Mr. James mendadak kembali menangis saat kembali membaca lembar demi lembar catatan hati sang istri. Terutama lembar dua tahun dimana dia sedang berpisah dengan sang istri.
"A-aku memiliki seorang anak?" Ucap Mr. James memastikan.
"Ah benarkah?" Tanya Juno pura-pura terkejut.
Basta datang membawa makanan di tangannya juga senyuman di wajahnya. "Saya rasa kau bisa mulai mencarinya pak. Siapa tahu anak bapak memang sudah lama menunggu ayah kandungnya menemuinya."
Mr. James menatap makanan yang disediakan oleh Jin dan nampak terkejut. "Nampak mirip dengan selalu yang dibuat oleh istriku. Bagaimana kau?" Tanya Mr. James menggantung.
"Aku melihat banyak ikan dan kentang di kulkas anda jadi aku rasa memang itu yang sering kalian buat jadi ya aku hanya melakukannya saja seperti caraku biasa membuatny. Tapi kalau memang itu mirip aku sangat bersyukur. Cicipilah dulu." Ucap Jin.
Tanpa kata Mr. James memakan sepotong ikan super crispy itu dan dia kembali menangis. "Bag-bagaimana bisa? Rasanya pun sangat mirip seperti yang selalu istriku buat." Kali ini memang air mata bahagia dan penuh rindu yang menghiasi pipinya.
"Enak kan?" Tanya Basta.
"E-enak. Ini sangat enak. Sempurna." Ucap Mr. James menghapus air mata dengan pakaiannya di lengan.
Setelah Mr. James melahap suapan terakhir dari makanan yang Basta buat, entah mengapa muncul perasaan bahagia dan lega dalam hatinya. Seolah-olah sang istri memberinya semangat dari sana.
"Aku rasa aku harus memulai perlahan mencari anakku sekarang. Mungkin dia mumbutuhkanku disuatu tempat. Dan akan aku pastikan aku akan bertanggungjawab padanya selama sisa hidupku kelak. Terima kasih kalian berdua. Terima kasih." Ucap Mr. James menatap dengan senyum kali ini.
"Kalau begitu kita juga harus pulang. Sampai bertemu lagi Mr. James." Tutup Basta yang sudah berdiri dari kursi mereka.
"Bagaimana kalau aku ingin menemui kalian lagi? Mungkin untuk secangkir teh?" Tanya Mr. James yang merasa begitu berterima kasih.
"Suatu saat nanti Mr. James. Suatu saat nanti." Ucap Basta meninggalkan rumah Mr. James bersama Juno.
Kembali melewati Orion di titik yang sama saat mereka datang sebelumnya. Alvo sudah menyambut mereka di Althea bersama Dion dan Ega yang memberi tepuk tangan.
"Kalian hebat di luar sana." Ucap Dion memberi jempol.
"Basta seperti biasa masakanmu nampak mengagumkan, biarkan aku mencoba fish and chips seperti yang kau buat tadi. Bisa kan kau buat satu untukku?" Ega merajuk.
"Ya ya Ega. Aku akan membuatkannya satu untukmu nanti ya." Ucap Basta yang sangat tahu sifat manja Ega itu.
"Kau juga sangat hebat Juno." Ucap Alvo menepuk pundaknya dengan bangga.
"Apa yang kalian katakan. Aku tidak melakukan apa-apa." Ucap Juno merendah.
"Ah siapa bilang? Kalau bukan karena kata-katamu pria itu tidak akan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri." Ega dan Dion bersamaan memeluk Juno yang selalu mereka anggap bayi diantara para Xanders.
"Hei hei tolonglah hentikan ini! Aku bukan bayi lagi!" Juno merajuk yang justru membuat Alvo, Ega, dan Dion makin erat memeluknya. Sedangkan Basta memilih menjauh dan mengamatinya dalam diam.
Tentu saja walau Juno nampak sering membangkang padanya, atau seolah enggan mengerjakan semuanya dan berlagak seperti tak bisa melakukan apa-apa, tapi sebagai kakak kandung, Basta begitu menyayanginya. Dia juga tahu kalau Juno menyimpan bakat dan kemampuan yang luar biasa. Dia juga selalu mengapresiasi seluruh pekerjaan adiknya walau tidak pernah menunjukkannya. Sebuah hubungan cinta dan benci yang bersamaan persis seperti apa yang sedang terjadi pada Vaz dan Orfe.
