Chereads / Fons Cafe #2 / Chapter 9 - Episode 48

Chapter 9 - Episode 48

Selesai operasi keempatnya hari ini, Leo pun segera pergi ke ruangannya. Operasi non-stopnya memakan banyak sekali tenaganya.

Jam tujuh pagi tadi dia melakukan operasi kanker serviks dengan membuat beberapa organ yang sudah menyebar.

Lalu jam sebelas, Leo melanjutkan aksi operasinya dengan kanker prostat. Jam dua siang tadi Leo sudah melakukan operasi pengangkatan rahim, dari kanker ovarium dan jam lima dia melakukan operasi pengangkatan sel kanker di tenggorokan.

Selesai operasi, ia pun sudah kelelahan, dan jam juga menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Setelah operasi yang berlanjut terus, Leo pun meminta dua belas bungkus sirup glukosa seperti biasanya.

"Dok, permisi, keadaan Mr. Park memburuk pasca operasinya satu bulan lalu," kata Cindy, yang masuk ke dalam ruangannya.

Leo baru menghabiskan setengah sirup glukosanya, saat Cindy masuk, "Keadaannya memburuk?"

"Sepertinya kankernya sudah menyebar ke daerah lain," katanya menambahkan, "Dokter Eltha bilang kalau Mr. Park harus melakukan operasi total jika ingin sembuh harusnya dari awal. Tapi sekarang sudah terlambat Dok..."

Leo menenggak glukosanya lagi. Dia menyerap omongan Cindy. "Tunggu dulu, Eltha? Eltha Karina?"

"I--iya Dok.."

"Eltha? Dimana kau bertemu dengan Eltha?" Tanya Leo lagi.

"Dokter Eltha... adalah dokter onkologi yang baru di kontrak oleh Presdir sejak tiga hari lalu. Saat Dokter harus ke Bali untuk seminar, Dokter Eltha yang menangani Mr. Park."

Leo menata pikirannya terlebih dulu, dia tidak langsung keluar dan mencari dimana keberadaan Eltha. Tapi dia langsung melihat rekap datanya Mr. Park.

Mr. Park di diagnosa terkena kanker lambung stadium III, awal tahun ini, dan dia sudah beberapa kali keluar-masuk rumah sakit untuk kemoterapi dan puncaknya adalah saat operasi satu bulan lalu. Leo tahu kalau sebenarnya dia harus mengangkat semua organ yang sudah terkena anak sebarnya. Namun Mr. Park tidak mau.

Jadilah hari ini, dimana semua anak sebarnya sudah menyebar ke tulang belakang, pinggul, usus, dan paru-parunya.

"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Mr. Park sudah tidur sekarang. Mungkin beliau ingin bertemu denganmu besok," jelas Cindy.

Leo mengangguk, "Ada yang ingin kau katakan lagi?"

Cindy menggeleng.

"Baiklah, aku pulang dulu."

Leo membawa barang-barangnya dan tak lupa kunci mobilnya. Leo turun menuju lobby. Melewati pintu lobby, disanalah dia bertemu dengan sosok wanita yang cantik, dengan rambut lurus yang di potong rata sedagunya.

"Eltha Karina," panggilnya.

Eltha menoleh kearah Leo, melihatnya dengan tatapan kedua matanya yang bulat dan menyeramkan itu. "Oh."

Leo tersenyum malu, "Ternyata kau masih sama saja seperti dulu, tak berubah sama sekali."

"Apa yang ingin kau katakan?"

Leo berubah serius. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan kepada Mr. Park?"

Eltha memejamkan matanya sebentar. "Hmm... kau hanya perlu mengatakan hal yang sejujurnya padanya. Karena dia bukanlah pasienku," jawab Eltha ringan dan tajam.

Selama yang dikenal oleh Leo, Eltha adalah orang yang selalu lebih darinya. Leo lulus sebagai lulusan kedua terbaik di bidang bedah onkologi saat spesialis. Dan yang meraih posisi pertamanya adalah Eltha. Orang yang menjadi rival Leo, sekaligus orang yang disukainya.

