"Biasanya hangat sehangat mentari," gumam Lea mengeluh.
"Kenapa?" tanya Ben, ia tidak mendengar dengan jelas gerutuan Lea.
"Bukan apa-apa, kok. Ini hanya tali helm yang terlilit."
***
Lea duduk berhadapan dengan Ben, namun apa yang diharapkannya sama sekali tidak sesuai dengan ekspetasi. Ben benar-benar tidak seperti biasanya. Ia terkesan lebih cuek dan tidak banyak bicara, itu membuat Lea tidak nyaman dan rasanya ingin pulang saja.
'Padahal sudah berusaha dandan seperti ini, namun Kak Ben sama sekali tidak melihatku,' batinnya menyesal.
Lea memilih untuk lebih banyak memainkan ponselnya, dibandingkan banyak mengajukan pertanyaan kepada Ben namun tidak mendapatkan balasan yang setimpal, ia tidak mau kecewa hanya karena hal tersebut.
"Makan jangan sambil main handphone," ujar Ben, merebut dan kemudian menepikan ponsel Lea. "Akan aku kembalikan jika makananmu sudah habis."
Lea mengerucutkan bibirnya, sebenarnya ia memainkan ponsel hanya karena ingin menghilangkan kejenuhannya bersama Ben yang tak sehangat biasanya.
"Kalau begitu … Kakak jangan diami aku, dong," pinta Lea, bicaranya lesu, ia juga menunduk.
"Diami bagaimana? Bukankah aku tidak mendiamimu? Setiap kali kamu bertanya, aku selalu menjawabnya, bukan?"
Lea mendengus, kesal. Namun ia tak bisa berbuat lebih karena ia juga tidak ingin menimbulkan pertengkaran antara ia dan Ben.
Lea memilih diam dan lanjut makan. Bahkan makannya terkesan buru-buru. Sepertinya Lea sama sekali tidak senang malam ini pergi dengan Ben.
"Hmmm, Lea," panggil Ben, yang baru saja menyudahi makannya meski masih tersisa lauk di atas piringnya.
Lea tidak menjawab, ia hanya menoleh, menatap Ben.
"Lain kali … aku akan mengajakmu makan malam bersama dengan Cheryl," ujar Ben, tiba-tiba.
"Cheryl?" tanya Lea, masih sangat asing mendengar nama tersebut.
Lea menunjukkan gelagat yang sedikit berbeda, seperti ada bom atom yang hendak meledak dari dalam hatinya saat mendengar nama wanita lain yang disebut oleh Ben.
"Iya Cheryl. Kekasihku," jawab Ben, memberitahu siapa Cheryl.
DUAAARRR!!!
Bom itu seolah meledak begitu saja tanpa memberikan aba-aba kepadanya. Namun Lea berusaha menahannya dengan memberi jawaban yang menurutnya terbaik.
"Ouh," balas Lea, meresponnya dengan sangat datar. "Maaf, ya Kak. Bukan aku tidak senang Kakak memiliki kekasih. Tapi … aku hanya khawatir kalau kita tidak akan memiliki banyak waktu seperti biasanya. Sekarang saja buktinya … aku merasa kalau Kakak sedikit dingin kepadaku. Apa itu karena seorang kekasih?"
Ben diam, menarik tipis bibirnya. Ben meraih punggung tangan Lea dan mengusapnya dengan lembut oleh ibu jarinya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku bukan ingin bersikap dingin padamu. Hanya saja ingin belajar membagi waktu dan perasaan untuk kekasih dan juga untukmu, Adikku," balas Ben, ia memberikan penjelasan kepada Lea agar tidak salah paham.
Lea menarik tipis bibirnya, anggap saja ia meresponnya dengan senyuman, meski jelas sangat terpaksa.
"Kalau begitu … aku merasa bahagia jika Kakak bahagia. Aku bukan adik kandung Kak Ben, jadi Kakak tidak perlu mengkhawatirkan apa yang aku khawatirkan. Aku akan mendukung apapun keputusan Kak Ben," ujar Lea dengan ceringainya, meski dusta.
Ben merasa sedikit lega karena setidaknya Lea bisa terima atas keputusannya yang tidak bisa sedekat dulu lagi dengan Lea, dengan alasan karena kekasih yang baru saja ia labuhkan hatinya kepada seorang gadis bernama Cheryl.
***
Motor Ben menepi di depan rumah Lea. Tanpa banyak bicara, Lea segera turun dan melepas helm nya. Ia memberikannya dengan segera kepada Ben untuk dikembalikan.
"Terima kasih, Kak," ucap Lea, kemudian ia segera berlalu masuk ke dalam rumahnya, tanpa basa-basi sekadar menawarkan singgahan. Ben pun tidak menahannya, ia hanya menatap punggung Lea dengan lesu. Seperti ada sesuatu yang ia tahan namun tak mampu untuk mengungkapkannya.
