"Lea?" panggil Radi, melihat Lea melamun menatapnya. "Pagi-pagi jangan melamun."
"Hmmm, maaf. Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkannya, Radi," ujar Lea.
Radi diam, ia menoleh ke sisi lain. Sementara Lea mendengus, yang dirasakan olehnya bukan hanya tidak napsu makan dan tidak dapat tidur nyenyak saja, namun sepertinya otak dan pikirannya tidak dapat selaras dan berkonsentrasi dengan baik.
"Jika kamu ada waktu dan juga bersedia, kita bisa membicarakannya sepulang sekolah nanti."
***
Radi memberikan minuman bersoda dengan es krim vanila di atasnya. Lea tersenyum dan segera mengambil ponselnya, masuk dalam menu kamera. Ia segera memotret minuman tersebut dan mempostingnya di media sosial miliknya.
'Before I Married.'
Lea memberikan caption pada postingannya tersebut.
"Disantap, sebelum meleleh," ucap Radi, ia menggoda Lea yang masih asyik dengan ponsel dan media sosialnya.
"Radi … ngomong-ngomong … terima kasih atas traktirannya," ujar Lea dengan senyum sumringahnya.
"Coklat frappe bisa mengurangi stres dan es krim bisa menyejukkan hati dan pikiranmu," ujar Radi, memandangi minuman miliknya yang sama dengan Lea. "Kalau aku … bisa membuatmu bahagia."
Blush
Lea diam, terperanga melihat Radi yang kini beralih, menjadi melihatnya.
"Aku hanya bercanda, Lea. Guna mencairkan suasana," lanjut Radi kemudia.
Lea menghembuskan napasnya, hampir saja ia salah paham dengan apa yang diucapkan oleh Radi.
"Kamu … bisa saja," gerutu Lea.
"Kalau benar bisa bagaimana?" tanya Radi, memajukan posisi duduknya, seolah penasaran.
"Bisa apa?" Lea balik bertanya. Radi terlalu ambigu.
"Bisa membuatmu bahagia," jawab Radi.
"Kalau begitu, aku akan menikah denganmu. Tapi nanti, kalau aku dengan calon suamiku tidak berjodoh," balas Lea, lama kelamaan nada bicaranya menjadi lesu.
"Kamu berharap cerai darinya?"
"Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya ingin bisa mencintai teman hidupku, siapapun itu. Dan juga … aku memiliki harapan untuk dapat melakukan hal-hal yang aku inginikan, sebelum aku menikah," tutur Lea.
"Apa keinginanmu?"
"Keinginanku …."
***
Lea tiba di depan rumahnya dan melihat sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumah Lea. Sebuah mobil yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya, namun yang pasti sepertinya itu milik tamu sang ibu. Pintu rumah Lea terbuka lebar dan juga ada beberapa sepatu yang berjajar rapi di teras rumahnya.
"Sedang ada tamu," gumamnya, merasa jengah jika di rumahnya kedatangan tamu. Lea pasti tidak bisa langsung istirahat dan diminta untuk menemani tamu ibunya hingga tamu itu pulang.
Tok tok tok
Lea mengetuk pintunya dan memperlihatkan dirinya kepada orang-orang yang kini sedang duduk di sofa ruang tamunya.
"Lea, sudah pulang?" sapa sang ibu, sangat tidak biasanya ia menyambut sang anak dengan riang. "Sini, Nak. Duduk dekat ibu," pinta sang ibu.
Lea tersenyum dan mengangguk. Lea menunduk untuk menunjukkan rasa sopannya dan segera duduk di sebelah ibunya. Tak lupa Lea menyatukan kedua tangannya untuk bersedekap, memberi salam serta tak mengurangi rasa hormatnya kepada tamu-tamu ibunya.
"Baru pulang sekolah, Lea?" tanya seorang pria yang terlihat tak lagi muda.
"I—iya …," jawab Lea.
"Sayang Vino tidak ikut. Ia pasti akan sangat senang melihat calon istrinya. Sangat cantik dan imut," ujar seorang wanita yang duduk bersebelahan dengan pria yang diduga adalah Rudolf, seseorang yang akan membeli rumah mendian ayah Lea dengan harga tinggi. Sayang, wanita itu terlihat tidak begitu akrab dengan Rudolf dan posisi duduk mereka terlihat berjarak, tidak dekat.
