Bumi Tahun 2030, teknologi sudah semakin canggih walau tentu saja ketimpangan ekonomi masih nampak di seluruh penjurunya. Kekayaan hanya dimiliki masih oleh mereka yang berkuasa. Sedangkan bagi yang tak mampu bersaing dengan kerasnya dunia tetap saja harus hidup merana. Kejahatan juga meningkat tajam karena mereka ingin berontak dengan ketidakadilan. Tindakan kriminal meningkat pesat karena mereka tidak punya cara lain untuk bertahan hidup. Sejatinya masalah manusia adalah hal yang berulang dan terus ada hingga akhir jaman. Bumi semakin tua tapi tidak dengan tingkah pola manusia di dalamnya.
Sore itu, Basta turun ke Bumi. Dia ingin berjalan-jalan saja di sebuah Negara kecil di Asean, Malaysia. Basta sedang berada di salah satu bangunan fenomenal di Negara ini, Menara Kembar. Para Xanders menguasai seluruh bahasa di bumi jadi dimanapun mereka berada dengan mudah mereka akan berkomunikasi dengan manusia yang berada di sana. Tapi dimanapun pula, semua mata pasti memandang dengan asing, entah karena ketampanan atau fisik yang tak biasa atau memang karena mereka memang seorang demigod bagi yang mengetahui. Mereka tidak diterima oleh manusia bumi karena keistimewaannya tapi juga tak diterima para dewa karena ketidaksempurnaannya.
Basta sedang memandang saja di kejauhan. Memperhatikan banyaknya orang yang sedang berkumpul di wilayah ini. Ada yang asik saja mengobrol dengan keluarga, teman, atau pasangan. Banyak anak-anak berlarian kesana kemari. Beberapa seniman jalanan yang menunjukkan penampilan terbaik mereka juga beberapa penjual yang aktif menawarkan dagangannya. Hingga matanya tertuju pada sesosok wanita yang bersinar diantara lainnya. Wanita yang mengenakan dress selutut berwarna putih sedang menjajakan bunga dagangannya di sebuah tenda kecil dengan senyum cantiknya.
Basta ingin sekali berjalan mendekat tetapi mendadak mengusir pemikirannya jauh. Para Xanders memiliki pantangannya, agar kekuatan mereka tak menghilang, mereka tidak boleh berpikiran buruk, kotor, jahat atau segala bentuk pikiran negatif lainnya. Oleh karena itu, salah satu pantangan terbesar bagi para Xanders adalah wanita. Basta jadi takut sendiri kalau wanita itu akan mempengaruhi dirinya. Lalu matanya tertuju pada kedai burger yang ada persis di samping toko bunga sang wanita misterius. Basta memilih membelinya satu.
Menunggu pesanannya dibuat, mata Basta seringkali menoleh pada sang wanita tapi entah mengapa dia tidak menyadari kalau dirinya terus memperhatikan. Justru sang penjual burger yang menyadarinya dan tersenyum menatap Basta. Seorang ibu paruh baya yang nampak lembut dan ramah mengenakan jilbab di kepalanya.
"Ada apa? Kau terus memperhatikannya." Ucapnya masih dengan spatula di tangannya.
"Ah, hahahaha. Tidak tidak. A-aku hanya," Tolak Basta halus.
"Tidak perlu mengelak. Matamu itu terus menatapnya daritadi. Kau sudah pria yang kesekian datang membeli burgerku hanya untuk menatapnya. Tapi kebanyakan dari mereka akan langsung pergi setelah menyadarinya." Ucap sang ibu penjual burger.
"Menyadari apa?" Basta jadi bingung juga.
Sang ibu hanya tersenyum saja dan membuat Basta lebih lekat menatap. "Ap-apa dia buta?"
"Seperti yang kau lihat." Ucap sang ibu ramah.
Tak lama pesanan Basta datang dan dia pun membayarnya. Akhirnya memutuskan untuk mendatangi tenda sang wanita penjual bunga untuk memastikan. Benar saja, wanita itu tidak menyadari kehadirannya dan masih sibuk menjajakan jualannya.
"Halo." Sapa Basta.
"Owh halo. Ada yang bisa saya bantu? Anda mau membeli bunga?" Sapanya ramah.
"Ah iya. Aku mencari mawar merah. Beri aku sepuluh tangkai ya." Ucap Basta.
