'Apa Kak Ben marah padaku? Ini benar-benar murni kecelakaan.'
"Lea?"
'Aku jadi merasa bersalah,' batinnya mengeluh, ia tidak sadar kalau sedari tadi Ben memanggilnya.
"Lea?"
"Hm?! Kakak memanggilku?" tanya Lea, seolah tersentak.
"Apa petugas di bioskop ini ada yang namanya Lea?"
Lea terkekeh, kemudian ia berjalan menghampiri Ben, mendekat dan merangkul lengan tangan pria yang sudah dikenalnya sejak kecil. Kaki Lea jinjit dan menarik pelan daun telinga Ben.
"Aku lapar," bisiknya, memegangi perutnya.
Ben melirik ke arah perut Lea yang sejak tadi diusap. Ia tersenyum melihat tingkah Lea.
"Makanya, kalau nonton jangan ketiduran. Jadi lapar, kan?"
Lea hanya cemberut menatap Ben yang masih saja terkekeh karena tingkah Lea yang begitu imut menurutnya.
"Ayo, ayo … mau makan dimana?"
Lea menyeringai, merangkul lengan tangan Ben dan mengajaknya berjalan, menjadi petunjuk arah ke sebuah rumah makan yang ada di dalam mall tersebut.
***
Lea masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan was-was. Ia tidak izin dengan ibunya kalau akan pulang terlambat. Bahkan Ben yang biasanya meminta izin kepada ibu Lea pun lupa, sehingga membuat Lea khawatir kalau ia akan mendapat amarah dari ibunya.
'Jika ibumu marah, segera hubungi aku. Aku yang akan menjelaskannya.'
Lea terngiang pesan dari Ben ketika Lea menolak Ben yang hendak menemui ibu Lea saat mengantarnya pulang.
"Lea?"
DEG
Lea menghentikan langkahnya dengan jantung yang berdetak cepat seketika. Peluh dari pelipisnya terlihat menetes karena cemas, Lea menggigit bibir bagian bawahnya, berbalik badan dan menyapa sang ibu yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Martabaknya simpan di kulkas saja, ya. Makan saat dingin lebih enak," ujar ibu Lea, kemudian ia kembali masuk.
"He? Ibu tahu kalau aku membawa martabak?" gumam Lea bertanya pada dirinya sendiri, sembari melihat bungkusan yang ia pegang di tangan kanannya. "Martabak dari Kak Ben, yang sudah direncakan untuk aku makan nanti malam sembari menonton drama …," keluhnya.
Lea melanjutkan langkahnya menuju ke dapur, untuk menyimpan martabak permberian dari Ben. Sembari ia kembali ke dapur, Lea memainkan ponselnya dan melihat pesan dari Ben.
Ben
[Martabak itu untuk ibumu]
[Aku sudah menelponnya dan meminta maaf]
[Semoga kamu tidak dimarahi olehnya, ya]
Lea tersenyum. Ia kagum pada Ben yang memiliki seribu cara untuk meluluhkan hati ibu Lea yang begitu keras dan tak jarang memarahinya.
***
Pagi ini, ada pelajaran olahraga yang tidak disukai oleh Lea. Namun mau tidak mau ia tetap harus mengikuti kelas tersebut, meski hanya duduk di tepi lapangan, melihat murid laki-laki yang sedang bermain basket. Sorak memekik ditelinga dan membuat Lea jengah, namu saat ia hendak pergi, Ninda menahannya dan meminta Lea untuk bertahan sampai jam pelajaran olahraga itu usai.
Dengan dengusan kesal, Lea akhirnya kembali duduk dan menyaksikan permainan bola basket yang hanya membuatnya terjemur di bawah matahari yang terik. Lea merengut, ia menunduk untuk menahan panas dan berusaha untuk agar tubuhnya tetap baik-baik saja. Namun ia sama sekali tak membaik, terlihat cairan menetes dari hidungnya dan membuat Lea mengernyit saat melihatnya.
"Nin, ada tissue, tidak?" tanya Lea, menahan hidungnya.
"LEA?! Kamu mimisan?!"
Suara Ninda yang hampir menyerupai teriakan, membuat murid-murid berhamburan dan berkumpul mengelilingi Lea, untuk melihat kondisinya.
"Lea, kamu bisa berdiri? Kita ke UKS, ya," ajak salah satu teman kelasnya yang sudah memapah tangan Lea.
