Penthouse Skyscraper, Kensington, London
Pintu sebuah kamar terlihat terbuka dengan seorang pria yang kini meletakkan tas kerjanya di sebuah meja. Ia juga membuka simpul dasi, kemudian jas yang diletakannya di sebuah sandaran kursi dan mulai memisahkan kancing satu per satu pula. Hingga punggung lebar dengan pahatan sempurna itu perlahan tampak, kala si empu membuka dan melepas kain yang menempel di tubuhnya.
Gael adalah si pria, ia melangkah memasuki kamarnya sambil melempar kemeja yang sudah dibukanya ke sebuah keranjang dan masuk tepat sasaran, poin sempurna untuknya.
Tersisa kain pabrik kualitas jempolan yang menutupi bawahnya, tapi ia belum berniat untuk membuka bagian itu. Ia memilih untuk merasakan udara malam dan maka itu melangkah menuju balkon kamar dengan semilir angin malam menerpa wajah ketika ia membuka pintu.
Langitnya cerah, paling enak dihabiskan dengan santai dan beristirahat. Ya…, apalagi ia sudah merasakan pegal di sekujur tubuh setelah seharian bekerja dan baru pulang pula dari perjalan pertemuan di luar kota Kensington.
Sampai di ujung balkon ia mendongakkan wajah ke atas sana dan menemukan bintang bertabur. Ia bertanya-tanya sudah berapa lama ia tidak melihat langit seperti ini?
Mungkin terlalu lama, saat ia selalu disibukkan dengan banyak urusan perusahaan dan sekalinya memiliki waktu, ia lebih senang menghabiskannya untuk menjelajah surga dunia dari setiap wanita.
Sampai-sampai kalau ditanya berapa jumlah wanita yang menghiasi hidupnya dari seseorang, maka jawabannya adalah tak terhitung dengan jari.
Ia selalu memiliki peraturan tersendiri soal wanita, di antaranya tidak ada cinta, berulang kali bertemu dan memakai wanita yang sama. Apalagi sampai meminta pertanggung jawaban berupa sebuah ikatan yang namanya pernikahan.
Untuk saat ini memang ia tidak ingin, tapi siapa yang akan tahu masa depan. Iya kan? Tapi, ngomong-ngomong seorang wanita, ia jadi mengingat tentang kelakuannya siang ini yang tidak seperti biasanya.
Kenapa bisa ia meminta anak buahnya untuk mencari seseorang terlebih itu wanita, kalau pada kenyataannya selalu wanita yang mendatanginya tanpa diminta.
Damn it!
Ia mengumpat ketika mengingat penjelasan singkat dan sebuah laporan yang didapat Areva setelah menelusuri sebuah kwitansi rumah sakit yang memakai kartu khusus miliknya.
Felicia Noela Stuward
Nama yang selama ini dikiranya hanya Noel ternyata memiliki nama panjang yang membuatnya bertanya-tanya. Bukan hanya bertanya-tanya, tapi juga menyambungkan cerita yang didengarnya dari si wanita dengan informasi yang diterimanya dari Areva.
Kalau memang cerita itu sama dan benar adanya demikian. Apakah itu artinya Noel yang dicarinya ini sama dengan Felicia Noela yang keterangannya sudah dijelaskan oleh sang asisten?
Lalu, apakah pewaris kedua yang diceritakan ini adalah Noel?
"Aku harus memastikannya sendiri," gumam Gael.
Ia merogoh saku celana dan mengambil gawai dari sana, menekan sebuah angka di layar sana kemudian menunggu panggilan diterima saraya mencengkram pegangan besi pembatas balkon.
Nada sambung hanya dua kali, sebelum akhirnya suara pria yang terdengar tegas menyahuti.
Klik!
[Ya Bos!]
"Bawa wanita muda bernama Noel yang bekerja di Stables Bar sekarang juga," perintahnya tanpa basa-basi.
[Baik!]
Dan panggilan diputusnya sepihak, sedangkan tatapanya kini lurus ke langit sana dengan ekspresi tak terlukiskan.
Noel, apa yang sudah kau lakukan padaku?
***
Stables Bar, Kensington, West End, London.
Noel tampak memasuki ruangan dengan pencahayaan temaram, ruangan yang baru dua malam ditinggalnya dan kini kembali di datanginya dengan alasan sama.
Uang.
Ya, apalagi yang membuatnya nekat kalau bukan karena pundi poundsterling yang bisa membuat kesehatan sang kakak tetap terjamin. Ia melirik setiap sudut dan menemukan tiga pria yang sedang duduk sambil menenggak minuman, bukan hanya itu dari sana terdengar obrolan serta tawa yang seketika berhenti saat salah satu dari mereka memanggilnya masuk.
