Rumah Sakit Kensington, London.
Noel menelan kembali apa yang ingin dikatakannya kepada sang kakak. Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka, dengan seorang suster yang membuka serta berdiri di ambang pintu sana.
"Suster?"
"Nona Felicia, bisa ikut saya ke bagian administrasi?"
Deg…. Deg….
Jantung Noel berdegub kencang dengan perasaan tidak enak. Ia merasa jika ini adalah tentang pembayaran yang belum sungguhan dilunasinya. Padahal ia sudah sempat bernapas lega karena operasi dilalui dengan lancar, begitu juga dengan ujian yang akhirnya diselesaikannya baik.
Namun tahu kalau ini adalah kewajiban yang yang harus ditanggungnya, ia pun mengangguk dan mengulas senyum kecil untuk sang suster. "Baik, tunggu saya di bagian administrasi saja, Suster. Biar saya yang ke sana."
"Baik, kami tunggu di sana, Nona Felicia."
"Um…." Noel hanya mengangguk dengan senyum yang masih diulasnya. Ia menatap dalam diam saat akhirnya pintu tertutup kembali dan menyisakannya sendiri di sini.
Blam!
Kembali ia melihat sang kakak yang terbaring lemah dengan kepala terlilit perban, kemudian menghembuskan napas panjang sambil memperlebar senyumnya.
"Tunggu sebentar saja, Kak. Noel hanya menemui suster di depan dan selanjutnya akan menemanimu di sini lagi, bercerita tentang ujian terakhir Noel di sekolah. Oke?" ujar Noel.
Ia beranjak dari duduknya dan berdiri masih dengan tangan sang kakak yang digenggam, baru setelahnya dengan berat hati dilepasnya.
"Sebentar saja," bisiknya sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan dan menyisakan sang kakak dengan keheningan di sana.
Blam!
Pintu tertutup, Noel jalan menyusuri koridor dengan langkah berat sambil menebak-nebak berapa ribu lagi yang harus dicarinya untuk membayar kewajibannya.
Sepanjang jalan ia hanya bisa menundukkan kepala, hingga tak terasa kini ia ada di depan sebuah meja panjang dimana tulisan administrasi tertera di atas sana. Ia barulah mengangkat kepala, menatap lurus seorang suster yang memintanya untuk ke tempat administrasi ini.
"Selamat malam Suster," sapa Noel berdiri kaku di sana.
"Selamat malam,! Kami baru bisa menghubungi Nona malam ini, jadi baru saat ini juga menjelaskan tentang masalah tagihan yang harus anda tanggung sesuai peraturan, Nona Felicia."
"Iya, maaf. Siang ini saya sibuk. Jadi bagaimana ya?" sahut Noel bertanya dengan saliva ditelan kasar.
"Begini kami…."
Noel mendengarkan dalam diam perkataan suster yang juga menunjukkan sesuatu padanya. Apa yang harus diselesaikannya dalam waktu dekat ini dan berapa jumlahnya.
Hingga di dalam hati Noel hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apakah artinya ia malam ini juga ia harus kembali bekerja di club itu untuk mencari tamu seperti malam itu?
Noel menggeleng pula dalam hati, memutuskan untuk besok menemui sang bibi kembali. Ia berharap kali ini siapa tahu saja dengan ia meminta lebih sungguh-sungguh maka sang bibi akan membantu.
Ya, aku harus kembali menemui Bibi. Biar bagaimanapun Bibi adalah kakak Papa , jadi kali ini mereka pasti akan membantu, kan? batinnya tidak yakin .
Sebenarnya ia memang ragu untuk meminta bantuan, mengingat ia saat itu pun meminta tidak diberi dan bahkan diusir serta tidak diizinkan untuk tinggal di kediamanan besar milik papanya. Namun ia harus mencoba lagi, karena ini semua demi sang kakak yang membutuhkannya.
Noel yang bergelut dalam hati sampai tidak sadar melamun, hingga pertanyaan dari sang suster pun sama sekali tidak didengarnya.
"Paling lambat besok malam untuk pelunasan, Nona Felicia mengerti 'kan?" Suster yang menjelaskan ini menatap Noel dengan kening berkerut, sebelum akhirnya kembali memanggil si keluarga pasien yang sedang dijelaskan masalah biaya yang ditanggung. "Nona Felicia!"
