Aku mempersiapkan diri ini untuk membunuh si wanita jalang perebut ayah. Sudah beberapa hari ini aku memantau semua kegiatannya. Oh ya, aku sudah menemukan rumah yang akan mereka pakai untuk acara pernikahan ayah nanti. Aku juga sudah mempersiapkan segala hal yang aku butuhkan. Aku berencana akan masuk ke sana saat hari pernikahan tiba. Aku akan menjadi seorang penata rias pengantin dan sudah satu minggu ini aku belajar merias dari seorang guru tata rias di sekolahku. Aku memang sangat berniat untuk menjalankan aksi tak terpuji ini, semuanya aku lakukan agar rasa sakit hatiku dapat terobati.
Saat hari pernikahan tiba, aku datang ke rumah itu saat pagi hari. Kumainkan peranku dengan sangat sempurna agar aksiku tak gagal. Tentu saja aku menutupi wajahku dengan masker dan make up yang ku pakai berbeda dengan biasanya, aku tak ingin ayah tahu jika aku berada di rumah ini. Saat aku mulai masuk ke rumah besar milik wanita itu, aku cukup tertegun dengan segala isinya. Begitu mewah dan terlihat mahal, pantas saja ayah lebih memilih wanita ini, dia sangat kaya raya. Namun apa yang wanita itu inginkan dari ayahku? Ayah tak terlihat tampan, tidak terlihat jelek juga. Ayah tak memiliki banyak uang, juga memiliki sifat yang buruk. Kenapa ia masih ingin ayah menjadi miliknya? Ah, entahlah! Tak penting juga untukku tahu semua itu. Aku datang ke sini hanya untuk membunuh, bukan untuk ikut campur dalam percintaan mereka. Eh! Tunggu! Percintaan? Hahaha lucu sekali rasanya mengatakan hal itu. Aku tak yakin jika mereka saling mencintai. Lagipula sepertinya mereka hanya saling memanfaatkan keadaan saja. Aku menduga ayah memanfaatkan kekayaan wanita jalang ini dan si wanita itu mungkin saja hanya kesepian, ia membutuhkan pelukan seorang lelaki. Jika memang seperti itu, kenapa harus ayah aku yang ia jadikan sasaran? Seharusnya ia pergi saja ke diskotik dan bermesraan dengan lelaki hidung belang di sana. Ya sudahlah, jangan membahas hal itu lagi.
Aku memutuskan untuk masuk ke kamar wanita itu dan mulai merias wajahnya dengan sempurna. Tentu saja aku mengubah nada bicaraku, membicarakan segala hal tentang tata rias. Wanita itu begitu senang, banyak hal yang ia bicarakan. Jujur! Aku tak peduli dengan apa yang ia ucapkan. Setelah wajah wanita itu terlihat sangat cantik, aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan mentalku. Ku biarkan ia bersama penata rambut dan busananya.
Aku bersembunyi di kamar mandi rumah calon ibu tiriku, aku harus mempersiapkan diri ini untuk membunuh wanita itu. Aku yakin saat ini ia masih berada di kamarnya. Setelah siap untuk membunuh, aku pun keluar dari kamar mandi. Tak terasa, aku sampai di kamarnya, terlihat beberapa orang tengah merias rambut wanita murahan itu. Aku meminta waktu berdua kepada mereka semua untuk meninggalkan kami. Ku beri mereka alasan untuk membenarkan make up yang menurutku sedikit berantakan, aku juga mengatakan kepada mereka jika aku membutuhkan konsentrasi tinggi. Entah mereka memang bodoh atau tidak, mereka mempercayai apa yang aku ucapkan. Ingin sekali aku menertawai mereka.
Satu persatu dari mereka keluar dari kamar ini, hingga tiba saatnya ruangan ini sepi dan hanya ada aku dan dia. Tanpa ia ketahui aku menutup pintu dan menguncinya, lalu kunci pintu itu ku sembunyikan.
"Tante!" panggilku sembari membuka masker yang sedari tadi ku pakai.
"Kamu siapa?" tanyanya. Ia tampak terkejut melihat kehadiranku.
"Aku anak dari calon suamimu," balasku tanpa ragu. Ia kembali terkejut, aku menyunggingkan senyum.
"Kamu jangan bohong ya? Calon suamiku belum pernah menikah!"