"Oh! Kau sudah datang, masuklah!"
Gleuk….
Noel tidak bisa mencegah dirinya untuk menelan saliva ketika mereka bertiga menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ia mengangguk dan melangkah pelan, menghampiri ketiganya yang telihat sekali tidak sabar menunggu.
Ia berdiri canggung di antara tiga tamunya malam ini, berusaha mengulas senyum manis saat menatap ketiganya yang bersiul sambil memperhatikannya dari atas sampai bawah, tatapan seakan menelanjangi yang membuatnya ingin sekali kabur dari sini.
Namun, kembali ia mengingatkan diri kalau ini semua demi sang kakak yang butuh pengobatan. Lagian, ia sudah kehilangan dirinya yang dulu dan saat ini apa lagi yang dipermasalahkannya?
Tidak ada lagi yang dipertahankannya, karena ia sudah resmi menjadi Noel yang baru.
Ya, aku bukan lagi yang dulu, batinnya meyakinkan diri.
"S-selamat malam…," sapa Noel tergagap.
Ha-ha-ha…
Ia mengernyit ketika tawa menggema di ruangan dengan musik yang jelas sekali berdentang, pelakunya tentu saja dari tiga pria yang kini salah satunya berdiri dan menghampirinya.
Grep!
"Kau gugup," bisik si pria sambil merangkul bahu dan mencolek dagu lancip Noel yang hanya bisa menunduk serta menggeleng pelan.
"Ti-tidak, Tuan," cicitnya.
"Sungguh?"
Noel kembali mengangguk kecil mendengarnya, menuai senyum senang si pria dan dua lainnya yang bertepuk tangan dengan suara perintah terdengar.
"Kalau begitu duduk di sini! Kita 'kan mau kenalan juga."
"Siapa kamu cantik, bagaimana kalau kita minum bersama?"
"Dua pria tampan di sana sudah tidak sabar berkenalan, mari aku perkenalkan satu per satu khusus untukmu."
Pria di sampingnya kembali berbisik seraya membawanya berjalan menuju sofa dimana dua pria di sana memberikan tempat, menyingkir sambil menepuk-nepuk permukaan sofa di sana.
Noel duduk diapit oleh dua pria yang dari awal di sofa, sedangkan pria yang membawanya jalan kini bersimpuh di hadapannya dan memandanginya dengan senyum miring.
"Well, siapa namamu, cantik? Tanganmu sungguh lembut," tanya pria yang ada di kirinya.
"Noel, Tuan."
"Hanya Noel?"
"Iya," jawab Noel berbohong. Ia melirik kiri-kanan dan pria di depannya dengan senyum canggung kemudian kembali melanjutkan. "Apalah arti sebuah nama, Tuan. Saya hanya Noel, itu saja."
"Aku suka dengan jawaban ini, apalah arti sebuah nama. Ha-ha-ha…."
Tawa bersahutan, Noel hanya bisa menerima saat dua tangannya digenggam dan diciumi oleh dua pria yang ada di depan juga kirinya. Sedangkan pria yang dikanan memilih memainkan surai panjangnya, membuatnya refleks bergerak menyembunyikan gelisah dengan kekehan yang kembali terdengar.
"Rileks, Baby…. Bagaimana kalau kau mulai menari, hibur kami dan kita bisa lanjut ke tahap selanjutnya setelah itu. Ini pasti seru 'kan?" bisik si pria yang memainkan surainya.
Noel tidak segera menjawab, ia menatapi ketiganya yang memiliki wajah lumayan tampan bergantian dan baru saja akan menjawab, ia keburu disela oleh pria di depan yang menyinggung soal tarif.
Hal yang memang ingin ditanyakannya pula.
"Tidak perlu khawatir soal bayaran, masing-masing dari kami bisa memberikanmu dua ribu poundsterling. Bagaimana?"
Dua ribu kali tiga artinya lumayan banyak. Sebenarnya jumlah itu tidak cukup, tapi aku tidak bisa menolak dengan harga yang ditawarkan, batin Noel.
Ia pun akhirnya mengangguk, menuai seruan senang dari mereka yang kini mulai menyentuhnya lebih intens ketimbang sebelumnya.
"Baiklah, tentu saja."
"Bagus! Kalau begitu kamu bisa memu-
Brakh!
"Hei! Kurang aj-
"Nona Noel, bisa ikut menemui Tuan kami saat ini juga?"
"Hah!?"
Bersambung