***
Hah
Lea menghela napasnya dengan sejuta rasa yang tidak dapat ia mengerti. Ia juga berusaha untuk tidak mengingat bagaimana sikap Ben menghadapinya. Lea kecewa, bukan karena kekasih baru yang Ben miliki, namun karena dirinya sendiri yang terlalu bergantung pada Ben sejak kecil. Membuatnya tidak mudah melepaskan Ben untuk seseorang bernama Cheryl.
"Aku harus lebih mandiri mulai sekarang," gumamnya menyemangati dirinya sendiri. "Tapi sulit rasanya harus berjaga jarak dengan Kak Ben …," rengeknya tanpa terasa Lea menitikkan air mata.
Sementara itu, Ben yang baru tiba di rumahnya langsung mengambil ponsel, menatap layar dengan raut datar. Melihat beberapa pesan masuk dari seseorang bernama Cheryl.
Cheryl
[Iya]
[Sampai jumpa besok]
[Aku juga tidur duluan, ya]
Ben menutup ponselnya, memilih untuk tidak membalas pesan tersebut. Kemudian ia menyalakan kembali layar ponselnya.
Ben
[Selamat_]
Delete
[Sampai jumpa]
***
Lea ikut berlari bersama teman-teman kelasnya, yang akan menuju ke lapangan untuk mengikuti apel sore penurunan bendera. Tidak terasa hari sudah berada di akhir pekan. Seperti biasa, Lea dan Ninda memiliki rencana untuk saling bertemu dan pergi bersama ke toko buku.
"Tapi kali ini tidak dengan Kak Ben," ujar Lea.
"Kenapa?" tanya Ninda, seolah kecewa karena Ben tidak ikut bersama mereka seperti biasanya.
"Kak Ben sudah punya pacar. Kita tidak mungkin terus mengganggunya," jawab Lea, berusaha untuk tidak terlihat kecewa, namun ia tak mampu menutupinya.
"Lea … jangan sedih gitu, dong," ucap Ninda, kemudian memberi pelukan kepada Lea. "Kak Ben sudah pernah mengatakannya padamu, bukan? Sekalipun ia memiliki pasangan, kau tetap akan menjadi adiknya."
"Aku bukan hanya sedih karena akan kehilangan Kak Ben, tapi …."
"Tapi apa?"
"Aku juga menyesali diriku sendiri yang terlalu bergantung pada Kak Ben selama ini."
Ninda masih mendekap Lea, tidak ingin Lea menyalahkan dirinya sendiri.
"Sepertinya kamu harus mencari pengganti Kak Ben, Lea. Pria yang memiliki sosok seperti Kak Ben. Hangat dan bisa menjadi seorang kakak bagimu," ujar Ninda memberikan saran.
"Aku ingin menikah saja, Ninda."
"Haa? Menikah?!"
Seluruh murid bahkan guru yang sedang bersiap-siap untuk memulai apel sore mereka, menyorotkan mata mereka pada Ninda dan Lea. Seruan Ninda membuat mereka terganggu dan tertarik untuk melihatnya.
"Euu … m—maaf," ucap Ninda yang sudah melepas pelukannya pada Lea, kemudian ia mengatupkan kedua tangannya, memohon maaf kepada orang-orang di sekelilingnya.
Lea yang seharusnya ikut merasa malu, hanya terkekeh karena sikap Ninda yang menjadi lucu karenanya.
"Kau …," gerutu Ninda, ia yang lebih malu karena suaranyalah yang didengar oleh semua orang.
"Mana barisanmu?" tanya Radi yang kini berdiri tegap di hadapan Lea dan Ninda.
"Ini barisanku," jawab Lea, lalu menunjuk Ninda yang tidak memiliki barisan.
"A—aku … baris di belakang Lea," ucapnya.
"Beri aku celah. Biar aku yang baris di depanmu untuk menghalau panas," pinta Radi, kemudian Lea melangkah mundur dan memberikan ruang untuk Radi berdiri di barisan depan, tepat di hadapannya.
Lea tersenyum, Radi secara terang-terangan tidak ingin Lea terpapar matahari langsung. Bak pahlawan yang sedang melindungi Lea, Lea merasa kalau sikap Radi yang seperti ini mirip seperti sikap Ben kepadanya. Hanya karena kekasih baru Ben, Lea tidak akan merasakan kehangatan itu lagi dari Ben. Lalu, apakah Radi yang akan menggantikan sosok Ben bagi Lea?
"Lea? tanganmu, beri hormat," ucap Ninda, berbisik dari belakang.
Lea tersentak dan segera menaikkan tangannya untuk memberi hormat saat bendera diturunkan.