Chereads / Pelacur Millenial / Chapter 3 - Jangan sebut aku pelacur

Chapter 3 - Jangan sebut aku pelacur

Tepat hari ini insiden itu terjadi.

Sebuah perjalanan baru itu sangat menyenangkan bagiku, meneliti tempat yang belum pernah ku jamah sebelumnya. Menikmati bagaimana cara hidup membaur dengan orang-orang asing.

Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengevaluasi diri sendiri atau sekedar melihat keberagamaan sosial dan ras. Siapakah kita sebenarnya?

Aku tidak memilih kereta api khusus dengan akomodasi mewah. Disini letaknya perbedaan diriku yang lebih memilih akomodasi umum dan nyaman. Setiap orang pasti memilih sesuatu yang nyaman dengan harga.Tapi aku tidak!

Aku menikmati beberapa hal yang terjadi di fasilitas umum. Kecenderunganku ingin mengenal dan mengamati berbagai cerita menarik dari para penumpang lainnya. Tanpa mereka sadari 'mereka' sendiri adalah peran utama dari setiap kehidupan masing-masing.

Aku menulis catatan pada kertas dan kuselipkan di antara sekatan kaca. Aku memandang panorama alam yang membentang luas. Langit yang mulai senja pun ingin menunjukan pesonanya.

Sebuah perjalanan tak lantas membuatmu pergi dari asal usulmu berasal. Kau hanya saja bisa menikmati dalam mengukur tingkat kesenanganmu. Kemana dan sejauh apapun kau berlari akan ada rumah yang selalu menantimu.

Saatnya diriku menikmati dunia yang baru, setengah perjalanan masih sangat terbentang jauh untuk di kejar sekarang.

"Baiklah daddy, Agatha sudah turun dari kereta api dan lanjut menunggu jemputan. Miss you daddy."

Di keadaan waktu yang sama seseorang tengah berdiri sambil membaca secarik kertas dan membacanya dengan tersenyum. Kertas tulisan Agatha itu tidak di buang oleh sang pembaca di tong sampah melainkan tersimpan di saku celana pria tersebut.

Aku melihat jemputanku sudah datang. Mereka menyambutku dengan spanduk dan tangan terbuka. Senyuman mereka manis.

"Maaf bu kita jemputnya sedikit telat soalnya di perampatan jalan tadi agak lumayan macet."

"Tidak apa-apa dan jangan terlalu resmi memanggil saya ibu tapi panggil Agatha saja pak."

"Baiklah bu eh nona Agatha. Mohon maaf nona Agatha begini anu." Suara pak Bambang terputus-putus.

"Jangan sungkan sama saya, ada apa toh pak?"

"Begini nona Agatha sebelumnya kita tidak ada pemberitahuan sebelumnya ke nona bahwa pada malam ini kita juga harus menjemput anak Nyai Ndoro Putri. Tiba-tiba mas satria memberi kabar akan pulang dan bertepatan waktu yang sama dengan nona Agatha. Mohon maaf sekali lagi."

"Tidak apa-apa kok, bagaimanapun itu anak dari yang punya resort."

"Eh terima kasih sebelumnya Nona Agatha."

Setelah sekian menunggu lima menit dalam keadaan yang lelah dan haus. Aku memberanikan diri meminta izin kepada mereka untuk membeli makanan kecil dan minuman yang letaknya depan dari stasiun kereta api.

Aku melihat tempat ini cukup ramai dari para pengunjung kereta api. Mereka dari beragam jenis ada yang berpasangan dan berkeluarga. Melihat anak kecil membujuk ibunya membeli coklat di depan rak kasir. Aku membayangkan jika kelak aku menjadi seorang ibu. Sudah siapkan diriku berumah tangga?

Di tempat yang begitu sangat ramai tapi tetap begitu sepi, tidak ada satupun seorang yang melihat kehadiranku. Sebenarnya dunia terlalu kejam pada realita kehidupan manusia. Seperti sekarang tempat yang ramai tapi jiwa terlalu sepi tak berujung.

Ponsel berdering beberapa kali dari saku jaket. Aku sudah jenuh dengan jenis dering khusus tersebut. Semua itu membuat jengkel dan tidak terkendali. Setelah ponsel terus berdering tanpa jeda segera diriku menepi pada sudut ruangan kaca dekat tempat buah-buah segar.

"Kenapa harus terus menggangguku paman?"

"Kita sudah memilih jalan masing-masing dan paman harus mundur dan kembali ke istri anda."

"Bukannya paman yang ingin bermain dan bosen dengan barang lama?"

"Percuma anda mengancam saya. Jika kalau saya pelacur gila maka anda adalah sampah busuk."

"Jika anda tetap mengancam untuk kehancuran saya maka tangan anda akan kotor juga ah lebih tepatnya kehancuran seluruh anak-anak anda."

"Maka tutup mulut anda. Apa yang anda berikan sudah menjadi milik saya. Harus di ingat anda memiliki seorang istri yang kaya dan hal sekecil tidak sebanding dengan sebuah nama baik bukan?"

"Jika anda tidak sanggup bermain alangkah baiknya jangan jadi anak yang nakal."

Aku menghela nafas cukup panjang. Kali ini paman tua itu cukup ribet. Aku mengambil handset dari tas selempang. Aku pandang kaca luar yang sudah berembun karena langit sudah menurunkan hujan.

Suasana semakin dingin dan gelap sekiranya dengan mendengarkan musik suasana hati jauh lebih hangat.

Sebelum bergegas menuju antrian kembali aku di kejutkan sesosok pria muda yang sudah siap siaga dengan wajahnya yang dingin. Mataku setajam burung elang yang siap hendak memangsa yang mendekatiku.

"Anda pikir saya akan menculik?" mulutnya bersuara tanpa ekspresi.

"Kau berbicara padaku?"

"Tentu saja, anda sudah di tunggu pak Bambang. Jadi cepatlah lakukan urusanmu dengannya."

"Apa katamu?"

"Perkataanku sudah jelas hanya anda saja masih termenung."

"Jadi anak kecil sepertimu mempunyai hobi mendengar percakapan privasi orang lain."

"Anda terlalu percaya diri dan harus di ingat ini adalah tempat umum. Pak Bambang sudah melambaikan tangan hanya anda saja sibuk dengan pria sampah itu."

"Anak kecil sepertimu seharusnya mengenal etika kesopanan. Kali ini aku memaafkanmu dan lupakan apa yang terjadi sekarang."

Ya dia itu menyebalkan!

Bagaimana seorang anak muda dengan tengilnya dan tanpa rasa bersalah kepadaku?

Sepertinya aku mempunyai tebakan bahwa perjalanan dinasku tidak akan berjalan tenang seperti biasanya.