"Lea," panggil Ben, tanpa menoleh ke arah Lea.
"Hm?"
"Aku tidak marah padamu. Aku hanya khawatir padamu."
Lea melangkahkan kakinya mengejar Ben, hingga mereka sejajar. Ia menengadah dan kemudian menyeringai.
"Kenapa?" tanya Ben heran.
"Aku baik-baik saja, kok. Kakak tidak perlu khawatir, ya," ujar Lea, kemudian ia merangkul lengan tangan Ben yang membawa tas Lea.
"Berat, Lea. Aku membawa tas kamu, loh," gerutu Ben.
Lea terkekeh dan kemudian berpindah ke sisi kanan Ben. Ia kembali merangkul lengan Ben dan kembali bersikap manja seperti biasanya.
"Kalau di sini … tidak berat, kan?" tanya Lea dengan kekehannya.
Sementara itu, tidak jauh di belakang mereka, ada Radi yang sedang tersenyum melihat Lea bersama Ben, seorang pria yang tidak diketahui oleh Radi.
"Radi, ayo pulang," ajak dokter Rahel, ibunda Radi yang bekerja sebagai dokter UKS di sekolah itu.
Radi tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia mengambil tas jinjing milik ibunya dan membantu membawakannya.
"Terima kasih, anak baik."
***
"Mimisan lagi?"
"Sedikit saja, Bu."
"Sedikit tapi pingsan dan membuat geger seisi sekolah," sahut Ben menggerutu.
"Ninda saja yang berlebihan memberitahu Kak Ben. Padahal … tidak perlu memberitahu kakak, aku juga bisa pulang sendiri," balas Lea, pura-pura merasa merepotkan.
"Kamu ini … bukannya berterima kasih, malah mengeluh. Ben sampai meninggalkan kelasnya hanya untuk menjemput dan mengantar kamu pulang, Lea," ujar ibunya, terdengar dari nada bicaranya, ibu Lea seperti kesal.
"Maaf …," cicit Lea. "Hmmm … terima kasih, Kak Ben," ujar Lea, mengatupkan kedua tangannya.
"Sama-sama. Kamu istirahat lagi, ya. Supaya besok bisa lebih baik dan kembali sekolah," balas Ben.
Lea tersenyum dan mengangguk. Ia berlalu meninggalkan Ben bersama dengan ibunya. Ada perasaan cemas, kalau ibunya akan bicara yang tidak-tidak pada Ben.
'Semoga tidak ada tambahan pembicaraan lagi di antara mereka,' batin Lea berharap.
***
Lea duduk di kursi yang menjadi tempat duduknya selama dua tahun menempuh ilmu di sekolah tersebut. Ia memandangi langit nan biru, begitu cerah menyambut paginya hari ini. Lea merasa dirinya sudah lebih baik dari kemarin dan memutuskan untuk kembali sekolah hari ini.
Disaat Lea sedang kagum dengan langit yang diciptakan oleh pemilik semesta, tiba-tiba saja ia merasa sentuhan hangat pada dahinya yang membuat pandangan itu sedikit terhalang oleh sebuah tangan di hadapannya.
"Sudah baikan?"
Lea menengadah melihat pria yang sedang memegang dahinya seraya memastikan kondisi Lea yang sudah baik-baik saja.
"A—aku baik-baik saja. Eh, s—sudah baikan," jawab Lea, ia tergagap.
"Baguslah," balas pria yang tak lain adalah Radi, kemudian ia berlalu menuju ke sebuah meja yang terletak satu baris dengan Lea, namun Radi duduk di kursi nomor dua dari belakang.
Lea masih melihat Radi yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Ia tersenyum, namun sama sekali tidak dilihat oleh Radi.
"Sedingin es, sehangat mentari," gumam Lea.
"Kak Ben maksudmu?"
"Ninda?! Kapan kamu datang?" tanya Lea, kaget ketika Ninda tiba-tiba ada di hadapannya dan menyahuti gumaman Lea.
"Sejak tadi. Siapa yang kamu maksud sedingin es sehangat mentari? Kak Ben?" jawab Ninda serta menanyakan ulang pertanyaan sebelumnya yang belum dijawab oleh Lea.
"Oh, hmmm, Ninda, itu murid baru di kelas kita—"
"Radi? Anak dokter Rahel," sahut Ninda, memotong ucapan Lea.
"Kamu sudah tahu?"
