Robinson Group
Terletak Kensington, tepatnya di Sloane Square dekat dengan stasiun dan mall, berdiri sebuah gedung tinggi perusahaan milik keluarga Robinson yang dipimpin oleh keturunan ke-10 dari generasi sebelumnya.
Pemimpin dengan mata hitam seindah malam ini memiliki surai berwarna burnette tampak duduk tenang di kursinya. Memiliki paras menawan dengan lirikan tajam yang sanggup membuat lawan bisnis takut, beda dengan lawan jenis yang justru memekik senang.
Lahir dengan nama Elnathan Gael Robinson lebih senang dipanggil Gael oleh orang terdekatnya. Ia berumur 25 tahun dan sudah menjadi pemimpin di usianya yang ke dua puluh tahun, tepatnya sudah lima tahun pula ia menggantikan posisi sang papa.
Ia adalah generasi ke-10 dari garis keturunan sang papa bernama Elvandro Charlie Robinson yang sudah berpulang sejak usianya masih muda. Memiliki seorang mama bernama Michaele Ziuma Ludwigh, yang tinggal di mansion peninggalan sang papa.
Gael juga memiliki kakak perempuan yang lebih memilih untuk meneruskan usaha mode, mengingat London memang surga bagi fashion. Itu sebabnya, ia menjadi pemimpin saat sang kakak pun lebih mempercayakan bisnis ini kepadanya.
Bergerak di bidang manufaktur industri dan kimia, Gael membawa perusahaan semakin maju dengan menambah banyak sektor dan membuka banyak lapangan kerja. Sehingga, ia didapuk menjadi pebisnis nomor satu di London dengan banyak pencapaian tiga tahun berturut-turut.
Pria muda berumur 25 tahun lulusan terbaik Imperial Collage London, dengan banyak predikat dan penghargaan terbaik untuknya juga seorang presdir di Robinson Group yang merajai benua Eropa, salah satu pengendali ekonomi dunia.
Siapa yang tidak mengenal pria dengan panggilan Tuan Elnathan ini, sekali memanggil namanya maka semua akan menyangkut pautkan dengan rupanya yang sempurna bagai dewa.
Bagi kaum hawa Presdir Robinson Group ini adalah pria tanpa cela, meskipun selalu menampilkan ekspresi dingin apalagi jika itu di hadapan lawan bisnis.
Namun meskipun begitu, Gael juga sering dikaitkan dengan gosip miring terutama bersama kaum wanita.
Flower boy adalah pemberitaannya di berbagai media, tapi sayang tidak ada yang pernah berhasil mengambil gambar ketika ia sedang melakukan hal demikian.
Jelas saja, bagaimana akan mengambil gambarnya, jika sebaris penjaga akan lebih dulu menjadikan tubuh sebagai pagar betis di sekitarnya. Bahkan tak jarang para paparazzi membuntuti, meski yang ada hanya kegagalan didapat.
Sekalipun itu di sebuah pesta, Gael akan lebih senang ditemani oleh sang asisten yang setia menemaninya kemanapun, bukan sekretaris atau wanita gandengan seperti rekan bisnis lainnya.
Cukup perkenalan untuk sang presdir dengan segala hal sempurna yang melekat pada dirinya, kembali pada pembahasan yang baru saja diucapkan oleh seorang sekretaris wanita yang berdiri di hadapan sang presdir itu sendiri.
Gael menatap sekretarisnya dengan anggukan kepala, tidak kaget karena ia memang yang memerintahkan untuk si sekretaris melaporkan hal apapun kepadanya, tak terkecuali masalah transksaksi dalam keuangannya.
Dan, karena ia sudah tahu siapa yang memakai kartunya, ia pun hanya mengangguk, mengerti. Sedangkan sang sekretaris yang melihatnya segera mengerti, tidak banyak bicara.
"Hn, aku tahu."
"Baik, Tuan Presdir."
"Lalu ada lagi?" imbuh Gael sembari membuka catatan yang ada di meja, meski tanpa menatap keduanya yang masih setia berdiri di hadapannya.
"Nona Faye akan kembali dari Paris dan meminta Tuan untuk besok malam makan bersama dengan Nyonya Michael di restoran yang sudah saya reservasi, Tuan Presdir."
Gael berhenti dari membaca ketika mendengar informasi mengenai kakaknya, meski sebentar, karena selanjutnya ia kembali melanjutkan kegiatannya sambil mengangguk singkat.
