"Mereka mati!" ucapku. Semua yang berada di kelas pun sangat terkejut dan mulai ketakutan untuk melanjutkan permainan ini.
"STOP! Tolong hentikan permainan ini!" mohon Bella. Aku menatap Bella dengan tajam.
"Permainan ini gak ada berhenti sampai sini," balasku. Mereka semua mengernyitkan kening mereka termasuk Rani yang berdiri di sampingku.
Aku menatap mereka semua, lalu kembali berucap, "Aku gak akan hentikan permainan ini hingga ada pemenangnya."
"Kenapa lo buat permainan ini?" tanya Dimas.
"Karena kalian semua udah bikin gue sakit hati. Kalian udah bikin hidup gue menderita. Dan kalian semua udah BIKIN GUE KAYAK GINI!!! GUE KAYAK GINI ITU GARA-GARA KALIAN!" ucapku sudah tak tahan lagi untuk menahan emosiku ini.
"Maksud lo apa sih?" tanya Clara. Pertanyaan bodoh! Sepertinya ia berpura-pura tidak tahu dengan apa yang mereka lakukan kepadaku. Cih! Menyebalkan.
"Kalian udah ngebully gue. Perkataan kalian itu selalu bikin sakit hati. Gue gak bisa nerima ucapan-ucapan kotor kalian. Hati gue selalu sakit kalau dengar kalian ngomong ini dan itu tentang gue. GUE UDAH CAPEK HIDUP KAYAK GINI. Dan hari ini adalah hari terbaik gue. Hari yang gak akan gue lupain seumur hidup."
"Tapi gue gak pernah ngebully lo, Sa," tutur Rani yang masih berdiri di sampingku..
"Ya! Kamu emang gak pernah ngebully aku. Tapi setiap kamu ngomongin aku, omongan kamu selalu terdengar olehku," balasku pelan di dekat kupingnya.
"DAN OMONGAN KAMU ITU BIKIN AKU SAKIT HATI!" bentakku di hadapan Rani. Mata Rani mulai berkaca-kaca, nampaknya ia takut dengan bentakan ku ini.
"Salah gue apa sama kalian? Gue udah berusaha berbuat baik sama kalian, tapi balasan kalian malah …??"
Aku sudah tak sanggup untuk melanjutkan perkataanku. Air mataku ini sudah berjatuhan, aku sudah tak dapat menahan emosiku yang sudah meluap ini.
"Kalian malah ngebully gue, ngomongin gue dan ngehina gue. Apa kebaikan gue ini kurang? Apa yang harus gue lakuin biar kalian ngerti sama perasaan gue? Apa salah, gue gak pernah keluar kelas? Apa salah, gue diam di dalam kelas terus? Apa sikap gue ini bikin risih kalian? Apa emang kalian gak pernah liat anak seculun dan gak berguna kayak gue? SALAH GUE APA HAH?" teriakku dan mencengkram dagu Putri yang tengah duduk ketakutan. Putri mulai menangis dan tubuhnya bergemetar.
"Maafin kita, Sa. Kita gak bermaksud buat bikin lo sakit hati," ucap Albert mulai berbicara.
"Maaf? Maaf lo bilang? Apa kata Maaf bisa nyembuhin rasa sakit hati gue? Gue gak butuh kata maaf," balasku sembari menatap tajam Albert.
"Heh, Alissa, lo biasa aja dong. Masih mending kita mau minta maaf, dasar gila!" balasnya begitu tajam. Aku pun mengambil pisau yang kutaruh di balik bajuku dan dengan cepat menghampiri Albert.
"Gila? Siapa yang gila? Gue? Gue emang gila. DAN GUE GILA GARA-GARA KALIAN!"
CRAAASSHHH CRAASHH CRAAASHH
Aku langsung menusuk perut Albert hingga beberapa kali dan mulai mengoyak-ngoyak perutnya lalu mengeluarkan isi perutnya. Ia mati seketika. Semua orang melihat kejadian itu pun mulai tak dapat mengendalikan ketakutan mereka. Mereka memberontak dan berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat tangan dan tubuh mereka.
"Rani, apa kamu mau melanjutkan permainan ini?" tanyaku dengan lembut. Rani mengangguk dengan semangatnya. Lalu ia kembali mengambil kertas lipat itu.
"Ambil gergaji mesin dan potong tubuh mereka semua," ucapnya membacakan perintah.