"Lea perkenalkan, ini Paman Rudolf dan Tante Vina. Tante Vina ini ibu kandung Nak Vino. Tante Vina tinggal di luar negeri dan sengaja datang ke negeri kita selama beberapa waktu untuk menghadiri pernikahan kalian," tutur Lesta, menjelaskan tanpa memberitahu secara langsung kalau Rudolf dan Vina sudah bercerai.
Lea membulatkan mulutnya membentuk huruf O. Ia tidak tahu harus memberikan komentar apa dan akhirnya memilih untuk diam saja.
Lea memilih tetap diam selama ibunya dan kedua orang tua Vino membicarakan mengenai pernikahan Lea dengan Vino. Sesekali Lea hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan saran dan pendapat dari Rudolf dan Vina. Lea tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakannya, karena sekalipun ia menolak, kecil kemungkinan untuk para orang tua itu untuk meyetujui pendapat Lea.
"Jangan diam saja, Lea. Ini pernikahanmu, bukan pernikahan kami para orang tua," ujar Rudolf, merasa kalau Lea sama sekali tidak mengeluarkan pendapatnya.
'Bagaimana aku mau bersuara, setiap kali kalian berpendapat, saat itu juga kalian menyetujuinya tanpa lagi menunggu jawaban dariku,' gerutu Lea dalam hatinya.
Sudah hampir satu jam Lea menemani ibunya dan juga calon mertua Lea yang memang sengaja datang untuk membicarakan pernikahan Lea yang katanya akan dilaksanakan pada bulan ini.
Lea sudah tidak terkejut lagi. Baginya semua yang menimpa dirinya kini hampir menyerupai alur cerita yang ada di sebuah novel ataupun komik. Bahkan jalan hidup Lea sudah sangat pasaran dijadikan sebagai ide cerita pada sebuah film atau sinetron yang memiliki episode cukup panjang. Dan kini semua itu menjadi nyata, dimana Lea lah yang jadi pemeran utamanya.
"Lea, kenapa tadi kamu banyak diam saat Paman Rudolf dan Tante Vina memberikan banyak pendapat? Jangan bertindak seakan kita hanya terima beres tentang pernikahanmu," gerutu Lesta, tidak terima karena anaknya yang hanya manut saja pada pendapat dari Rudolf dan Vina.
"Bukankah kita memang hanya terima beres, Bu? Apa yang kita berikan kepada mereka untuk pernikahanku nanti?" tanya Lea, ia hanya memastikan kalau apa yang disangkal oleh ibunya itu memang benar.
"Lea—"
"Bu, Lea sudah menuruti semua permintaan ibu untuk membantu melunasi utang mendiang ayah. Sekarang beri Lea waktu untuk menikmati masa lajang Lea yang tidak lebih dari 30 hari," pinta Lea, menyela ucapan ibunya.
Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Lea segera bergegas pergi menuju ke kamarnya.
***
Lea menatap gambar dirinya bersama sang ayah, dimana saat itu Lea masih balita. Tangannya meraba halus potret sang ayah yang sudah tidak apik lagi. Butiran bening menetes, menggambarkan dirinya yang sedang tidak baik-baik saja.
Lea berusaha menahan isaknya, ia tidak ingin ibunya mendengar suara Lea yang sedang menangis. Meski ia ingin ibunya menyadari kalau Lea sama sekali tidak rela dengan pernikahan ini, namun Lea tak sampai hati menolak permintaan ibunya. Walau bagaimanapun, setelah ayahnya meninggal dunia ibunya telah bersusah payah menggantikan posisi suaminya menjadi tulang punggung keluarga, meski hanya sebagai penjahit rumahan.
Penghasilan sang ibu yang tak seberapa, membuat Lea kerap menahan keinginannya, termasuk menonton film 3D. Bukan hanya sekadar penghasilan Lesta yang hanya cukup untuk kebutuhan mereka saja, Lesta juga harus memikirkan bagaimana caranya ia mampu melunasi utang-utang mendiang suaminya yang kini sudah menumpuk karena bunga yang sudah bertahun-tahun tak kunjung dibayarkan.
"Ayah … sebelum Lea menikah, bolehkah Lea meminta sebuah permohonan?"