Kensington, London.
Keesokan harinya….
Seperti apa yang direncanakan sebelumnya oleh Noel, jika ia akan mendatangi sang bibi untuk meminta bantuan membayar biaya rumah sakit sang kakak. Maka itu di sinilah ia berada, di depan sebuah bangunan dengan gerbang tidak terlalu tinggi yang seharusnya menjadi rumah baginya.
Ia menunduk sambil mengambil napas untuk meyakinkan diri, sebelum akhirnya menatap bangunan di depannya dengan kepala mengangguk, seakan meyakinkan apa yang dilakukannya saat ini adalah yang terbaik.
"Ayo Neol, demi Kakak kamu harus bisa membuat Bibi luluh. Harus lebih meyakinkan," gumamnya mengingatkan diri.
Dengan begitu ia membuka gerbang yang sudah familiar itu baginya, kemudian mendapati seorang penjaga yang mendatanginya tergopoh.
"Nona mencari siapa!"
"Aku, aku mau bertemu dengan Nyonya Wilhemina."
Noel tidak mendapati seorang pria yang biasanya menjadi penjaga di gerbang rumah ini. Ia merasa asing dengan apa yang ada di sekitar, padahal jelas ia saat ini ada di rumah dimana tempatnya tumbuh hingga remaja.
"Sudah ada janji?"
"Saya keponakannya," jawab Noel dengan senyum kecut.
Si pria yang disinyalir baru bekerja dengan sang bibi tampak mengangguk, sebelum akhirnya mempersilakan Noel dengan senyum kecil. "Kalau begitu silakan, Nona!"
"Terima kasih."
Dengan begitu, Noel pun melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju pintu, dengan tiga undakan tangga untuk mencapai teras. Ia berhenti di depan pintu ganda yang tertutup rapat di hadapanya, sebelum akhirnya menekan sebuah bel rumah dengan suara dentangan menggema di dalam sana.
Menunggu dengan rasa gelisah yang dirasakan, pintu tertutup kini akhirnya terbuka dan memperlihatkan seorang wanita berpakaian seragam tampak berdiri di antara pintu yang dibuka.
"Ada yang bisa dibantu?"
Bahkan Bibi pun diganti, batinnya sendu.
"Nyonya Wilhemina, apakah ada? Saya ingin bertemu dengannya. Saya Felicia Noela dan saya keponakannya," tanya dan jelas Noel ragu.
"Ponakan ya, kalau begitu silakan masuk! Saya panggilkan Nyonya untuk Nona Felicia."
"Terima kasih!" Noel menyahutinya sambil tersenyum cerah, merasa jika kesempatan bisa saja datang saat dirinya dapat berbicara kembali dengan bibi. Ia janji akan membicarakan ini dengan baik-baik dengan sang bibi.
Dengan begitu, Noel pun diantar oleh si pelayan yang mempersilakannya duduk. Sesuatu yang seharusnya dilakukan kepada orang asing, bukan dirinya yang sebenarnya pernah tinggal di rumah ini pula.
Noel memilih untuk mengenyahkan pemikiran itu. Ia lebih memikirkan bagaimana memulai pembicaraan dan seperti apa rangakaiannya kepada sang bibi, itu saja yang paling penting untuk saat ini.
Tidak lama dari ia duduk sendiri di sofa, suara dari alas kaki yang beradu dengan permukaan lantai terdengar, membuatnya refleks menoleh ke belakang dan menemukan seorang wanita berjalan menghampirinya.
Wajah wanita itu tampak sombong, dengan tatapan merendahkan dan dagu terangkat ketika akhirnya duduk di sofa single berhadapan dengannya.
Brugh…
"Ada apa? Apa lagi yang ingin kamu katakan padaku?" tanya sang bibi tanpa basa-basi.
"Bi-
"Nyonya Wilhemina, jangan sembarangan memanggilku Bibi," sela sang bibi cepat. Ia juga menatap semakin sengit, hingga Noel yang melihatnya menelan saliva takut.
"Maaf." Noel hanya bisa berbisik, tidak berani membantah apalagi ia datang untuk tujuan penting, meminta tepatnya.
"Hm, ada apa?" tanya Wilhelmina sambil bersedekap dada.
Noel memberanikan diri mengangkat wajah, menatap sang bibi dengan bola mata yang kembali digulirkan kala bola mata tajam wanita di depannya menghunus.
"Nyonya Wilhemina, saya kemari ingin meminta tolong kepada Nyonya-
"Langsung saja ke intinya, saya tidak punya waktu untuk bertele-tele seperti ini denganmu."