"Kemarin sempat masuk ke kelas untuk perkenalan, kemudian ia dibawa ke UKS karena sedang tidak sehat. Seharusnya kalian sudah bertemu, bukan? Kemarin kamu kan berada di UKS—"
"Iya, aku sempat bicara dengannya. Sepertinya ia baik—"
"Baik apanya?!" gerutu Ninda, lagi-lagi memotong ucapan Lea. "Dia itu dingin, sedingin es. Tidak ada satupun yang bisa mengajaknya untuk bicara seperti layaknya manusia. Kalau bibayangkan dalam film, Radi itu seperti Edward Cullen yang dingin, keren, tampan, tidak memiliki teman selain keluarganya. Sejak kemarin ia masih sendiri dan masih saja diam. Padahal aku sangat ingin berkenalan dengannya …."
Lea terkekeh melihat Ninda yang sangat menggebu ingin berteman dengan Radi. Namun sayang, sikap dingin Radi membuatnya menjadi jengah dan memilih untuk mengurungkan keinginannya tersebut.
***
Ben
[Sore ini ada acara?]
Lea
[Acaraku hanya mengganggu Kakak saja]
[Ada apa, Kak?]
Ben
[Kita makan malam di luar, ya]
[Aku sudah meminta izin pada ibumu]
***
Lea bercermin dan melihat dirinya yang sudah terlihat sempurna untuk bertemu dan makan malam dengan Ben. Padahal tidak perlu berpenampilan sempurna, Ben juga tetap akan menyayanginya layaknya seorang adik. Lea yang sudah sejak kecil bertetangga dan berteman baik dengan Ben, sudah tidak pernah segan lagi untuk memperlihatkan hal terburuk yang ada pada dirinya.
"Lea, Ben sudah menunggu di depan," panggil sang ibu, memberitahu kalau Ben sudah datang menjemputnya.
"Iya, Bu. Tunggu sebentar, ya," balas Lea, mempercepat pergerakkannya untuk segera bersiap-siap.
Lea meraih tasnya dan segera keluar dari kamar. Ternyata ibunya masih berada di depan pintu sembari memperhatikannya dari ujung rambut, hingga ke ujung kaki.
"A—ada apa, Bu?" tanya Lea, merasa risih dengan cara sang ibu menatapnya.
"Untuk apa berdandan seperti itu? Kamu akan pergi makan malam dengan Ben, bukan kencan dengan kekasihmu," tanya ibu Lea dengan gerutuan, kemudian ia berlalu dan tidak lagi memedulikan penampilan Lea.
Lea menaikkan kedua bahunya dan segera keluar dari rumahnya untuk menghampiri Ben yang sejak tadi menunggunya di teras rumah.
"Maaf Kak Ben, membuat Kakak menunggu lama," ujar Lea.
Ben melihat penampilan Lea yang berbeda. Ia menghela napasnya seolah tidak suka dengan penampilan Lea malam ini.
"Ayo pergi," ajak Ben, ia terlihat dingin layaknya es.
Lea menelan salivanya, merasa tidak nyaman dengan sikap Ben. Ia melipat kedua bibirya dan kemudian menyusul Ben yang sudah berjalan lebih dulu menuju ke sepeda motornya yang diparkirkan di tepi jalan, di depan pagar rumah Lea.
Ben memberikan helm kepada Lea untuk dipakai. Ia hanya memberikannya saja, tidak memakaikannya seperti biasa. Lea merengut menerimanya, merasa kalau Ben benar-benar bersikap sedingin es kepadanya.
"Biasanya hangat sehangat mentari," gumam Lea mengeluh.
"Kenapa?" tanya Ben, ia tidak mendengar dengan jelas gerutuan Lea.
"Bukan apa-apa, kok. Ini hanya tali helm yang terlilit," jawab Lea, mencari alasan.
"Oh, naiklah! Kamu bisa memakainya sambil duduk di atas motor," pinta Ben, ia sudah duduk di atas sepeda motornya dan juga sudah menghidupkan mesin motornya.
Lea mendengus, memilih untuk menuruti permintaan Ben. Meski sebenarnya ia merasa sulit melepas tali helm tersebut, Lea sama sekali tidak mengeluh dan meminta bantuan Ben. Mengingat Ben yang bersikap dingin padanya, ia menjadi segan dan enggan untuk banyak bicara dengan Ben.
"Sudah siap?" tanya Ben.
"Ya."