"A—aku di sini saja," tolak Lea, ia menyumbat darah yang keluar dari hidungnya dengan tissue.
"Lea, kita ke UKS saja, ya. Supaya kamu bisa istirahat," ujar Ninda, kali ini ia berubah pikiran.
Lea melihat Ninda dengan tatapan kesal, namun kekesalannya sirna saat pandangannya mulai berkunang-kunang dan …
Bugh
Lea jatuh pingsan.
***
Lea membuka matanya, pandangannya masih samar. Ia memegangi kepalanya, masih sedikit pusing yang disebabkan karena benturan saat ia jatuh pingsan. Lea mengangkat tubuhnya dan segera duduk. Ia menunduk, berharap rasa sakit itu segera hilang agar ia bisa kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran.
"Sudah sadar?"
Lea menoleh, mendengar suara seseorang yang seperti menyapanya. Suara seseorang yang masih asing dan belum familiar baginya.
"Minumlah," ujar pria yang mengenakan seragam yang sama dengannya, memberikan segelas air minum kepada Lea.
Lea belum menerima gelas tersebut, ia masih memandangi wajah pria yang kini ada di hadapannya itu.
"Aku Radi, murid baru di sekolah ini," ujar pria itu memperkenalkan dirinya.
"Radi?" tanya Lea, kemudian ia menerima gelas tersebut dan segera menengguk air tersebut. Lea meletakkan gelas tersebut di atas meja yang terletak di samping brankar yang kini menjadi tempat duduknya. Ia kembali melihat pria yang kini masih memandangnya.
"Aku Lea," ucap Lea, ia ikut memperkenalkan dirinya. "Kau … sedang apa di sini?" tanya Lea merasa heran.
"Ibuku dokter di sini. Aku berada di sini karena beliau memintaku untuk menjagamu, sebentar saja," jawab Radi.
"Kau … anak dokter Rahel?"
Radi tersenyum, ia mengangguk.
"Seharusnya hari ini adalah hari pertamaku belajar di sekolah ini. Tetapi jam pelajaran olahraga membuatku harus berada di sini. Sampai aku diminta untuk menjagamu hingga sadar—"
"Kau sakit?" tanya Lea, memegang kening Radi. Rautnya terlihat khawatir. "Kau baik-baik saja?" tanya Lea lagi.
Radi menurunkan tangan Lea. Ia tersenyum kemudian mengusap kepala Lea, mengacak rambutnya.
"Aku baik-baik saja. Hmmm, jika kau sudah baikan … aku akan mengantarmu ke kelas," ujar Radi menawarkan diri untuk mengantar Lea.
"Hmmm, sepertinya … aku akan berada di sini saja hingga jam sekolah berakhir. Kepalaku masih terasa sakit," balas Lea, ia tidak berbohong mengenai sakit yang dirasakannya, namun keinginannya untuk tidak kembali ke kelas itu karena ia malas.
"Baiklah. Aku akan duduk di tempat ibuku. Jika kau memerlukan bantuan, kau bisa panggil aku," ujar Radi, kemudian ia beranjak untuk kembali ke tempat duduknya semula, dimana itu adalah kursi yang biasa menjadi tempat duduk ibunya.
Lea masih menatap punggung Radi yang berlalu, bahkan hingga tak terlihat lagi. Ia tersenyum, kemudian mencari ponselnya. Lea ingin menghubungi Ben dan memberitahu kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Dimana ponselku, ya?"
***
Lea berjalan dengan gontai sembari menarik tali tas Ben. Ia menunduk, seperti orang yang memilki kesalahan. Lea yang tidak menemukan ponselnya untuk menghubungi Ben, mengira kalau Ben tidak akan tahu kondisinya saat ini. Ternyata Ninda sudah menghubungi Ben lebih dulu dan ia dengan siaga menunggu Lea di depan sekolah saat jam pulang sekolah.
Ben memarahinya, kesal karena Lea yang tidak bisa mengukur kondisi tubuhnya sendiri. Sementara Lea yang berlaku seperti adiknya hanya bisa diam dan mengikuti langkah Ben dari belakang.
"Lea," panggil Ben, tanpa menoleh ke arah Lea.
"Hm?"
"Aku tidak marah padamu. Aku hanya khawatir padamu."