"Ada apa? Merindukanku?" tanya Jifan melihat kakaknya berdiri di depannya. Senyum culas terbit pada wajah pemuda berusia 26 tahun itu. Tidak sudi disebut rindu hanya karena pergi bertamu ke kamar si hitam. Dia beranjak duduk tanpa mengucapkan apapun membuat Jifan memutar bola matanya kesal.
"Kudengar besok kamu latihan bersama Filo, apa benar?" tanyanya dengan wajah penasaran yang tidak kentara. Rupanya ada gengsi yang harus ia jaga agar tidak tampak seperti seorang penguntit. Lagipula memang bukan dia yang menguntit melainkan sang pengawal setianya.
"Siapa yang bilang?" tanya Jifan dan menuntup pintu ruang pribadinya. Dia tidak akan mengizinkan siapapun melihat isi dalam ruangan tersebut lebih detail lagi. Katakanlah dia terlalu posesif dengan apa yang ia miliki, sampai tidak mengizinkan orang lain melihat lebih jelas yang ia miliki. Termasuk oleh saudaranya sendiri.
"Jadi benar?" tanya Yuan tidak akan menjawab pertanyaan dari Jifan. Jifan hanya diam saja saat pandangan keduanya bertemu. Yuan mengulas senyum culasnya melihat adiknya sudah tidak bisa berkilah lagi. Dia lantas berdiri dan menepuk-tepuk hanfunya, "nyalimu cukup besar untuk mau menjadi partner Filo," bisik Yuan membuat Jifan tahu maknanya. Kakak perempuannya itu akan mengajaknya berlatih habis-habisan sampai terasa akan mati. Dia pernah sekali berlatih berkuda degan Filo dan rasanya tulang selangkangannya akan rontok terlalu lama menunggang kuda.
Yuan tersenyum melihat wajah horor Jifan kala mendengar bisikannya. Bukan maksudnya menakut-nakuti, dia hanya tidak punya ide untuk mengungkapkan betapa Jifan tidak memiliki rasa kapok sedikitpun dengan wanita ular itu. Bahkan dia selalu menolak berlatih bersama dan sampai melarang Anna untuk menerima ajakan apapun dari Filo.
Dia hanya tidak mau adik-adiknya menjadi sasaran keganasan seorang Filo. Ah, siapapun pasti tahu betapa berambisinya sosok gadis berwajah tegas itu untuk menguasai klan Dabarath. Hanya saja semua itu tertutup oleh rumor tentangnya yang begitu mengejar ketamakan duniawi. Tidak masalah, Filo juga adiknya. Dia tidak bisa membuat adiknya menderita karena dicap haus kekuasaan.
Dia melangkahkan kaki lantas mencondongkan tubuhnya pada adik bungsunya, "mundurlah sebelum kamu berhambur menangis dipunggung ayahmu," bisiknya dengan nada mengejek. Jifan kali ini benar-benar memutar bola matanya di depan sang kakak. Yuan tidak mempermasalahkan sikap tidak sopan adiknya, membiarkannya sesuka hati karena besok dia tidak akan bisa berkutik di depan Filo.
"Sudah? Ah, aku tahu lelaki tua sepertimu pasti membutuhkan hiburan saat sakit kepala. Tetapi, sayangnya aku bukan orang yang cocok untuk menghibur hatimu itu, tua bangka," ujar Jifan melangkah mundur membuat jarak dengan kakaknya. Yuan tersenyum culas dan membuang wajahnya mendengar adiknya tanpa takut mengatainya dengan sebutan tua bangka. Bukankah itu sudah keterlaluan? Tapi, Yuan tidak ambil pusing.
Dia menegakkan tubuhnya dan membiarkan jaraknya dengan sang adik tetap ada. Waktu bermain-mainnya sudah habis, dia harus segera ke tempat kerjanya mengecek setumpuk gulungan kertas yang begitu memenuhi ruangannya. Dia menautkan kedua tangannya di belakang tubuhnya.
"Terserah apa katamu, Bocah. Tapi, pastikan tidak berlari menangis dan memeluk ayahmu besok," ujarnya masih saja mencemooh Jifan. Dia melangkah keluar meninggalkan adiknya yang berbalik menatapnya kesal.
Dengan wajah tertekuk makin lesu dia membaringkan tubuhnya. Perasaannya makin kacau setelah kedatangan kakak sulungnya. Yuan benar-benar membuatnya makin kesal. Ingin sekali memaki dunia tetapi, dia sadar tidak akan ada yang berubah setelah dia memaki. Dia juga tidak pandai memaki.
