"Aku ingin menikah saja, Ninda."
"Haa? Menikah?!"
Seluruh murid bahkan guru yang sedang bersiap-siap untuk memulai apel sore mereka, menyorotkan mata mereka pada Ninda dan Lea. Seruan Ninda membuat mereka terganggu dan tertarik untuk melihatnya.
Lea yang seharusnya ikut merasa malu, hanya terkekeh karena sikap Ninda yang menjadi lucu karenanya.
"Kau …," gerutu Ninda, ia yang lebih malu karena suaranya lah yang didengar oleh semua orang.
"Mana barisanmu?" tanya Radi yang kini berdiri tegap di hadapan Lea dan Ninda.
"Ini barisanku," jawab Lea, menunjuk Ninda yang tidak memiliki barisan.
"A—aku … baris di belakang Lea," ucapnya.
"Beri aku celah. Biar aku yang baris di depanmu untuk menghalau panas."
***
Ninda mengernyit melihat Lea yang sejak tadi tersenyum sendiri, memandang dinding kelas yang putih. Tidak ada siapapun, tidak ada objek apapun, namun Lea terus tersenyum seperti sedang kasmaran. Ia sengaja diam, tidak menegurnya. Ingin melihat sejauh apa Lea bertingkah aneh seperti orang yang sedang kasmaran itu.
"Jatuh cinta?" tanya Ninda, menempelkan minuman dingin di pipi Lea.
"Ninda … jatuh cinta apanya? Aku sedang melihat dinding, kok," jawab Lea, ia mengelaknya.
"Apa yang membuatmu tersenyum hanya karena melihat dinding?" tanya Ninda lagi, kali ini ia menempelkan minuman dingin itu di kening Lea.
"Tersenyum? Aku tersenyum?"
Ninda memutar bola matanya, seolah jengah.
"Baru juga sehari tanpa Kak Ben, kamu sudah stres saja," gerutu Ninda.
Lea kembali tersenyum, ia tidak memedulikan gerutuan sahabatnya itu. Sebenarnya Lea juga tidak mengerti dengan apa yang ia senyumkan. Ia hanya terngiang oleh ucapan Radi dan sekilas terbayang wajah Radi saat memberinya air minum usai pingsan.
"Ninda," panggil Lea.
"Ada apa?"
"Sepertinya … Radi bisa menjadi sosok pengganti," ujar Lea, berbisik.
"Pengganti siapa?"
"Kak Ben. Sikapnya padaku seolah menganggapku sebagai adiknya," ujar Lea dengan semangat, namun ia masih berbisik.
"Pria es itu mau menjadi sosok pengganti Kak Ben?! Tidak mungkin, Lea. Dia itu dingin, cuek, tidak peduli—"
"Pria es itu, siapa Nin?" tanya Radi yang datang tiba-tiba menghampiri Lea dan Ninda yang sedang membicarakannya.
"Eh, R—radi … i—itu … Lea punya tetangga yang dingin, cuek, tidak peduli. Aku biasa memanggilnya pria es," jawab Ninda, tidak ada pilihan lain selain berbohong.
"Oh, pria yang pernah menjemputmu tempo hari, Lea?" tanya Radi kepada Lea.
"Hm?! Tempo hari? S—siapa pria yang menjemputku, Nin?" tanya Lea, terkesan panik karena pertanyaan Radi.
"Heeeh, Kak Ben, Lea … Kak Ben. Memangnya siapa lagi yang kerap menjemputmu kalau bukan Kak Ben?"
Lea menyeringai. Karena gugup, otaknya bahkan tidak dapat berfungsi dengan baik.
"Kakakmu?" tanya Radi, lagi.
"Hhhng … Kak Ben itu—"
"Tetangga sekaligus teman dekat Lea sejak kecil. Kenapa kamu bertanya? ingin tahu?" jawab Ninda sekaligus bertanya, ia penasaran dengan pertanyaan yang diajukan oleh Radi.
Radi tersenyum kepada Ninda, kemudian ia kembali melihat Lea, masih dengan senyuman yang sama.
"Hari Senin kita ada ulangan harian kimia, bukan? Apa kalian bisa membantuku untuk mengajarkan beberapa materi yang ketinggalan? Sebagai gantinya … aku akan mengajak kalian ke toko buku dan kalian bebas membeli satu buku yang kalian inginkan. Aku traktir," ujar Radi.
"Bersedia," jawab Ninda, ia menatap takjub pada Radi. "Aku dan Lea bisa membantumu. Kirimkan saja alamat rumahmu, kami akan datang."
"Kenapa tidak di rumah Lea saja? Atau di rumahmu?" tanya Radi.
"J—jangan di rumahku. Aku tidak biasa mengajak teman ke rumah, selain Kak Ben," balas Lea, ia menolak untuk belajar kelompok di rumahnya.