Seperti saat ini Orfe sedang memainkan terompetnya lagi dan lagi dan tak sengaja mendengar dentingan piano Vaz dari ruangan sebelah. Sejujurnya walau berasal dari ayah yang sama, tapi Orfe selalu merasa Vaz jauh lebih baik daripada dirinya mengenai musik. Berulang kali Orfe ingin menyerah menjadi bagian dari Xander. Dia tak merasa cukup baik atau mampu. Apalagi sang ibu yang kebetulan masih hidup juga begitu ingin dia berhenti bermain terompet dan hidup sebagai manusia biasa juga bekerja di kantoran di Saudi Arabia, tempat asal ibu Orfe. Itu kenapa Orfe juga tidak pernah mengunjungi ibunya, hanya menatapnya dari kejauhan saja. Kadang menelponnya walau selalu topik yang sama yang ibunya katakan. Tentu saja, para Xanders memiliki ponsel super pintar untuk berkomunikasi satu sama lain sama seperti manusia.
Orfe mengintip Vaz di kamarnya yang teretak persis di sebelahnya. Sedangkan di depan kamar mereka adalah kamar milik Dion dan Ega. Orfe sebenarnya hanya ingin melihat saja, tapi ternyata Vaz mengetahui kehadirannya. Dentingan piano itu sempat terhenti walau tangan indah itu masih menggantung di atas tutusnya.
"Kenapa hanya berdiri disana?" Vaz bertanya tanpa menoleh.
"Ah, aku hanya ingin mendengarkan kau bermain piano." Ucap Orfe akhirnya berjalan masuk juga dan duduk di sisi ranjang Vaz.
"Ingin berlatih bersama?" Tanya Vaz ramah.
"Ah tidak tidak. Aku tidak cukup baik." Ucap Orfe mengelak.
"Permainanmu cukup baik." Ucap singkat Vaz yang memang tidak terlalu banyak bicara.
"Tapi tidak sebaik dirimu." Ucap Orfe lagi dan Vaz memilih untuk tidak lagi meresponnya.
Lantunan piano Vaz kembali terdengar hingga Orfe memutuskan kembali bicara. "Basta dan Juno sudah kembali. Aku dengar mereka berhasil dengan misinya."
Vaz tidak menjawab hanya mengangguk saja beriringan dengan lantunan musik indahnya yang selalu dia tulis sendiri.
"Kapan kita akan melakukan misi bersama? Aku merasa jauh lebih percaya diri saat bersamamu." Ucap Orfe jujur.
Lagi Vaz tidak menjawab dan hanya menggeleng kali ini sebagai jawaban.
"Kenapa kau selalu menolakku? Apa permainan terompetku seburuk itu?" Tanya Orfe lagi.
Lagi Vaz hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Astaga Vaz. Kau bahkan tidak menganggapku ada." Ucap Orfe meninggalkan ruangan.
Vaz yang baru saja tersadar dari permainan pianonya sendiri menoleh menyusuri kamarnya dan menyadari ketidakberadaan Orfe. Jujur saja, Vaz selalu menyayangi Orfe seperti adik kandungnya sendiri. Bukan dia tak ingin menjalankan misi dengan Orfe, tapi dia memang sama sekali tak ingin bermain piano di bumi lagi dan mungkin mencelakai banyak orang. Ya beda dengan Orfe yang bebas memainkan musik apapun. Vaz tidak bisa memainkan musik sedih dan mendayu karena hal itu bisa memacu manusia yang mendengarnya semakin merasa buruk bahkan memilih mati. Sesuatu yang hingga saat ini tidak diketahui Orfe dan beberapa Xander lain.
Sedangkan di lain sisi, Orfe jadi bertanya lagi apakah dirinya kurang baik hingga Vaz tidak pernah ingin melakukan misi bersamanya di bumi. Orfe jadi merenungkan lagi perkataan ibunya yang memintanya berhenti bermain terompet. Tentu dia menyayangi ibunya tapi dia juga menyayangi dan menyukai pekerjaan juga para Xanders lainnya terutama Vaz kakak kandungnya. Hanya saja tindakan Vaz padanya semakin membuatnya kehilangan kepercayaan diri.