Kensington, London.
Suasana mobil itu tiba-tiba sunyi, ketika salah satu dari dua orang di dalam sana terdengar bertanya akan seseorang kepada salah satunya. Tepatnya seorang pria muda yang bertanya kepada si gadis muda, tentang gadis lainnya di halaman sekolah beberapa waktu lalu.
Huh!?
Si wanita—Catrine. bahkan sampai menatap bingung, sebelum akhirnya tersenyum dengan tatapan curiga yang melayang untuk si sepupu.
"Ada apa ini?" tanyanya dengan nada menggoda.
Bukannya apa, ia merasa sepupunya yang tampan ini tidak pernah penasaran dengan seorang perempuan. Namun tidak untuk saat ini, saat beberapa waktu lalu ia meninggalkan sahabatnya di halaman sekolah sana.
Sedangkan si pria harus bisa mengatur ekspresi wajah, ketika merasa gadis muda di sampingnya mulai melancarkan aksi mengoda. Ia merutuki diri yang keceplosan bertanya mengenai seseorang, terlebih seorang perempuan yang selama ini tidak terlalu membuatnya tertarik.
Tangannya terangkat sebelah, melepas stir kemudi hanya untuk mengukuri pipinya singkat, sebelum akhirnya kembali menggengam stir sebagai pengalihan rasa gugupnya.
"Tidak ada sih, hanya bertanya. Ya…, kalau tidak mau jawab juga tidak apa-apa, tidak kenal ini," jawabnya sok tidak peduli.
"Hoo…. Ya sudah kalau tidak mau tahu," sahut Catrine dengan kepala mengangguk. Ia juga berpura-pura melihat gawai yang diambilnya dari dalam tas dan memainkannya. "Padahal, aku baru saja ingin mengenalkan secara langsung kepadamu, Hans," lanjutnya bergumam.
Ukh…
Si pria—Hans ini hanya bisa menggerutu di dalam hati, kembali merutuki apa yang digumamkan sepupunya dengan decihan kesal.
Kalau mau mengenalkan hanya tinggal sebut nama, kenapa harus menggoda begitu, batinnya menggerutu.
"Noel, namanya Felicia Noela. Ada apa, Hans?"
Eh!
Seketika itu juga Hans yang mendengarnya menoleh, sebelum akhirnya kembali menatap depan dengan gelengan kepala sebagai jawabannya. "Oh! Tidak ada, hanya ingin tahu nama bukan berati apa-apa 'kan?"
"Ya siapa yang tahu."
"Jangan sok tahu, yang jelas aku hanya ingin tahu. Itu saja," tandas Hans dan diam, memilih untuk tidak menjawab apa yang lagi-lagi digumamkan oleh sepupunya.
"Huh! Sudah dikasih tahu bukannya terima kasih malah marah-marah, dasar menyebalkan."
Lalu aku harus apa? Aku bahkan baru bertemu dengannya, jawab Hans di dalam hati.
***
Sementara itu di tempat lainnya, tepatnya dimana saat ini Noel berada.
Gadis muda dengan paras cantik itu sedang berada di salah satu daerah sederhana yang ada di dekat sekolah dan kafe tempatnya berada, hendak mencari kamar yang bisa dijadikanya tempat tinggal.
Ia masih memiliki beberapa ratus pounds dan merasa cukup untuk menyewa satu bulan sambil menunggu gaji dari kafe, serta kelulusan yang sebentar lagi ada di depan mata.
Di depannya sendiri ada seorang wanita paru baya dengan wajah galak, meski demikian ia tidak mendapati jawaban seperti wajah yang diperlihatkan, melainkan penjelasan mengenai sewa kamar yang akan diambilnya.
Ia juga dibawa melihat kamar yang akan disewa, kamar dengan ukuran pas untuk dua orang dengan kamar mandi di dalam. Tentu ini adalah pilihan yang tepat, setidaknya ia tidak akan mengantre kamar mandi ketika ia sedang buru-buru berangkat sekolah dan bekerja nanti.
Hingga akhirnya ia menyepakati dan berkata akan pindah di keesokan harinya. Besok, yang kebetulan adalah hari dimana sang kakak akan di operasi, tapi mungkin malam ini ia akan memindahkan barangnya lebih dulu di sini agar lebih aman.
