Di siang cerah seperti biasa aku dan sahabatku melakukan rutinitas makan siang yang tempatnya tak jauh dari kantor. Sahabat yang sering aku panggil Dira ini mampu menjaga mood booster ku saat bekerja. Dira ini termasuk tipe wanita humoris dan pekerja keras. Kehidupan Dira tidak seberuntung karyawan yang lain. Perempuan ini sudah kehilangan orang tua nya saat berumur delapan tahun dan sudah bercerai di umurnya yang masih muda.
Bersyukur perempuan itu dulu dalam situasi rumah tangganya yang berantakan tidak sempat memiliki anak dari mantan suaminya. Sungguh kacau jika itu terjadi pada Dira, bagaimana seorang anak bisa tumbuh dengan orang tua yang kejam dan dramatisir?
Kita tahu sebuah rumah tangga tidak bisa berdiri dengan satu tangan wanita atau pria saja melainkan kedua belah pihak. Jadi tanpa kedua saling melengkapi itu bukanlah rumah tangga sesungguhnya.
"Apa kamu jadi dinas keluar kota minggu ini Ta?"
"Iya sekalian belajar memahami banyak orang Dir."
"Aku harap sih kamu harus juga rileks Ta. Nikmati hidup masa mudamu."
"Aku sih selalu menikmati apapun yang ada di bumi ini Dir."
"Oke deh Agatha cantik sekarang mari kita menikmati makan siang." Sambil menunjuk pelayan yang datang dengan nampan penuh makanan.
"Wah kamu pesan spaghetti carbonara Ta, ah kamu enggak biasanya pesan begini. Kan kamu suka salad atau kimbam."
"Hari ini aku pengen masakan Italia Ta, mau coba?
"Ah tidak aku sudah memesan ayam penyet sama nasi bakar. Belum lagi snack nya kentang goreng. Kau pasti ingin meledakan perutku kan hahaha.."
"Terima kasih mas." Ucapku ke pelayan resto.
"Terima kasih mas." Tambah ucapan Dira ikut menyempil.
Kami menikmati hidangan yang tersaji di meja makan. Saat ini pemandangan yang terjadi adalah Dira yang sangat lahap dengan makanannya begitu juga diriku yang ikut menikmati pelan dalam diam pada makanan yang tidak pernah ku sentuh sebelumnya. Sangat jelas perbedaan antara aku dan Dira dalam menentukan dan melakukan sesuatu.
Semua berjalan lancar dan enggak ribet dalam fase mengenyangkan perut. Tindakan Dira menghela nafas dan menjatuhkan punggungnya ke kursi. Sambil mengelus perutnya sebagai tanda bahwa dirinya sudah sangat kenyang. Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku itu.
"Aku sudah sangat kenyang Ta, bahkan sekarang tubuhku sangat berat sekali huh." Ocehnya sembari membetulkan poninya.
"Rasanya malas banget buat make up lagi, kenapa sih peraturan kantor mengharuskan karyawannya on make up terus. Seperti mau melacurkan diri saja." Gerutu Dira sebal tiap rutinitasnya harus menampilkan keanggunan.
"Sudah lah Dir. Ya harus bagaimana lagi semua jadi konsekuensi sebagai karyawan di perusahaan besar. The best dari aku sih ya itu bagian dari profesional kerja."
"Ah kamu benar sih enggak ada yang salah sama itu tapi aku suka mageran kalo tiap makan siang harus check make up sama penampilan diri. Kan enggak semua dari pekerjaan di nilai dari make up sebagai nilai etos kerja."
"Ya harus banyak bersabar. Aku inginnya sih setiap dari kita memiliki hak dalam memilih untuk kenyamanan diri dalam bekerja. Tapi untuk sekarang kita harus segera balik ke kantor lagi." Kataku sambil menunjuk jam tangan Rolex warna Gold ke wajahnya.
"Oh my God."
