"SUDAH BERAPA LAMA KAU MENGETAHUINYA?!" suara Leo pecah, memenuhi ruang tunggu dari departemen penyakit dalam. Leo yang melihat hasilnya pun sudah tahu, kalau kondisi ayahnya sangat parah.
Tanpa penjelasan tambahan dari Perawat, Leo langsung keluar. Dia berjalan cepat dan menelepon David. Yang dilakukannya adalah berteriak saat David mengangkat teleponnya.
"Dari awal."
Leo marah. Mengapa David masih bisa menjawab dengan nada biasa dan tenang. "KENAPA KAU TIDAK MEMBERITAHUKU?!"
"Ayahmu tidak mau kau tahu, Le."
"SEHARUSNYA KAU MEMBERITAHUKU! KALAU AYAHKU TIDAK BISA!"
"Karena kau akan menjadi seperti ini. Itu sebabnya ayahmu tidak mau memberitahumu. Karena itu Le, kau harus bersikap baik kepada ayahmu--"
Leo segera mematikan ponselnya, segera menuju ruang observasinya. Dia menyalakan lampu x-ray, dan mulai membaca hasil MRI milik ayahnya.
Seperti orang kesetanan yang benar-benar kebingungan. Lalu tak lama Cindy datang ke dalam ruangan itu. "Dokter? Ada apa? Kenapa Dokter berteriak tadi?"
Leo mengabaikan pertanyaan Cindy. Dia terus memutar CD hasil rekap status milik ayahnya.
"Kau melihat rekap status milik Mr. Park lagi?"
Leo hanya diam, dan mengotak-atik isi CD yang di lihatnya, berharap kalau dokter yang memeriksa ayahnya adalah dokter yang bodoh dan salah mendiagnosa ayahnya.
Sementara Cindy berusaha mencari tahu siapa yang sebenarnya menjadi objeknya Leo. Di depan amplop statusnya, Cindy melihat dengan jelas siapa pemilik nama tersebut.
ANTON, MR.
61 YEARS 4 MONTHS 12 DAYS
"I--Ini... ini milik ayahmu...? Dokter Leo..?"
"Tolong jangan bicara apapun lagi, Cin."
-----
Sementara itu, Eugene melihat kalau Leo memang frustasi dari balik pintunya. Sebenarnya, dia sudah disuruh untuk pulang setelah makan siang Leo habis. Tapi Eugene memilih untuk bersembunyi di dalam ruangan kaca di tengah resepsionis.
Eugene juga melihat Cindy yang ikut masuk ke dalam ruangannya Leo. Eugene tidak marah, justru setelah melihat itu, Eugene segera menuju resepsionis rumah sakit yang ada di lantai dasar.
"Permisi," sapanya.
Sang Resepsionis langsung berdiri, dan memberi hormat pada Eugene, "Oh, Nona Eugene, ada yang bisa saya bantu?"
Eugene tersenyum, "Boleh aku tahu siapa dokter yang menangani pasien yang bernama Anton? Usianya 61 tahun."
"Oh ya, tunggu sebentar saja, Nona," jawabnya.
Walaupun Eugene bukan dokter di rumah sakit, tapi dia memiliki akses untuk melihat pasien manapun yang diinginkannya. Selama ini yang bisa membuka data pasien hanyalah Presdir dan Eugene dengan sidik jari mereka untuk aktivasi akses, selain dokter yang menanganinya.
"Silahkan taruh ibu jari Nona."
Leo, walaupun sudah menjadi keluarga Presdir, dia belum memiliki akses tersebut, karena jarinya belum di masukkan ke dalam akses.
Resepsionis itu pun memberikan data yang di minta Eugene. "Bapak Anton, 61 tahun, 4 bulan, 12 hari. Beliau di rawat di departemen penyakit dalam."
"Nama dokternya?"
"Dokter Himawan."
"Siapa dia? Aku baru mendengar nama itu disebut.."
"Dokter Himawan adalah dokter yang baru lulus dari spesialis penyakit dalam."
Eugene tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa seorang yang baru lulus penyakit dalam diberikan pasien yang memiliki kanker ganas yang sudah menyebar kemana-mana?
"Ra, saya mau izin cuti besok ya, jadi tolong sampaikan ke pasien yang ingin menemui saya untuk menemui saya lusa saja," kata sebuah suara yang cukup akrab di telinga Eugene.
"Baik Dokter Fritz."
Fritz melirik Eugene yang mematung melihat hasil tes seorang pasien. Dari hasil patologinya, Fritz dapat melihat dengan jelas kalau pasien ini sudah sangat parah. "Apa itu ayahnya Leo?"
Eugene buyar dari lamunannya.
"Aku tanya, apa itu milik ayahnya Leo?" Ulangnya dengan lebih jelas.
"Oh, iya. Om, kenapa ayahnya Leo tidak menemui Om saja?"
Fritz berpikir sejenak, dia pun mengajak Eugene ke tempat kerja pribadinya. Dia pun di ceritakan bagaimana awal ceritanya Ayah bisa sakit, di bawa ke Regium dan akhirnya hanya di rawat oleh Dokter Himawan. Miris sekali mendengarnya, saat Fritz bercerita kalau Ayah tidak punya cukup banyak uang untuk diobati olehnya, ataupun di departemen Onkologi.