Selesai dengan masalah kamar sewaan yang harganya juga lumayan mahal, Noel kini berjalan menuju kafe tempat melakukan pekerjaan paruh waktunya.
Kafe itu ada tak jauh dari tempatnya berada, hanya butuh waktu sekitar lima belas menit berjalan kaki dan kini ia bisa melihat di seberang sana kafe itu berdiri.
Untuk hari ini ia tidak perlu menari di club, itu artinya ia bisa menemani kakaknya di rumah sakit lebih lama. Dan lagi, ada Catrine yang akan menemaninya nanti malam.
Noel yang berdiri di tempat penyebrangan menunggu dengan sabar saat lampu penyebrangan akhirnya menyala. Ia melangkah dengan senyum yang diumbar, berbaur dengan pejalan kaki lainnya tanpa menoleh dan pandangan tetap lurus ke depan sana.
Sedangkan di barisan mobil yang berhenti itu, terdapat mobil yang paling mencolok. Di dalam sana ada seorang pria dengan tatapan tertuju pada sebuah layar gawai, sebelum akhirnya terangkat ketika merasa mobil berhenti dan melihat jika saat ini sedang ada di sebuah jalan dengan banyak orang berjalan di luar sana.
Oh…, pikirnya.
Awalnya ia ingin kembali menunduk dan menekuni bacaanya di layar, tapi ketika melihat siluet seseorang yang tidak asing baginya, seketika itu juga menggulirkan bola mata untuk mengikuti kemana arah si seseorang itu pergi.
Keningnya mengernyit, semakin memicingkan mata ketika benar merasakan ketidakasingan. Namun sayang, pandangannya tiba-tiba berpindah ketika mobil yang dikendarai sopir pribadinya kembali melaju.
"Aku seperti mengenali bentuk punggung itu," gumamnya, sebelum akhirnya memilih untuk mengangkat bahu tak acuh dan kembali menatapi layar di pangkuannya.
Kembali kepada Noel yang saat ini akhirnya sampai di dalam kafe, ia bertemu dengan salah satu rekan sesama pelayannya di sana dan menyapa si pemilik yang mengangguk kepadanya.
Ia jalan menuju bagian belakang, dimana tempat biasa ia mengganti pakaian dengan seragam khas yang diberikan untuk bekerja. Ia juga mendapat loker untuk menyimpan barang bawaannya.
Di sana ia mengganti atasannya dengan kaos putih, juga sebuah rompi hitam yang melekat pas di tubuhnya. Kemudian meletaka pakaian yang akan dipakaianya lagi saat pulang nanti di loker. Namun, ketika ia hendak membuka tas, sesuatu jatuh dan ia mendapati sebuah kartu tergeletak di dekat kakinya.
Kartu ini, batinya.
Ia segera memungutnya kembali dan menggenggamnya di depan dada, mengingat saat malam dimana ia mendapatkan biaya operasi sang kakak.
Huft…
"Apakah nanti kami akan bertemu lagi? Apakah dia akan ke club itu lagi? Lalu…. Apakah dia masih mengingatku?"
Banyak pertanyaan yang Noel gumamkan, tapi sayang sampai kapanpun ia tidak akan mendapatkan jawabannya. Sejujurnya, sesekali ia terbawa ingatan akan kejadian malam itu. Apalagi pria itu menatapnya dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Namun ia sadar, jika apa yang terjadi malam itu hanya bagian dari resiko pekerjaannya dan mana mungkin ada sesuatu di dalamnya.
Noel segera menggelengkan kepalanya, kemudian menyimpan kartu itu ke dalam tasnya kembali. Ia menyimpan kartu itu dengan baik, takut hilang dan nanti disalahgunakan oleh seseorang.
"Sebaiknya aku cepat bersiap dan lupakan apa yang seharusnya kamu lupakan, Noel," gumamnya memutuskan.
Ia juga meninggalkan area loker, berjalan keluar dan memulai aktivitasnya sampai sore nanti. Ia membersihkan meja, serta merapikan kembali kursi berantakan karena ditinggal pelanggan.
Bersambung