 11 - Sial, Ternyata Aku Lupa Memakai Kondom

Penthouse Skyscraper, Kensington, London

Panggilan lirih dari Noel cukup membuat Gael yang sedang melamunkan sesuatu melirik, bergumam dengan bola mata hitam bergulir melirik ke samping dan mendapati wajah itu perlahan menghadapnya, menatapnya dengan ekspresi lelah yang kentara.

"Hum…"

"Aku lelah."

Aku tahu, wajahmu tidak bisa membohongiku, jawab Gael dalam hati.

"Hn, tidurlah," bisiknya memerintah lembut sembari memiringkan tubuh kemudian membawa wanita itu ke dalam pelukannya dan Noel akhirnya tertidur dengan dengkuran halus tanpa menunggu lama.

Cukup lama Gael mendengarkan dalam diam suara dengkuran itu, dengan pikiran bingung dan kembali mengingat-ngingat sebenarnya apa yang dilupakannya barusan ini. Tapi sayang, sampai kantuk menghampirinya ia tidak juga mendapatkan jawaban.

Netranya kembali menilik ke samping dan mendapati jam digital menunjukan angka 6 lebih dan itu artinya ia bercinta sampai 4 jam lamanya.

Cukup lama dengan berkali-kali pelepasan yang sangat memuaskan dan akhirnya ia pun memutuskan untuk ikut istirahat, kemudian memejamkan mata masih dengan Noel di pelukannya. Ia ikut menuju alam mimpi, karena merasa percuma memikirkan sesuatu yang tidak dapat diingatnya.

Namun, baru saja kelopak mata itu tertutup dan menyembunyikan iris seindah malam keturunan dari orang tuanya, sedetik kemudian kembali terbuka dengan ekspresi seakan mengingat sesuatu.

Ia bahkan sampai mengumpat ketika mengingatnya, meski itu hanya di dalam hati mengingat jika saat ini ada seseorang terlebih wanita tidur di pelukanya.

Bukan, bukan karena di pelukannya, melainkan karena tidur di ranjang di apartemennya, wilayah yang tidak pernah diperbolehkan seorang pun memasukinya. Lalu apa ini? Ia bahkan berbagi selimut di kamarnya.

Dan tidak sampai situ pula hal yang membuatnya seakan dibuat ingat, tapi satu hal yang paling anti dilakukannya yaitu berhubungan intim tanpa pengaman.

Ya, ia baru menyadari setelah berkali-kali membiarkan kebanggaannya memasuki area tersegel wanita yang menjadi partner sex-nya.

Sial…. Ternyata aku lupa memakai kondom, aku juga membagi ranjang sambil bercerita dengan seorang wanita di tengah aktivitas sex kami, ini sesuatu yang luar biasa bagiku, umpat Gael sambil mengusap wajah.

Sejenak ia menggulirkan bola matanya menatap sekitar, sebelum akhirnya menatap wajah lelap Noel yang tampak polos di pelukanya. Diam-diam ia mendengkus, apalagi melirik bagian leher serta kini gundukan kenyal yang menghimpitnya.

Namun entah mengapa dengkusannya berubah menjadi kekehan singkat, apalagi ketika melihat area bahu sampai dada itu dipenuhi bercak berwarna dengan titik kecil menumpuk. Sudah seperti kerumunan orang sedang demo, himpit-himpitan, karena memang ia menyesapnya tanpa peduli ringisan wanita itu.

Ia menggapai salah satu titik warna dengan telunjuknya, menekan dengan ringisan dan tubuh yang bergerak seakan menyampaikan protesannya.

Keh! Ini membuatku ingin mengumpat dan aku merasa sudah gila, batin Gael sebelum benar-benar memejamkan mata dan tidur dengan dengkuran halus.

Skip

Rumah Sakit Kensington, London.

Siang harinya….

Waktu menunjukan pukul sebelas siang dengan terik matahari yang bersembunyi malu di balik awan dengan derajat mencapai 20°. Namun meskipun demikian, suhu di malam hari akan terasa dingin apalagi memasuki perpindahan musim dingin.

Seorang wanita muda dengan pakaian sederhana tampak memasuki lobby rumah sakit dimana kakaknya dirawat. Ia jalan dengan wajah menunduk, menghindari tatapan dari orang-orang yang berada di sepanjang koridor rumah sakit ini.