"Jadi... Ayah memang memutuskan seperti ini?"
"Sewaktu dia mengetahuinya, kurang lebih tiga bulan lalu, dia juga sudah tahu bahwa umurnya tidak sampai setahun lagi. Paling lama enam bulan."
"Om kejam!"
"The prestige being a doctor is when you can heal your patient disease, and see them healthy. While the worst part is when you have to give the dead sentence to your patient," lanjut Fritz. "Ini adalah hal yang haru kulalui tiap harinya jika memang aku tidak mungkin melakukan sesuatu. Begitupula dengan suamimu, Leo. Dia pun juga melakukannya pada pasien-pasiennya."
Eugene mendongak, melihat Fritz. "Kalau Dad?"
"Ferdi... Dadmu itu adalah orang yang mencari aman. Dia baru akan mengobati pasiennya jika sudah selesai di operasi bukan?"
Eugene tertawa.
"Ayahmu tidak akan tega untuk memberitahu orang lain soal berapa lama lagi ia hidup dan bertahan. Jujur saja, ayahmy itu terlalu lemah."
"Tapi dia menjadi Presdir, jangan kau lupakan itu, Om!"
"Astaga! Aku lupa kalau nasibnya begitu baik! Itulah yang membuatku selalu iri dengan ayahmu!"
-----
Malam harinya, Leo pulang ke rumah dalam keadaan bimbang. Ia tak yakin kalau Ayahnya yang selama ini di anggapnya sebagai pengganggu karena miskin, sekarang benar-benar sakit.
Dia pun masih mengingat dengan jelas pembicaraannya dengan Eltha sewaktu hendak pulang tadi.
"Operasi. Itupun kalau kau berani untuk mengangkat seluruh organ tubuh vitalnya yang tidak terkena anak sebarnya, lalu mengangkat kankernya. Setelah itu kau rekonstruksi ulang saja."
"Tha..."
Eltha mendongak, dia melihat Leo dengan kedua mata tajamnya.
"Dan kau hanya bisa melakukannya tiga bulan yang lalu. Paling lambat, sebulan yang lalu. Hasil patologinya menunjukkan hasil yang sama seperti Mr. Park."
Bayangan Leo kabur, ketika pintu rumahnya terbuka. "Leo? Istrimu memasak makanan yang sangat enak hari ini! Kau harus mencobanya!" Seru Lea, yang sedang membuang sampah.
"Kak," panggilnya.
"Mmm? Ada apa Le?"
"Kapan kakak akan menikah dengan Heru?"
Lea mengerutkan keningnya. "Hmm... Tidak biasanya kau tertarik dengan urusan pribadiku. Ada masalah apa yang membuatmu seperti ini?"
Leo melangkah mengeluarkan hasil patologi Ayah mereka. Lea mengambilnya, dan membuka itu perlahan.
"CA?"
"Kita menggunakan CA untuk cancer."
Lea membacanya, dan dia tidak mengerti sama sekali apa yang tertulis di dalam kertas yang di pegangnya. "Aku tidak mengerti. Siapa yang sakit kanker?" Lea mencari-cari nama si pasien, dan dia akhirnya menemukannya di sudut kiri atas. "A--Ayah?"
Lea pun terkejut, dia segera masuk lagi ke dalam rumah, diikuti oleh Leo.
Ayah masih berada di meja makan bersama dengan Bibi Linda, Lita, Davies, Reza dan Amel begitupula dengan Eugene.
"Kenapa Ayah tidak memberitahu kami kalau Ayah sakit?! Kenapa Yah?" Seru Lea dengan suara tingginya. "Ayah ingin membuat kami menjadi keluarga yang jahat? Keluarga yang tidak memerhatikan anggota keluarga lainnya?!"
Ayah diam, tanpa menjawab pertanyaan Lea.
"Anton," panggil Bibi Linda lirih, "Apa benar kau sakit?"
Semuanya masih dalam ketegangan, sementara Leo yang sudah tahu itupun hanya bisa menyapu bersih air mata yang mulai keluar perlahan dari sudut matanya.
"Leo, katakan kalau ini semua lelucon! Ini tidak ada lucu-lucunya sama sekali!!"
Leo menarik napas dalam. Lalu dia pun mengatakannya. "Kanker lambung, stadium IV. Penyebaran ke usus besar, tulang belakang, rektum dan paru-paru."
Lea tercekat. Semuanya tercekat.
"Ayah!!!" Lea pun menangis. "Aku tidak mau mendengarnya selain dari mulut Ayah sendiri!"
Ayah tersenyum.
"Analisis Leo tepat sekali. Ayah bersyukur telah menyekolahkanmu menjadi dokter."
Leo merasa dunia hancur untuk kedua kalinya.
Dulu, saat Vega meninggalkannya, Leo merasa hidupnya sudah hancur karena Vega adalah cinta abadinya. Tapi sekarang dia jauh lebih hancur lagi.
Orangtua yang sangat disayanginya, orangtua yang hanya tinggal satu-satunya dimilikinya, sekarang sakit.
Apa gunanya memiliki status dokter jika tidak bisa merawat anggota keluarganya yang sakit?