Ugh…
Noel seketika mengatupkan bibir ketika kalimat selaan menyerobotnya tajam. Ia sampai kembali menelan saliva, sebelum akhirnya melanjutkan kalimat inti dari kedatangannya.
"Tolong bantu Kak San dan Noel untuk membayar rumah sakit, Nyonya!" pinta Noel dengan lantang.
Sang bibi yang mendengar jika ponakan laki-lakinya masih mendapatkan pengobatan menatap dengan bola mata melotot, tidak percaya.
Ia pikir gadis remaja di depannya ini sudah kehabisan biaya untuk pemakaman yang menghabiskan uang karena biayanya yang selangit. Namun apa ini, kenapa ponakannya San masih hidup dan tetap dirawat?
Tidak bisa dibiarkan, batinnya.
"Kamu bilang apa tadi?" tanya Wilhemina memastikan.
Noel dengan polos menjelaskan keadaan kakaknya kepada sang bibi. Ia pikir dengan ia menceritakan semua maka bantuan akan diterimanya, tanpa tahu jika ada raut wajah tidak percaya dari sang bibi yang tangannya sudah mengepal di pangkuan.
"Kak San sudah operasi dan dokter berkata kalau Kakak mendapatkan perawatan terbaik, maka proses pemulihannya akan semakin singkat. Jadi Noel mohon dengan sangat, tolong bantu Noel untuk membayar tagihan rumah sakit yang tidak bisa Noel tutupi."
Noel menatap sang bibi berharap, bahkan jika sang bibi menginginkannya bersimpuh di kaki ia akan melakukannya. Ia menunggu dengan sabar, ketika sang bibi hanya diam dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
Hingga akhirnya ia ingin kembali melanjutkan penjelasan, tapi sang bibi ternyata lebih dulu menyela dengan pertanyaan.
"Apakah San akan baik-baik saja?"
"Tentu saja, Kak San akan baik-baik saja dan bisa melanjutkan kehidupannya seperti semula, Bibi," jawab Noel dengan senyum mengembang.
Ini tidak boleh terjadi.
***
Robinson Group
Sementara itu di gedung paling tinggi sebuah perusahaan terkenal Robinson, tepatnya di ruang kerja dengan sofa serta meja kerja yang kosong, tampak si empu ruangan yang kini sedang berdiri menghadap jendela lebar.
Ia melihat pemandangan kota Kensington yang selalu ramai, apalagi kendaraan di depan perusahaannya, seakan tidak kenal lelah meski hanya sejenak.
Tatapan mata pria itu lurus dan kosong, menatap bukan kepada kendaraan atau gedung maupun langit yang menampilkan warna biru cerah dengan matahari ikut bersinar terang.
Pikirannya sedang tidak di ruangan, melainkan ke kejadian semalam yang ia alami bersama seorang wanita.
Sungguh, ini adalah hal pertama yang terjadi dalam hidupnya.
Tangannya yang tersembunyi di saku mengepal, sebelum akhirnya umpatan meluncur begitu saja dengan desisan terdengar mengerikan.
"Brengsek…."
Entah apa yang membuatnya mengumpat seperti itu, tapi yang jelas rasa marah serta kesal menggelayut di hatinya, seakan jika ia tidak mengeluarkan maka akan jadi penyakit hati.
"Sialan….."
Lagi-lagi meluncur begitu saja. Hingga akhirnya ia perlahan menenangkan diri dengan hembusan napas yang diatur. Ia juga membalik tubuh, berjalan dengan langkah lebar menuju meja kerja dan mengangkat gagang pesawat telepon.
Nomor 2 ditekannya dan nada sambung terdengar dengan suara seorang wanita mulai terdengar.
[Dengan Maryl ada yang bisa dibantu?]
"Print out pengeluaran untuk pembayaran rumah sakit, sekarang!"
[Baik, ada lagi, Tuan Presdir?]
"Panggil Areva, kalian masuk bersamaan, mengerti?" peritahnya kemudian menutup panggilan setelah sahutan mengerti diterima olehnya.
[Baik, Tuan Presdir!]
"Hn."
Tut!
Gagang telepon diletakkan kasar, ia menatap permukaan meja dengan rahang mengeras dan memutuskan untuk duduk sambil menunggu dua kepercayaannya datang.
Ia tidak bisa begini, ia tidak boleh memikirkan seseorang lebih dari ini lagi. Meskipun baru sekali ini, ia harus lebih dulu mencegahnya agar tidak semakin berkembang.
Ck! Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan kepadaku, sialan…
Bersambung