"Ibunya galak," bisik Ninda pada Radi.
"Hmmm, kalau begitu … kita belajar di luar saja. Nanti aku akan share location kepada kalian," ujar Radi. "Hmmm, terima kasih sebelumnya."
Radi kemudian berlalu dengan perasaan lega. Ulangan harian kimia di hari Senin nanti tidak akan menjadi mimpi buruk baginya, karena Lea dan Ninda bersedia untuk membantu mengajarkan materi yang belum pernah ia dapatkan di sekolah baru maupun di sekolah lamanya.
***
"Ben? Cari Lea?"
"I—iya, Bu."
"Baru saja pergi bersama Ninda. Mau belajar bareng katanya. Oh iya, pesan ibu tempo hari … apa sudah kamu sampaikan?"
Ben tersenyum menatap mata ibu Lea yang memiliki harapan kepada Ben.
"Bu, Ben punya cara sendiri untuk menyampaikannya. Setelah ini, ibu bisa membicarakannya dengan Lea."
***
Hacyyuuu!
Lea bersin karena merasa gatal pada hidungnya. Ia mengusap hidungnya berulang kali agar gatal itu tidak terasa lagi.
"Ada yang membicarakanmu," ujar Ninda.
"Jangan percaya mitos," sahut Radi yang sedang serius mengerjakan beberapa contoh soal yang diberikan oleh Lea.
"Atau jangan-jangan … ada orang yang datang ke rumah dan melamarmu?!" tanya Ninda, menerka hal yang tidak-tidak.
"Pangeran …," ucap Lea penuh dengan harapan.
"Akhirnya impianmu menikah muda segera terlaksana …," sahut Ninda ikut bahagia.
Sementara Radi yang melihat tingkah aneh kedua temannya itu hanya berdecak dan menggelengkan kepalanya. Ia memilih untuk tidak melihatnya, meski suara cicitan keduanya masih mengganggu ditelinga.
Benar.
Lea memiliki impian untuk menikah muda, dengan seorang pangeran yang begitu ia idamkan. Hingga usianya menginjak 17 tahun, Lea bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta ataupun menyukai lawan jenisnya. Sehingga khayalan akan pangeran yang datang melamarnya masih sangat melekat bagai anak kecil yang menghayal usai dibacakan cerita dari negeri dongeng.
Lea juga dekat dengan pria hanya dengan Ben. Mungkin saja Lea menyukai Ben, namun ia tak mengerti arti dari rasa sukanya itu adalah cinta atau sekadar kagum saja.
"Kau ingin menikah muda?" tanya Radi, sepertinya ia mulai penasaran dengan impian Lea.
"Hm! Iya! Jika aku dilamar saat masih sekolah seperti ini pun, aku sama sekali tidak menolak," jawabnya sangat bersemangat.
"Sekali pun kau tidak menyukainya?"
"Iya!"
"Pernikahan tanpa cinta?"
"I—iya, awalnya. Lama-lama kami akan saling mencintai dan hidup bersama hingga tua dan maut memisahkan," tutur Lea, benar-benar mendeskripsikan apa yang ada dalam dongeng.
Radi mendengus, ia menyesal penasaran. Apa yang diutarakan oleh Lea hanyalah impian seorang anak kecil yang sebenarnya sangat mustahil menjadi kenyataan. Apalagi mereka masih menjadi siswa yang usianya baru saja menginjak 17 tahun. Orang tua mana yang akan rela merelakan anaknya untuk menikah muda saat masih menjadi seorang pelajar.
***
"Maksud ibu?"
"Kamu sudah remaja dan akan menjadi dewasa. Kamu juga tahu kalau utang mendiang ayahmu sangatlah banyak dan ibu sudah tidak tahu harus menjual apalagi untuk melunasi utangnya. Hanya Paman Rudolf yang bersedia membantu kita untuk membeli rumah ini dengan harga yang sangat tinggi, guna melunasi utang ayah. Dan juga … setelah rumah ini dibeli olehnya, ibu masih diperbolehkan tinggal di rumah ini," jelas Lesta –ibu Lea-, memiliki harapan lebih pada anak tunggalnya.
"Apa sebenarnya yang ingin ibu bicarakan? Sepertinya … ada sesuatu yang penting, yang ingin ibu diskusikan denganku, ya?" tanya Lea, ia sudah dapat menerkanya dari gerak-gerik dan cara bicara ibunya yang tidak seperti biasanya. Apalagi ibu Lea biasanya keras dan ketus padanya. Kali ini ibu Lea menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Lea, seolah berharap anaknya akan iba dengannya. "Ada apa, Bu?" tanya Lea lagi.
"Ada syarat dari Paman Rudolf," ucap ibu Lea.
"Syarat? S—syaratnya … apa, Bu?" tanya Lea, ada perasaan tidak mengenakkan.
"Menjadikanmu pengantin muda."