Kehidupan seperti apa yang bermoral dan normal?
Aku tidak tahu seperti apa kehidupan yang normal, apakah hanya sebuah pengakuan yang harus di terima sesuai norma yang berlaku?
Disisi lain pengakuan normalisasi sesama untuk saling mencemooh satu sama lain, menggurui hingga bentuk pelecehan sebagai cara saling mengingatkan. Benarkah demikian?
Masyarakat ini masih terlalu lugu pada apa itu sebuah bentuk pelecehan. Banyak sekali doktrin yang memperlakukan wanita dengan rendah. Nyatanya banyak sekali perlakuan tak lazim juga di galangkan dari kaum wanita juga.
Pantas saja orang itu di perkosa karena pakaiannya terbuka!
Kamu sebagai wanita itu harus bisa berdandan kalo mau laku sama pria!
Kamu itu jangan menjadi wanita pemalas pantas jodohnya jauh!
Kok baju kamu kekurangan bahan sekali sih!
Wanita itu sewajarnya mengurus suami bukan jadi wanita pekerja keras!
Wanita apaan sih yang kerjanya pulang larut malam!
Wajib bagi perempuan untuk menikah!
Jadi perempuan jangan pemilih kalo tidak mau menjadi perawan tua!
Baiknya itu melahirkan normal kok malahan mau sih di operasi!
Wanita itu patutnya di dua tempat ranjang dan dapur!
Kamu pakaian seperti ini mau jadi lonte ya?
Pantas suaminya selingkuh, istrinya saja enggak bisa mengurus suami nya di ranjang dan enggak bisa berdandan!
Sungguh menggelitik sekali jika wanita ingin di samaratakan posisinya dengan pria tapi sesamanya saja saling tidak toleransi dan menghargai.
Banyak sekali pelecehan secara verbal yang tidak di mengerti sama kaum wanita. Masyarakat hanya mengerti bahwa pelecehan hanya dari segi fisik saja.
Tidak bagiku, pelecehan bisa di lakukan secara verbal atau perkataan yang bersifat penghinaan. Hal-hal yang di pikir di nilai kecil seperti 'catcalling' saja sudah masuk dalam tahap pelecehan secara verbal atau psikis.
Bentuk apapun itu jika sudah termasuk merusak mental, tak nyaman dan terganggu sudah di pastikan termasuk dalam ranah pelecehan secara verbal.
Aku dan bocah itu saling berdiam diri selama perjalanan menuju resort. Bocah tengik ini hanya berpusat pada dua buku yang ia pegang. Aku cukup terkesima dengan apa yang ia baca.
Ya dua buku itu berjudul Billy karya Daniel Keyes dan The Gas Room karya Stephen Spignesi.
Ternyata anak muda ini gemar membaca dengan genre yang cukup berat. Harus ku akui pemuda itu cukup intelektual dalam memilih buku.
"Nona Agatha apa tidak apa-apa?", suara pak Bambang memecahkan keheningan di antara kami semua.
"Tidak apa-apa pak. Pak Bambang jangan sungkan panggil saya dengan Agatha saja."
"Baik nona Agatha. Eh iya Agatha."
"Tuan Satria sebaiknya segera mengabari Nyonya Ndoro."
"Sudah paman."
"Bibi tadi sudah menyiapkan makanan untuk kalian berdua.", timpal bibi Ida.
"Makasih bi.", ucapku penuh kelembutan dan sopan santun. Aku melirik si pemuda yang hanya diam menatap lurus.
Setelah percakapan dengan bibi Ida perjalanan yang setengah jam lagi agak terhambat. Mobil yang di kendarai mengalami bocor ban dan kerusakan pada mesin. Sedangkan hujan semakin deras dan angin kencang.
"Bagaimana pak?" tanya Satria pada pak Bambang yang sudah berada di luar. Hujan membasahi seluruh tubuh pak Bambang dan Satria.
"Ban bocor dan mesin juga panas. Sepertinya mobil harus segera di perbaiki. Tapi karena ini sudah terlalu malam tentu saja bengkel sudah tutup."