Sayangnya, Leo tak pernah berhasil mendapatkan Eltha, sehingga diapun hanya berhasil mendapatkan Winna Jessica, yang mengambil spesialisasi anestesi. Tapi Winna pun sudah menikah setelah lulus dengan seorang Dokter bedah anak.

"Ayo kita pulang, Tha," ajak Winna dari arah berlawanan. "Oh, Leo?"

"Someone is gonna continue their un-finished love story..."

Winna melotot, "Jangan kau pikirkan omongannya Le."

"Ups, aku lupa kalau Leo sudah menikah dengan anak Presdir rumah sakit ini?!" Bisik Eltha.

"Aku bisa mendengarmu, Tha," balas Leo. "Kalian berdua bekerja disini sekarang? Lalu bagaimana dengan relawan perang?"

"Aku sudah puas mencari pengalaman selama di perang. Sementara Winna harus mengurus anaknya sendirian sejak ia bercerai dengan suaminya yang adalah dokter bedah juga disini.."

Winna mencubit perut Eltha.

"Aduh, sakit!" Dengus Eltha.

"Jangan dengarkan dia. Aku bekerja disini karena hanya rumah sakit inilah yang bisa menerima aku dam Eltha satu paket," jelas Winna lagi.

"Baiklah, selamat datang dan bergabung di dalam Regium Hospital, Eltha, Winna." Kata Leo itu tulus dari lubuk hatinya untuk menyambut kedua sahabatnya itu.

-----

David Kaj.

Apa ayahmu baik-baik saja, Le?

Leonardo S.

Tentu saja, Bodoh. Mengapa kau menanyakan hal konyol seperti itu memangnya?!

David Kaj.

Aku hanya khawatir saja. Kemarin aku pergi membeli tahu di toko ayahmu, tapi kata Davies ayahmu sedang sakit, sehingga tidak bisa melayani.

Leonardo S.

Kau tidak sedang menutupi atau merahasiakan sesuatu dariku tentang ayahku kan, Vid?

David Kaj.

Tentu saja tidak Le!!! Bagaimana aku menyembunyikannya?

Leonardo S.

Baguslah kalau begitu.

Leo menutup aplikasi whatsappnya, lalu melihat e-mail yang masuk. Tak berapa lama dia membuka e-mailnya, ada lagi whatsapp yang masuk ke dalam ponselnya.

Eugene

Kau mau makan siang apa?

Leo tidak ingin makan sebenarnya. Selama ini dia selalu melewatkan jam makan siangnya dengan hanya menenggak dua atau tiga kali sirup glukosa. Baginya itu adalah makanan.

Cara itu di dapatkannya dari Eltha yang selalu melakukan hal itu setelah melakukan operasi. Khususnya operasi besar yang memakan waktu banyak.

Setelah lelah melakukan aktivitas seperti operasi, tentu saja tubuh akan merasa lapar dan butuh di isi, hal yang paling dibutuhkan tubuh adalah karbohidrat yakni karbohidrat yang diolah menjadi gula dalam tubuh.

Untuk dokter yang memiliki jadwal padat, makan adalah salah satu jadwal yang dapat memperlambat suatu jadwal operasi. Maka dari itu, hal yang paling praktis adalah dengan meminum beberapa cairan glukosa.

Bahkan saat Eugene bertanya seperti ini, Leo juga tidak tahu harus menjawab apa.

Leonardo S.

Aku akan makan di kantin nanti.

Tiba-tiba pintu Leo terbuka. "Astaga, lama sekali kau membalas whatsappku!"

Leo terkejut melihat istrinya yang muncul tiba-tiba dari arah pintu masuk. "Eugene?"

"Ya, ini aku. Memangnya kenapa kalau istrimu sendiri datang kemari?"