Perlahan ia mengambil gergaji mesin yang berada di dalam kotak besar dan mulai menyalakannya. Lalu ia pun mengarah kepada Iqbal dan langsung memotong tubuh Iqbal dengan gergaji mesin itu hingga tubuh Iqbal terbagi menjadi dua. Ia juga melakukan hal itu kepada Thomas, Nathan, Ayu, Erwin dan Putri. Mereka semua mati seketika dan Rani semakin menggila. Ia juga sudah tak dapat menahan kekesalannya. Nampaknya ia ingin permainan ini selesai. Tanpa bertanya lagi, ia langsung mengambil kertas lipat itu. Melakukan perintah yang tertulis dan membunuh semua orang yang dibencinya. Sementara aku hanya terduduk manis dan menyaksikan kejadian itu. Satu persatu teman-teman sekelasku mati. Mereka semua memang pantas mendapatkan balasannya.
Aku sangat menikmati tontonan yang menghIbur ini. Aku tak menyangka Rani begitu hebat menjadi seorang pembunuh. Ia dengan keji terus menerus membunuh teman satu kelasnya. Padahal mereka semua adalah temannya sendiri. Rani dan teman-temannya tidak pernah ada masalah, itupun setahuku. Aku juga tak menyangka ia akan melakukan itu semua hanya demi selamat dari permainan ini. Padahal jika film yang tengah kubuat ini ku sebar luaskan, ia dan aku akan menjadi pembicaraan hangat dan kemungkinan ia dan aku akan masuk penjara. Namun, aku tak memperdulikan itu semua. Aku hanya ingin menyimpan film documenterku ini, aku tak ingin hari paling membahagiakan sepanjang hidupku ini diketahui oleh orang banyak.
Aku melihat Rani membuka kertas lipat terakhir yang ia pegang, lalu ia membaca isi dari kertas itu dengan lantang didepanku.
"Bakarlah semua orang yang kau bunuh!" Terlihat ekspresi wajahnya semakin menyeringai.
"Ini terlalu mudah untukku," ucap Rani sambil merobek kertas tersebut. Ia pun mengambil sebotol bensin yang berada di dalam kotak besar. Lalu ia pun menyiramkan bensin itu ke semua tubuh orang yang telah ia bunuh. Aku pun mengambil kameraku untuk merekam semua momen terindah ini.
Saat kamera mulai menyorotnya, ia mulai menyalakan pemantik api dan membakar semua orang yang ia bunuh itu. Aku tertawa puas melihat semua tubuh-tubuh itu terbakar. Tak lama aku mencium aroma daging panggang yang menusuk hidungku.
"Hhhmm … Ahhh … Rani, apa kau mencium bau itu?" tanyaku pada Rani.
"Yaaa … Aroma daging panggang. Aku jadi ingin memakannya."
"Hhmm ... Terlalu memakan waktu, lebih baik kita pergi dari sini sebelum ada yang mengetahui keberadaan kita," kataku sambil mematikan kameraku. Aku dan Rani pun berjalan mendekati pintu kelas. Aku membuka pintu kelas dan seketika itu aku melototkan mataku, tubuhku menegang dan bergemetar. Aku benar-benar terkejut saat melihat beberapa guru yang memandangiku dengan tajam dan beberapa polisi yang tengah menodongkan pistolnya ke arahku dan Rani.
Aaarrgghhh, sialan, pasti salah satu dari teman-teman sekelasku yang melapor saat aku tengah lengah. Aku pun dengan terpaksa mengangkat kedua tanganku, begitupun dengan Rani. Lalu mereka membekuk kami dan membawa kami ke kantor polisi. Aaaarrggghhh, benar-benar sialan, hari ini aku kurang beruntung, tapi aku sangat puas melihat teman-teman sekelasku yang busuk itu sudah mati di hadapanku.
Di dalam sel, aku terus mengingat kejadian itu. Semua hal yang telah terjadi membuatku tertawa tak berhenti. Rasanya aku sudah gila dengan kehidupan ini. Sangat puas melihat mereka semua menderita. Andai aku bisa bermain dengan lebih bersih dan persiapan yang matang, mungkin aku tak akan berakhir di dalam ruangan yang menjijikan ini. Mungkin saja aku sudah bisa bersenang-senang di Bali menggunakan tiket yang selalu aku pegang saat permainan berlangsung. Huh … Aku harus bersabar untuk beberapa tahun ke depan, dimana saat itu aku sudah terbebas dan mungkin aku akan melakukan aksiku lagi. Haha.
SELESAI!!!
***
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.