Kita berdua membayar bill masing-masing. Kita memang bersahabat tapi tidak saling memanfaatkan satu sama lain. Jika di antara kami ingin mentraktir tentu saja pada momen tertentu.
Kita berdua saling tertawa menuju pintu keluar. Dira melakukan lagi leluconnya. Tentu Dira punya segudang upaya untuk menyenangkan hati temannya. Ya begitulah Dira dengan tulus menjadi sahabat sejati. Kalian pasti bertanya dan penasaran sejauh mana aku jujur kepadanya?
Aku tidak pernah sejujur dirinya padaku. Tapi bukan berarti aku tidak sayang padanya hanya saja aku bukan tipe yang suka membeberkan segala hal privasiku. Aku tidak pernah memaksa siapapun termasuk Dira untuk memberitahukan semua hal ranah pribadinya padaku. Jadilah manusia yang bisa menjaga hak dan privasi orang lain.
"Tunggu Ta sepertinya aku mengingat sesuatu. Ah dompetku tertinggal di meja kasir. Kamu tunggu disini! Dira menepuk dahinya dan segera melengos ke belakang. Dira berlari kecil menuju ke dalam resto.
Aku berdiri di dekat pintu masuk-keluar, sambil memandang bangunan-bangunan tinggi pencakar langit. Semua orang yang berlalu lalang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Kita tahu hidup di perkotaan harus sangat bekerja keras makanya kota adalah tempat yang sangat bising dari mulai subuh sampai tengah dini hari.
Menikmati kota modern adalah bangunan yang artistik dan lampu-lampu kota. Sudah sangat bersyukur sekali bisa menikmati waktu untuk berpikir jernih dalam situasi kerja yang padat. Ponsel berdering di saku celana dan ku rogoh segera. Terpampang nama yang muncul yang seperti tak kuharapkan. Aku hanya melihat ponsel itu berdering, tiada niat berbicara dengan pria tua itu. Aku membisukan dering ponsel yang cukup menggangguku secara terus menerus. Bagaimana bisa paman ini sangat tak tahu malu?
Brakk!!!
Aku terjatuh beralas keramik, aku melihat sepatu berwarna putih polos. Sepatu itu memiliki tali yang berbentuk tali akar, sungguh cocok di pakai pada gadis muda belia.
"Maaf kak , sini aku bantu kakak berdiri." Menjulurkan tangannya.
Aku melihat ke arah wajah gadis polos itu, wajahnya sedikit bulat, pipinya terlihat chubby, rambutnya panjang sebahu dan tinggi badanya sekitar 165 cm. Aku tersenyum dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak perlu di khawatirkan. Sebuah suara memecahkan konsentrasiku dan gadis polos itu.
"Loh kenapa kamu tidak masuk?", Ibu akan segera tiba."
"Ayah... Ah aku akan segera mempersiapkan kejutan buat ibu. Sekali lagi aku minta maaf ya kak."
"Ada apa?"
"ayah aku tidak sengaja tadi menabrak kakak ini."
"Ahhh begitu."
"Maafkan anak saya." Pria tua itu tersenyum simpul menunjukan pesonanya padaku.
"Ah tidak apa-apa pak."
"kalau begitu kami permisi."
Aku hanya menundukkan kepalaku tanpa berkata apa-apa. Dalam batin berdesir ada rasa yang tidak biasa. Aku tersenyum melihat punggungnya dari belakang.
"Hei kamu kenapa Ta?"
"Ah kamu mengejutkan aku saja, kamu seperti hantu."
"Wah kamu saja kelihatan bengong sampai tidak bisa melihatku yang segede gajah ini. Kenapa?"
"Gimana dompet kamu?" aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Aku hanya tidak ingin Dira mengetahui lebih dalam.
"Oke kalo kamu tidak ingin membicarakan ini sekarang ya minimal kita harus sampai kantor secepat jet."
Sungguh aku beruntung menemukan sosok Dira sebagai sahabatku yang paling bisa membuatku nyaman dalam bersosialisasi dan bekerja. Kami berdua berjalan santai menuju kantor.