"Tidak masalah," jawab Leo, padahal dalam hatinya di mendengus, "Aku bisa mencari makananku sendiri di kantin rumah sakit, kau tidak perlu repot-repot."

Eugene segera menghidangkan masakan yang di bawanya. Soto santan, lengkap dengan emping dan juga kentang goreng keringnya.

Leo tak pernah ingat kalau soto santan akan menjadi makanan yang bisa dimakannya di kantornya lagi. Sejak dia menjadi ahli bedah onkologi, yang memiliki ruang kerja sendiri, dia selalu menghindari makanan yang menimbulkan bau yang kuat. Itu sebabnya dia tidak pernah memakan soto santan yang di bawa oleh Bibi untuknya.

"Ini sama sekali tidak merepotkan, Leo, aku hanya melayani suamiku saja," jawab Eugene, "Lagipula perutmu hanya diisi oleh sirup-sirup glukosa. Pastinya kau tidak kenyang betul bukan?"

Leo tahu kalau hanya meminum glukosa saja tidak akan membuatnya kenyang. Tapi jadwal padatnya tak bisa di hindari. Makan hanya akan membuat pekerjaannya terhambat.

"Aku tahu jadwalmu kosong setelah ini. Jadi, kau bisa makan," jawab Eugene tersenyum, dan Leo pun membalas senyumannya. "Makanlah, Le."

Leo mulai membuka makanan yang dibawa Eugene, dia pun menyantapnya dengan semangat. Tentu saja itu adalah makanan yang menjadi favoritnya selama 30 tahun umurnya. Seketika, Leo baru menyadari sesuatu, dia teringat pesan David sewaktu mengiriminya whatsapp.

Harus diakuinya, Eugene memang selalu di rumah, dan dirinya hanya pulang saat akhir minggu saja. Hal itu juga membuatnya tidak terlalu memikirkan kesehatan ayah.

"Ayahmu beruntung memiliki seorang anak yang menjadi dokter sepertimu. Kau pasti tidak akan membiarkannya sakit parah sepertiku."

Ucapan Mr. Park tadi pagipun masih terngiang jelas saat dia mengatakan yang sebenarnya bahwa Mr. Park hanya memiliki waktu tidak lebih dari 3 bulan lagi.

"Leo?" Panggil Eugene, saat dia merasa Leo sudah melamun, "Kau baik-baik saja?"

Leo segera sadar, dia pun mengangguk, "Mm. Iya tentu saja. Oh, Eugene, apa Ayah baik-baik saja selama aku di rumah sakit?"

Pertanyaan itu cukup lama bagi Eugene untuk mendapatkan jawabannya. "Hmm... kemarin Ayah merasakan tulang belakangnya sakit. Sepertinya dia kelelahan."

"Kau yakin Ayah tidak sakit apapun?"

"Mengapa kau bertanya begitu? Apa Ayah sakit?"

Leo menggeleng cepat, lalu memberikan senyuman terbaiknya, "Ah, tidak. Ayah baik-baik saja."

Kriing! Kring!!

Telepon ruangan Leo berbunyi. Dengan cepat Leo segera mengangkatnya.

"Dokter Leo dari departemen onkologi disini. Ada yang bisa dibantu?"

"Selamat pagi, Dok, saya Nia, perawat dari departemen penyakit dalam."

"Oh, iya. Apa ada rujukan pasien?"

"Sebenarnya Dok, saya ingin memberitahukan kalau hasil tes darah Ayah Dokter Leo, Bapak Anton, sudah dapat di ambil."

"Tes darah? Sepertinya Ayah saya tidak pernah melakukan tes darah."

"Tapi saya harap Dokter segera mengambil hasil tesnya agar dokter juga bisa memberikan tindakan secepatnya."

Wajah Leo pun berubah tegang. "Apa hasil tesnya buruk?"

Leo tak membantah sepatah omongan pun yang dikatakan oleh perawat itu, lalu dia hanya berkata, "Saya akan kesana setelah jam kerja."