"Ah! Iya Suster?" sahut Noel dengan kelopak mata berkedip, menatap sang suster tidak fokus dan tidak menyangka jika ia sampai terbawa lamunan.
"Paling lambat besok, Nona Felicia," ujar sang suster mengulangi.
"Iya, akan saya usahakan. Suster," jawab Noel sambil mengangguk, kemudian pamit undur diri sambil menenteng rekapan biaya yang akan menjadi bukti agar sang bibi mau membantunya.
***
The Angelsea Arms
Restoran berinterior gaya clasik ini ramai dengan tamu berpakaian rapih, serta berkantong tebal yang menginginkan pelayanan terbaik serta makanan yang menggugah selera.
Di salah ruangan dengan meja bundar tampak seorang pria yang menyesap wine setelah menggoyangnya santai. Ia duduk dengan dua wanita yang melakukan kegiatan berbeda, tapi tetap berbincang dengan satu tujuan sama.
Tentu saja, wanita paling senang berbincang dengan wanita lainnya apalagi sudah membahas masalah yang menyenangkan. Terlebih, dua wanita itu adalah pasangan mama-putri yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan sang putri itu sendiri.
Sedangkan si pria, meskipun ia diam sambil menyesap wine, sesekali juga terdengar menimpali kala pertanyaan melayang untuknya.
Ya…, seperti saat ini, tepatnya saat sang kakak yang suka sekali mengerjainya menanyakan tentang seorang pasangan dengan polosnya.
"Mah, Mama harus gencar mencarikan Gael seorang wanita. Keturunan Robinson harus dihasilkan sebelum kesayangan Mama ini tua dan tidak bisa bereproduksi."
Celetukan dari sang kakak membuat si pria yang memang si adik—Gael yang mendengarnya mendengkus. Ia masih tetap santai menyesap wine di gelasnya, meski tidak dengan tatapan tajam yang menghunus ke arah sang kakak yang justru balas dengan seringai.
Cih!
Gael tidak bisa untuk tidak berdecih ketika sang kakak sudah mulai ikut campur masalah asmaranya. Namun sayang sekali, ia tidak bisa membalas dan alhasil hanya bisa bergumam ketika sang mama pun ikut menimpali.
"Mama mendapat lamaran dari keluarga Bownie, kamu tahu 'kan anak gadisnya yang sering bermain ketika kalian kecil? Itu loh, Priya," jelas sang mama ketika melihat ekspresi bertanya sang putri yang mengompori masalah wanita.
"Yang man- ah…, yang itu ya? Yang-
"Mah, bisakah tidak usah membahas masalah begitu di saat seperti ini?" sela Gael menatap bosan dua wanita yang justru terkekeh melihat tanpa merasa bersalah, membuatnya mendengkus dan kembali menyesap wine-nya hingga tandas.
"Iya deh…."
"Hn."
Untunglah kedua wanita itu sudah hapal bagaimana tabiat si bungsu yang selalu marah ketika digoda. Sedangkan sang kakak tampak memicingkan mata, ketika Gael justru kini membalik fakta mengenai penrikahan.
"Tapi, bukankah yang seharusnya lebih dulu menikah adalah Kakak? Iya kan Mah?"
"Ya! Jangan mengada-ada, perkejaanku masih banyak dan aku belum menemukan pria yang cocok denganku, asal kamu tahu."
"Hn, sendirinya tidak mau digoda tentang pernikahan."
"Kamu ngajak-
"Sudah anak-anak, untung saja ini ruang keluarga yang tidak ada orang lain di sekitarnya. Coba kalau tidak, bagaimana bisa kalian saling menyayangi seperti ini," sela sang mama, menatap satu per satu anaknya dengan kepala menggeleng prihatin.
"Gael tuh Mah, malah meledek aku," sahut Faye mengadu.
"Aku tidak meledek, Kakakku yang cantik. Aku bahkan tidak memaksa Mama untuk memperkenalkanmu dengan seorang pria," tukas Gael tidak ingin mengalah.
"Mah…."
"Gael…"
Bersambung.