Apa? Ayah belum menikah? Lalu aku dan ibu dianggap apa olehnya? Apa ia benar-benar tak menganggap kami? Aku begitu terkejut mendengar kenyataan ini. Aku tak percaya jika ayah tidak mengakui kami sebagai anak dan istri pertamanya.
"Haha. Tante udah dibohongi sama lelaki tua itu. Kalau Tante gak percaya, coba tanya aja sama Ayah," ujarku mencoba untuk tidak terkejut dengan perkataannya tadi.
"Oh ... Saya ingat kamu! Kamu yang di kafe itu kan? Hhhmm pengemis? Kok kami bisa masuk ke dalam kamar saya ya?" tanyanya begitu sombong. Pengemis? Aku dianggapnya pengemis? Cih, lihat saja, beberapa menit lagi dia yang akan mengemis di hadapanku.
"Mendingan kamu pergi aja deh, kalau nggak aku bakal panggil satpam buat ngusir kamu," usirnya.
"Yang pantas pergi itu kamu!" balasku.
"Loh ini kan rumahku, ha …."
"Bukan itu maksudku, kau pantas untuk PERGI KE NERAKA!" Aku memotong ucapannya, ia terkejut mendengar apa yang aku ucapkan
"Kamu udah ngerebut Ayahku dan kamu pantas MATI!" lanjutku dengan penuh penekanan di setiap ucapanku. Lagi-lagi ia terkejut dan ketakutan mendengarnya.
"Sabar, Nak. Kita bisa omongin baik-baik ya? Jangan jahat seperti itu, gak pantas," katanya meremehkanku. Aku pun mulai mengeluarkan pisau. Kulihat mata wanita itu melebar, nampaknya ia benar-benar ketakutan sekarang, keningnya pun mulai berkeringat. Aku rasa, bunga-bunga melati yang menghiasi kepalanya itu akan mengantarkannya menuju alam kubur. Aku begitu senang melihat ia ketakutan seperti ini. Perlahan aku mendekatinya, aku memajukan langkahku sedikit demi sedikit. Wanita itu juga memundurkan tubuhnya hingga ku lihat punggungnya sudah menyentuh tembok.
"Nak, jangan main-main dengan pisau. Bahaya!" ucapnya memperingatiku. Aku hanya terkekeh pelan mendengar ucapannya yang terkesan ketakutan. Aku tersenyum sinis kearahnya. Semakin lama, aku dan wanita itu semakin berdekatan. Tanpa basa basi lagi, dengan cepat aku pun menusukkan pisau itu ke perutnya. Ia berteriak kesakitan. Ku cabut pisauku dan menusukkannya kembali, namun kali ini aku tusukan pisau itu ke mata kanannya. Darah segar pun bermuncratan ke wajahku. Wanita itu terjatuh dan terus berteriak kesakitan. Beberapa orang di luar sana berusaha membuka pintu kamar ini. Mungkin saja mereka khawatir mendengar teriakan wanita ini.
"Maaf yaa, Tan. Seorang perebut emang pantas mati!" tuturku sembari memegangi pundaknya. Aku kembali mencabut pisauku dan menusukkannya lagi ke dada si jalang itu. Lagi, lagi dan lagi, ia berteriak kesakitan. Teriakannya membuat kupingku sakit. Aku mencabut pisauku dan menusukkannya ke tenggorokannya. Seketika ia sudah tak bersuara dan nampaknya ia sudah tak bernafas. Aku memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi dari rumah itu secara diam-diam dan tanpa diketahui siapapun.
Aku kembali ke rumah dengan hati yang begitu bahagia. Bagaimana tidak? Balas dendam dan rasa sakit hatiku terobati. Rasanya aku begitu lega telah membunuh manusia paling jahat seperti dia. Apa yang aku harapkan kini telah menjadi kenyataan. Aku telah berhasil membunuhnya, ia mati di tanganku. Perasaan puasku menjalar di seluruh tubuh ini. Untuk pertama kalinya aku merasakan kepuasan yang luar biasa. Aku tak menyangka jika membunuh adalah suatu hal yang benar-benar membuatku bahagia. Apakah aku harus terus membunuh agar aku selalu merasakan kebahagiaan ini? Ah entahlah.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.