"Lalu kita bagaimana pak?", tanyaku yang masih di posisi di dalam mobil.
"Sebaiknya kita mengabari Nyai Ndoro dan cari penginapan. Ini sudah tengah dini hari di pastikan kendaraan umum tidak akan lewat."
"Baiklah pak. Sebaiknya kita mencari penginapan yang terdekat. Kita berdua akan mendorong mobil ini."
"Tuan Satria berada di dalam mobil saja."
"Sudah basah seperti ini ya sekalian."
"Makasih tuan Satria."
Kami berempat sudah tiba di penginapan yang di kategorikan jauh dari harapanku. Lebih tepatnya sih ini motel jauh dari standar. Pekarangan saja seperti sudah tua dan kurang terawat. Tapi apalah daya ini motel satu-satunya di daerah ini.
Kita memesan dua ruang kamar dan berada di belakang dekat taman. Bangunan ini sebenarnya cukup unik tapi sayangnya tidak terawat dengan baik. Lorong-lorong juga terlihat sepi pengunjung sehingga membuat suasana bergidik.
Pak bambang dan Satria yang basah kuyup tampak berjalan cepat menuju ruang kamar. Baru ku sadari pemuda ini memiliki tubuh yang tinggi dan atletis. Aku melihat punggungnya yang cukup kokoh.
Aku memanggil keduanya bersamaan, mereka menoleh ke belakang. Wajah Satria yang tanpa ekspresi dan pak Bambang yang sumringah. Mereka berdua memiliki karakter yang berbeda.
"Kalian kedinginan sebaiknya kalian bisa mengganti pakaian."
"Saya tidak membawa cadangan baju Agatha." terang pak Bambang.
"Bukan urusanmu." Jawab ketus sang bocah tengil.
"Bapak bisa memakai baju saya, tidak apa-apa buat malam ini saja."
"Tapi Agatha..... "
"Enggak ada tapi-tapi pak dan kamu bocah harus menurut atau saya menghubungi ibumu."
"Cih, kamu pikir saya takut."
"Baiklah saya hanya tinggal menghubungi ibumu dan menceritakan soal ketidaksopananmu?"
"Tetap tidak."
"Baiklah aku bisa bilang aku tidak ingin tinggal di resort ibumu. Asal kamu tahu ayah ibu kita adalah partner bisnis."
"Kan kamu juga hanya membawa tas tanpa isi."
Melihat wajah yang tanpa ekspresi berubah pelan-pelan memperlihatkan setengah senyum. Galak dan misterius mendominasi wajahnya yang cukup terbilang tampan.
Aku menyerahkan dua set pakaian tidur berwarna biru dan pink. Dengan sadisnya baju tidur pink bermotif Hello Kitty ku serahkan kepada Satria.
Aku melihat Satria berjalan lunglai dan tidak percaya diri. Aku tersenyum tipis dan menahan geli di sekujur tubuhku. Dia berdiri dengan cemberut ala anak-anak umur tujuh tahun.
Baju tidurku ketat di tubuhnya dan menggantung sehingga terlihat pusar di perutnya. Pak Bambang justru memakai baju tidur berwarna biru langit bermotif polos.
Plak!
Belum puas memandang Satria, suara di ujung seberang mengalihkan pusat perhatian kita. Pertengkaran dan adu mulut terjadi. Bibi Ida yang penasaran ingin mengintip apa yang sedang terjadi. Belum genap lima langkah tangan pak Bambang menarik tangan bibi.
"Kita enggak perlu urus orang lain Ida."
"Tapi kalo terjadi sesuatu kita mah ikut berdosa."
"Aduh Ida kita cari aman saja, enggak perlu terlibat sesuatu hal yang bukan urusan kita."
"Eh bagaimana sih kalo orang itu butuh bantuan mas."
"Ya sudahlah biarkan saja, kalo salah kita juga yang ribet Ida."
Suara-suara gaduh itu semakin menjadi-jadi dan sangat mengerikan. Dari keduanya tempo intonasi semakin meninggi dan terus meninggi di malam yang semakin dingin.