*
Pagi ini Filo sudah datang mengacak-acak kamar Jifan karena remaja itu tak kunjung bangun. Futon yang seharusnya menjadi alas tidur sekarang beralih fungsi menjadi selimut. Pintu ruangan Jifan juga terbuka lebar. Buku-buku bertebaran di lantai. Semua itu ulah Filo.
Dia sengaja tidak membangunkan remaja itu, hanya ingin membuatnya marah dan bisa ia jadikan samsak berlatih. Bahkan tanpa aba-aba, Filo menuang air minum di meja kecil dengan dipan sang adik. Mengguyurnya pada wajah Jifan membuat remaja tersebut bangun karena kaget.
Dia mengusap wajahnya masih terkejut karena mendadak kepalanya basah dan dingin terkena air. Begitu melihat siapa yang melakukannya dia beringsut mundur. Baru sadar dia tidur tanpa alas dan kamarnya sudah berubah menjadi berantakan. Seperti kandang kuda. Melihat pintu ruang bacanya terbuka lebar, dia mendelik.
"Kak Filo yang membukanya?" tanyanya dengan wajah merah padam. Dia merapikan hanfunya dan berjalan melihat betapa kacau ruangan baca miliknya. Tanpa bisa mengeluh dia menutup ruangan tersebut seperti semestinya. Berbalik menatap kakknya yang duduk menatapnya dengan senyuman mengejek.
"Aku akan bersiap dan segera keluar," ujar Jifan.
"Ya sebaiknya segera atau aku rubuhkan kediamanmu," gumam Filo dan melangkah keluar dengan perasaan senang karena berhasil membuat pagi seorang Jifan begitu berantakan. Dia melangkah keluar dengan seragam latihannya pergi ke lapangan gulat. Hari ini dia sangat ingin menjadikan Jifan sebagai samsak.
Melihat adiknya datang dengan wajah lebih segar, berhasil mengobarkan semangat. Dia akan membuat adiknya tidak bisa keluar kamar karena pegal-pegal atau kalau bisa membuat satu tulangnya patah. Ah, memikirkan itu membuatnya tanpa sadar mengulas senyum.
Mereka meregangkan tubuh sebelum mulai berlatih. Tentu mereka tak hanya berdua berlatih, ada banyak prajurit yang selalu berlatih tiap pagi. Mereka memberi jarak untuk kedua anak pemimpin. Tidak mungkin membiarkan mereka berbaur dengan prajurit rendahan. Apalagi salah satunya adalah perempuan, tidak ada yang berani mendekat. Mereka memiliki aroma tajam khas laki-laki, mendekat artinya bunuh diri untuk dihukum.
Seusai meregangkan tubuh mereka mulai berpasangan untuk melatih sebentar pukulan, tendangan, elakkan, bahkan hindaran. Hampir tiga jam mereka berlatih lantas istirahat dimulai. Mereka bisa kembali ke kediaman atau sekedar duduk di pinggiran lapangan. Tentu Jifan dan Filo tidak duduk sembarangan di pinggir lapangan beralaskan tanah. Mereka secara istimewa diberikan kursi untuk menitipkan pantat dan segera melepas penat.
Yuan dan Anna datang saat istirahat hampir selesai. Jifan melihatnya, tapi enggan mendekat. Dia sibuk mengkhawatirkan nasibnya seusai istirahat. Seusai istirahat selalu dilaksanakan uji pembelajaran. Tentu saja Filo akan menjadikannya lawan tanding.
"Kalian akan akan bertanding?" tanya Yuan yang sudah berdiri di dekat Filo. Filo menenggak air minumnya, wajahnya tampak sedikit terganggu akan kehadiran dua saudaranya yang lain. Wajah datar Jifan bahkan sudah tampak tegang sejak awal berlatih. Membuktikan seberapa menakutkannya seorang Filo saat sudah menggunakan baju latihannya.
"Tentu saja, kita sudah latihan berdua. Percuma kalau tidak bertanding," jawabnya santai tidak peduli wajah tegang adik bungsunya. Bahkan untuk sekedar melihatnya Jifan enggan melakukannya dan lebih memilih menatap prajuritnya yang lain. Mereka sudah bersiap bertanding.
"Istirahat sudah selesai!"
Kibaran bendera itu menandakan waktu istirahat selesai. Lantas Filo berdiri meregangkan tubuhnya terlebih dulu lantas menatap Jifan yang juga beranjak berdiri. Dia sungguh akan menghabisi anak itu sekarang juga. Aturan pertandingan tidak akan berhenti sebelum waktu habis. Artinya, bahkan setelah Jifan kati sekalipun dia masih memiliki izin untuk menyomot jantungnya.