"Tumor otakmu membesar, Eugene," kata Fritz yang sedang mengecek keadaannya dalam ruang perawatan. Eugene baru selesai di pasangkan infus oleh perawat, dan keadaannya cukup membaik setelah diberikan infusan itu. "Hasil MRI dan PET-Scanmu juga sudah keluar. Hasilnya seperti dugaanku yang semula."
"Onkologi?"
"Spesialis onkologi yang harus menanganimu, Eugene."
Eugene menggeleng cepat. Dia tidak mau di bawa ke departemen onkologi. Karena itu berarti dia harus bertemu dengan Leo. Lebih buruknya lagi, dia bisa saja ditangani oleh Leo sendiri.
"Eugene, kau beruntung karena sudah menemui penyakitmu selama kau masih berada di Amerika," jelas Fritz, "Mungkin saja kalau kau di periksa di Indonesia akan lebih kacau. Mengingat alat di Amerika jauh lebih baik dibandingkan Indonesia."
Eugene masih terdiam. "Om, jangan beritahu Leo dan bagian onkologi lainnya."
"Sementara ini kau harus dirawat disini. Apa kau malas makan di rumah?"
Eugene mengangguk pelan.
"Baiklah. Dokter Eltha akan menemanimu."
Paras cantik Eltha muncul dari balik pintu tepat setelah Fritz menyebutkan namanya, diikuti pula oleh sosok Winna yang seperti biasa harus satu paket dengannya.
"Eltha, ini Eugene," kata Fritz.
"Senang bertemu dengan seorang chef terkenal sepertimu," kata Eltha. "Aku Eltha dari departemen onkologi, dan Winna, dari departemen anestesi."
Pupil mata Eugene langsung melebar mendengat kata onkologi yang diucapkan oleh Eltha. "Onkologi?"
"Yup. Dan aku tahu persis kalau kau adalah istrinya Leo, anak dari Presdir Ferdi bukan?" Balas Eltha.
"Hei, Eltha, jaga bicaramu! Kau akan menyinggung perasaannya!" Senggol Winna sambil berbisik dengan cepat.
Eugene tersenyum kecil, "Tidak masalah. Tolong jaga rahasia dari Leo saja."
Eltha menatap manik mata Eugene yang tulus itu, lalu membalas senyuman istri temannya itu. "Baiklah."
Tak lama kemudian Eltha harus ke ruang operasi untuk operasi tentunya. Sehingga Winna menemani Eugene sementara.
"Maaf jika Eltha berbicara seperti itu. Kemampuan intrapersonalnya memang kurang baik. Tapi sebagai seorang dokter, dia memiliki kemampuan yang luar biasa."
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Eugene.
"Tentu saja. Tanyakan saja."
"Apa Dokter Eltha mengenal Leo?" Winna sedikit canggung untuk mengatakannya. "Tidak apa. Katakan saja apapun yang kau tahu soal Leo dan Dokter Eltha. Mungkin ada pula hubungannya denganmu?"
"Ah.. sebenarnya... Leo dan Eltha teman kuliah saat mengambil spesialis. Sementara aku teman baiknya Eltha. Dulu, Leo menyukai Eltha, tapi Eltha tidak pernah megindahkannya, dan pada akhirnya aku yang berpacaran dengan Leo."
Eugene mengangguk-angguk paham. "Oh begitu... lalu kenapa kalian berdua putus?"
"Leo dan aku bukanlah orang yang bisa melengkapi. Kita berdua sama-sama keras kepala. Walaupun aku menyayanginya, tapi aku tidak bisa terus bersamanya."
Baiklah, jadi sejauh ini, Eugene sudah tahu bahwa suaminya memiliki tiga orang mantan kekasih. Vega, Winna dan Cindy. "Apa kau masih menyayangi Leo?"
"Sebagai seorang lelaki, tentunya tidak. Aku sudah menikah dan bercerai dengan suamiku, karena kami berdua sama-sama sibuk, bahkan anak kami berdua lebih sering kami titipkan kepada orangtua kami selama kami menikah," kata Winna, setengah curhat tentang keluarga kecilnya, "Tapi sebagai dokter, tentu saja harus kuakui aku memang selalu terpesona dengannya. Meskipun dia selalu kalah dari Eltha, tapi Leo tidak pernah sedih karena kalah dari wanita."
Eugene tersenyum mengetahui hal itu. Ternyata suaminya adalah orang yang hebat.
-----
Leo pulang ke rumahnya dengan keadaan benar-benar lelah setelah seharian berurusan dengan tumpukan berkas pasien yang harus diberi tindakan. Terlebih lagi ketika ia mengingat keadaan ayahnya yang memburuk minggu lalu, saat ayahnya batuk darah.
Hubungannya dan Eugene semakin baik, bahkan tak jarang Leo tersenyum karena perkataan Eugene yang berhasil mengembalikan moodnya yang buruk setelah seharian di rumah sakit.
Lea dan Heru pun mempercepat tanggal pernikahan mereka menjadi akhir minggu depan.
"Kak Leo.." panggil Lita ragu ketika melihat Leo yang sedang mengambil minum di dapur.