Beruntung sekali ketika ia bangun sudah tidak tampak siapa-siapa di penthouse itu, hanya ada sepucuk surat yang bertuliskan untuk tidak menyentuh apapun di kamar itu.

Huh! Lagian siapa juga yang ingin menyentuh-nyentuh barang di sana? Tidak ya, enak saja, pikirnya.

Tapi untungnya lagi, ia diperbolehkan untuk membersihkan diri jika ingin dan ia pun mengambil izin itu. Ia masih waras untuk tidak datang ke rumah sakit dengan keadaan kacau atau parahnya ada bau laki-laki yang menguar saat itu.

Ngomong-ngomong tentang kejadian semalam, ia jadi memikirkan sebenarnya siapa nama asli dari pemilik kartu yang saat ini tersimpan rapih di dompetnya. Ia hanya menerima sebuah pin untuk menggunakan dan tidak sempat bertanya macam-macam dengan pria itu.

Namun ia segera menggelengkan kepala dan memutuskan untuk berjalan menuju tempat administrasi sebelum nantinya ke kamar sang kakak. Ia harus pastikan operasi ke dua ini terlaksana tanpa hambatan, karena biaya sudah didapat, meski ia tidak tahu apakah cukup atau tidak.

"Sebaiknya aku lupakan, anggap saja tidak kenal," gumamnya ketika akhirnya sampai di depan ruang administrasi.

Ia berdiri di hadapan seorang petugas yang menyapanya ramah, tersenyum dan menanyakan apa keperluannya dengan nada sopan. Membuatnya refleks ikut tersenyum dan mulai menjelaskan tujuannya.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Begini, Miss. Saya mau membayar biaya inap dan operasi kedua untuk pasien atas nama San Erico Stuward. Kira-kira, berapa ya jumlahnya?" tanyanya sambil menahan diri untuk kaget ketika mendengar hutang yang dimiliknya.

"Atas nama San Erico Stuward. Lalu ini dengan Nona Felicia Noela Stuward?"

"Iya, itu saya Miss," sahut si wanita cepat, mengakui diri dengan nama yang disebut lengkap.

Ya, ia adalah Felicia atau biasa dipanggil Noel. Wanita sama dengan yang semalam menjadi penari dan menyerahkan hal yang dijaganya selama ini kepada pria kaya.

Namanya Felicia dan hanya sebagian orang yang memanggilnya Noel, termasuk si Tuan yang semalam membelinya.

"Kalau begitu tunggu sebentar, saya periksa dulu."

"Iya…." Noel mengangguk dan menunggu dengan hati harap-harap cemas, ia berdoa semoga saja jumlahnya tidak lebih dari tiga puluh ribu yang didapatnya malam ini. karena kalau tidak, itu artinya ia harus mencari lagi dan harus bekerja keras lagi.

Lalu tidak lama ia mendengar namanya kembali dipanggil, dengan sebuah kertas yang disodorkan kepadanya dari si petugas.

"Nona Felicia!"

"Saya?"

"Silakan, ini rinciannya. Anda bisa membayarnya dengan cash atau kartu."

Noel kembali mengangguk sambil menerima lembaran rincian biaya itu. Ia mulai mengintip dengan saliva ditelan, menggulirkan bola matanya hingga kini mencapai tulisan yang dicetak tebal di sana.

Netranya membulat dengan perasaan tidak percaya. Hanya selisih beberapa pounds lagi, maka semua hasilnya semalam akan terpakai. Ia akhirnya bisa mendesah lega dan menatap sang petugas dengan senyum percaya diri.

"Saya akan membayarnya lunas, Miss!" serunya senang.

Si petugas kembali tersenyum kepada Noel yang wajahnya berseri. "Cash atau kartu, Nona?"

"Kartu," jawab Noel segera. Ia mengambilnya dengan perasaan senang membuncah, kemudian mengulurkannya kepada sang petugas yang menerima. "Ini, Miss!"

"Ditunggu sebentar…."

Lagi-lagi Noel hanya bisa mengangguk, memandangi rumah sakit ini dengan perasaan yang tidak seperti saat itu, tepatnya perasaan takut diusir karena ia sempat menunda pembayaran.

"Silakan pin-nya, Nona."

"Ah! Iya…." Sambil mengingat deretan angka di kertas yang diterimanya, Noel memasukan pin itu di mesin yang disodorkan oleh si petugas dan pembayaran pun selesai.

Namun, baru saja Noel merasakan lega di hatinya, ucapan sang petugas membuatnya kembali terdiam.

Bersambung