"Hn, restoran mana?"
"The Angelsea Arms, Nona Faye juga setuju dengan menu yang disiapkan."
Lagi-lagi Gael mengangguk, kemudian meletakan kertas yang isinya selesai dibaca dan mengubah duduknya jadi lebih tegap.
"Hn, atur saja. Ada lagi?" tanyanya memastikan.
Ia mengambil kacamata bacanya, kemudian memakai dan sang sekretaris yang melihat itu tidak bisa menahan sapuan di pipi. Padahal ia sudah sering melihat, tapi tetap saja tidak bisa menahan diri jika itu sudah di hadapan sang Tuan.
"Tidak ada, Tuan Presdir."
"Hn, kalau begitu kamu bisa kembali, Maryl. Lalu Areva, kamu tetap di sini," perintah Gael.
"Baik, saya permisi."
Gael gemar sekali mengangguk, karena lagi-lagi ia hanya mengangguk saat sang sekretaris yang dipanggilnya Maryl berpamitan pun ia menjawabnya demikian.
Blam!
Pintu tertutup, menyisakan si empu ruangan yang kini menatap asisten kepercayaannya dengan serius.
"Jadi kudengar perusahaan Stuw Inc baru saja berpindah tangan, bagaimana bisa? Bukankah masih ada pewarisnya, meskipun belum ada yang tahu bagaimana rupanya?" tanya Gael beruntun dengan rasa penasaran.
Areva, pria muda dengan perawakan tinggi dan tampan. Usia juga sama dengan sang Tuan adalah teman kuliah Gael yang dibantu dalam segi materi. Ia juga diangkat menjadi asisten atas permintaan Gael dan ia menerimanya tanpa ragu, untuk setia mendampingi temannya yang sudah membantunya serta keluarga hidup di London.
"Menurut infomasi, pewaris terlibat kecelakaan dan tidak bisa untuk mengambil alih, jadi para pemegam saham menyetujui untuk perusahaan itu diambil oleh adik dari pemimpin sebelumnya. Aku juga menerima laporan, jika saham yang dimiliki dua pewaris sudah dijual oleh pemimpin baru ini."
Sebelah alis Gael terangkat sebelah mendengarnya, merasa bingung dengan apa yang didengarnya. "Dua pewaris?" beonya penasaran.
Areva mengangguk, membenarkan apa yang baru saja dikatakannya kepada sang Tuan. "Benar, seorang gadis muda yang kebetulan tidak pernah di perlihatkan di media, Tuan," jelasnya menegaskan.
Gael mengangguk-anggukkan kepalanya, sebelum akhirnya menatap layar laptop yang diam-diam dibukanya. "Aku mengerti, jadi begitu. Tapi terserah saja, tetap jaga kerjasama selagi itu menguntungkan, paham?" perintahnya.
"Paham, Tuan."
"Kamu bisa memanggilku Gael, Va. Di sini hanya ada kita berdua, kan?" tukas Gael, ketika merasa sahabatnya ini berbicara terlalu kaku.
"Sudah biasa."
"Hn, maka biasakan lagi yang ini. Aku seperti tidak memiliki seseorang yang dekat jika terus-terusan dipanggil Tuan bahkan oleh temanku sendiri," tandas Gael tidak ingin dibantah.
Areva terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dengan seringai miring dari sang Presdir terulas.
"Baiklah, Gael," sahutnya pasrah.
"Itu lebih baik, kamu boleh pergi," tukas Gael mengusir halus.
Areva mengangguk, kemudian meninggalkan ruangan sang presdir yang kini sudah sibuk dengan pekerjaannya di sebuah laptop menyala.
Blam!
Pintu kembali tertutup, menyisakan debaman dan Gael yang menatap layar dengan fokus di balik kacamata yang dikenakannya.
Di layar sana memang ada pekerjaan yang sedang diperiksanya, tapi ia segera mengernyit saat ada bayangan wajah seorang wanita yang terakhir dilihatnya masih dalam keadaan pulas.
Entah kenapa ia kembali memikirkan wanita muda yang sudah menipunya itu, dengan umur terlampau belia yang terpaut 8 tahun darinya.
Percayalah, ia merasa seperti om-om berengsek, tapi sialnya ia tidak bisa berhenti ketika melihat ekspresinya.
"Well, namanya Noel, aku akan mengingatnya."
Dan seringai bermain apik di bibir bewarna merah itu.
Bersambung