"Ada apa, Ta?"
"Apa Kakak pulang dengan Kak Eugene?" Tanya Lita hati-hati, mengingat Leo memiliki emosi yang kadang tidak terkontrol.
"Tidak. Aku pulang sendirian. Memangnya Eugene pergi?"
"Kak Eugene tadi pagi pergi setelah Kakak pergi kerja. Katanya dia akan pulang sekitar jam lima atau enam sore. Tapi sampai sekarang dia belum pulang juga."
Leo langsung meletakkan gelasnya. Lalu dia naik ke kamarnya sambil membawa tasnya. "Eugene?"
Saat dia masuk, kamarnya memang benar-benar kosong. Leo langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon Eugene.
"Eugene? Dimana kau sekarang?"
"Aku di rumah sakit."
Leo langsung mematung. "Kau kenapa? Apa kau kecelakaan? Atau kau sakit? Kau sakit apa Eugene?"
"Astaga, satu-satu Leo. Aku hanya kelelahan saja. Tapi dokterku memaksaku untuk menginap di rumah sakit."
"Eugene, kau tidak sedang berbohong kan?"
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku berbohong?"
"Aku kesana sekarang!"
"Jangan Leo. Kau tidak perlu kemari. Kau pasti sudah lelah seharian di rumah sakit. Jadi istirahat saja di rumah. Yang perlu kau khawatirkan adalah Ayah. Bukan aku."
"Baiklah. Aku akan memeriksamu besok pagi. Istirahatlah dengan baik selama di rumah sakit. Oke?"
"Siap Dokter Bawel!" Seruan Eugene itupun mengakhiri sambungan telepon mereka malam itu.
-----
"Kenapa kau tidak bilang saja yang sebenarnya pada Leo?" Tanya David. "Aku yakin dia sedang khawatir pada istrinya saat ini."
Eugene menggeleng. "Dia sudah cukup pusing oleh keadaan Ayah. Apalagi sejak Ayah keluar dari rumah sakit karena batuk darah minggu lalu. Memberitahunya tentang keadaanku sekarang hanya akan menambah beban pikirannya saja."
David biasanya sering tertawa jika ada teman sesama selebritinya mendapatkan peran sakit parah, layaknya kanker. Bahkan teman-temannya itu tak jarang mampir ke Fons, dan latihan aktig di depan David, dan David hanya menertawai usaha mereka untuk akting.
Tapi ini bukan sekedar akting. Nyatanya memang Eugene sakit.
"Jadi ini alasanmu berhenti dari Cooking with Master itu?" Tanya David, "Dan berat badanmu bisa turun drastis juga karena ini?"
Eugene mengangguk, "Yap. Sebetulnya memang begitu. Karena tumor yang muncul itu memengaruhi indera pengecap rasaku. Dari pada aku membuat masakanku sendiri tidak karuan, lebih baik aku mundur sebelum di ketahui khalayak umum."
"Memangnya kau tidak berobat selama disana?"
"Nope. Aku tinggal sendirian disana. Aku memang memiliki kekasih, tapi dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Saat aku bertemu Leo, aku yakin Leo juga tipikal lelaki yang sibuk sekali dengan kerjaannya. Tapi aku tidak menolaknya."
"Kenapa begitu?" Tanya David penasaran.
"Karena aku yakin bahwa dia untukku."
Pintu kamar Eugene terbuka. Eltha pun masuk ke dalamnya.
"Sudah lewat jam besuk. Kau boleh pergi sekarang!"
David mendengus sebal. "Kenapa kau mau saja di rawat oleh setan seperti Eltha, sih?"
"Eltha itu dokter yang baik Vid. Tidak mungkin aku menolak untuk di rawat olehnya."
David tersenyum. Memang Eltha memiliki kemampuan verbal dan komunikasi yang buruk dengan orang lain. Tapi nyatanya, dia memang dokter yang jujur, dan tidak pernah haus uang apalagi kekuasaan.
"Baiklah aku pulang dulu ya. El, tolong rawat Eugene dengan baik!"
"Bawel. Ini hanya penyakit ringan bagiku. Hanya saja, pasiennya yang terlalu keras kepala, tidak mau di operasi!" Seru Eltha.
Sepeninggal David, Eltha memeriksa keadaan Eugene dengan cekatan. "Kau tahu dari mana kalau aku tidak mau di operasi karena keras kepala?"
Sambil menulis, Eltha menjawab pertanyaan Eugene. "Semuanya terlihat dengan jelas saat kau mengatakan, 'memberitahu Leo tentang penyakitmu hanya akan menambah beban pikirannya.'"
Eugene tersenyum.
"Tapi kau tahu? Jika kau tidak memberitahunya sekarang, Leo akan sangat tertekan jika dia mengetahuinya di kemudian hari. Kau itu egois."
Eugene tidak menampiknya.
"Kau boleh istirahat sekarang. Ingat, jangan membuang obat yang diberikan oleh perawat. Jika kau memang menyayangi Leo, kau akan bersedia untuk di operasi harusnya sebelum tumormu menyerang medulla oblongata."