"Mawar merah? Wah, untuk orang yang spesial rupanya." Ucap sang wanita itu mengulas senyum. Tangannya bergerak luwes sedikit meraba bunga mawar merah juga mengambilnya sepuluh tangkai.
"Tidak. Ah iya maksudku iya. Aku membelinya untuk orang spesial." Tutup Basta merutuki kebodohannya sendiri.
"Wah, orang itu pasti sangat beruntung." Ucap sang wanita masih berusaha memotong tangkainya.
"Iya. Hm, apa kau selalu berjualan disini? Atau kau memiliki tempat lainnya?" Tentu saja itu hanya pertanyaan basa-basi.
"Aku? Hanya disini saja setiap sore hari kecuali hari Senin." Ucapnya ramah kali ini membungkus bunga mawarnya dengan hati-hati.
"Owh begitu. Sebenarnya aku seringkali butuh beberapa bunga dan aku lihat bunga di tokomu segar dan baunya harum. Apa aku bisa meminta kartu nama atau apapun itu?" Tanya Basta tentu sedikit berbohong.
"Memangnya kau siapa?" Tanya wanita itu lagi mendadak .
"Ah astaga iya. Aku sampai lupa mengenalkan diri. Aku Basta dan aku hm mengelola magic shop di sekitar sini. Aku memerlukan bunga untuk beberapa trik dan aku membutuhkan yang segar tentu saja." Ucap Basta entah kenapa harus berbohong yang lain.
"Ah begitu. Aku Aura dan ini kartu namaku. Kau bisa menghubungiku kalau membutuhkan bunga. Aku juga bisa mengantarnya kalau kau mau." Dengan sedikit berusaha wanita yang bernama Aura itu menyerahkan kartu namanya.
Setelah membayar dan berjabat tangan, Basta segera menyingkir dan menyalahkan dirinya sendiri karena mendadak kikuk di depan Aura. Gadis manis berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus sepunggung. Wajahnya sedikit bulat dan pipinya tembem. Tampilannya sederhana dengan fitur wajah serba mungil. Entah kenapa begitu menggemaskan di mata Basta.
"Astaga apa yang kau pikirkan Basta? Kau mendekati seorang wanita bahkan membeli bunga? Untuk apa? Apa yang akan para Xander lainnya pikirkan kalau mengetahui ini?" Basta tersadar saat menatap sebuket bunga di tangannya. Menatap sepasang suami istri berusia senja yang sedang duduk di sebuah bangku taman. Segera menghampiri mereka dan meminta sang suami memberi istrinya bunga miliknya. Lagi, mereka nampak bahagia hanya karena sebuket mawar. Basta segera berlalu dari sana.
Duduk kembali di tempat pertamanya terduduk. Masih sesekali mengamati Aura bergantian dengan kartu nama di tangannya. Masih galau antara harus membuang atau malah menyimpan nomornya, hingga akhirnya Basta melakukan keduanya, membuang setelah menyimpan nomornya. Sebuah solusi luar biasa. Entah kenapa Basta merasa ada yang berbeda pada diri Aura. Senyum ramah itu seakan menyimpan luka. Kata-kata manis itu seolah menyembunyikan tangis.
Basta jadi mengingat lagi burger yang sudah dia beli sebelumnya dan memakannya karena lapar. Tentu saja para Xanders makan seperti manusia pada umumnya. Walau mereka tidak mendapatkan semuanya dengan sulit. Seluruh hasil alam tumbuh tanpa harus dirawat. Para Xanders hanya perlu memetik dan memanfaatkannya saja. Kebanyakan berupa buah-buahan dan sayuran. Ikan juga tersedia dengan mudah di seluruh perairan Kota Malghavan. Sedangkan untuk mendapatkan uang, sejujurnya mereka hampir tidak memerlukannya karena para dewa sudah memberi kecukupan tentu saja karena pekerjaan mereka sebagai Xanders. Pekerjaan mereka menyebar kebahagiaan untuk manusia sudah menjadi bayaran tertinggi dalam kehidupan para Xanders.
Ponsel Basta berbunyi, dari Vaz yang memang dekat dengannya, bertanya dimana dia berada. Tak lama tentu saja berkat Orion, Vaz datang menghampirinya.
"Apa yang membuatmu turun ke bumi Vaz?" Tanya Basta.
"Aku hanya merindukannya." Ucap Vaz penuh misteri.