Pagi ini Lou Och sudah siap dengan menggunakan pakaian yang nyaman. Dia hanya membawa pakaian sedikit yang telah dikemas oleh para pelayannya. Perjalanan ini akan menjadi perjalanan pertamanya pergi ke negeri lain dan ikut serta dalam rapat pembuatan bendungan di Anshasi. Dia berdiri tak jauh dari kereta kudanya dan menunggu papanya siap.
Tidak lama papanya datang dikawal dua orang jendral. Sedetik kemudian Lou Och baru menyadari kalau keberangkatan ini begitu serius sampai membawa banyak sekali pengawal berkuda. Dia digiring masuk ke kereta bersama papanya. Duduk berhadapan dengan canggung dan meneguk ludah berkali-kali sampai ludahnya terasa habis dan mulutnya menjadi kering.
Lou Och penasaran dengan pemandangan di luar, jadi dia membuka jendela kecil dan melihat keramaian di pasar yang lenyap tergantikan tundukan takzim sebagai ucapan selamat jalan. Lou mengulas senyum tipis saat melihat seorang bocah perempuan tampak dengan berani menatapnya. Yang ditatap ikut tersenyum membuat Lou Och kian melebarkan senyumannya.
"Kamu tahu sikap seorang pangeran? Bersikaplah seperti pangeran setiba di Dabarath," ujar Austin dengan suara dinginnya. Lou Och menutup jendela dan menghapus senyumnya. Menatap takut-takut pada sosok raja di depannya.
"Baik papa," jawabnya dengan suara mencicit.
"Panggil dengan sebutan yang baik!" tegasnya tanpa mengalihkan fokus pada remaja kecil di hadapannya yang menciut.
"Baik Yang Mulia," ralat Lou Och menunduk. Dia sungguh berpikir papanya akan bersikap baik seperti yang dibicarakan mamanya. Nyatanya tetap saja papanya bersikap keras dan menakutkan untuknya. Rasa-rasanya ingin membatalkan keberangkatannya saja sekarang sebelum dia keluar dari area kerajaan.
Perjalanan Lou Och dimulai saat mereka telah keluar area kerajaan dan mulai memasuki hutan negeri mereka. Hutan yang Lou Och lalui satu kali saat perjalanan menuju daerah pantai bagain selatan negerinya. Saat itu Lou Och masih kecil dan hanya tidur selama perjalanan di paangkuan papanya. Tapi, sekarang dia sudah tumbuh dewasa dan bisa mendapatkan perasaan mencekam saat lebatnya pepohonan menutup sinar matahari.
Siang yang harusnya terang menjadi tampak begitu gelap gulita. Belum lagi udara yang begitu lembab membuat aroma alam menusuk paru-paru. Suasana hening membuat suara dedaunan terdengar begitu riuh rendah. Bahkan suara langkah kuda terdengar memenuhi indera pendengaran.
"Kamu mengantuk?" tanya Austin pada Lou Och yang duduk diam menatap luar kereta. Lou Och segera tersadar dari lamunannya dan menggeleng menanggapi pertanyaan papanya. Rasanya begitu takut hanya untuk mengangguk. Tentu saja Lou Och mengantuk. Perjalanan membosankan dimulai dari sekarang. Dan selama itu dia hanya bisa duduk diam di dalam kereta.
"Bagaimana dengan belajarmu?" tanya Austin mencari topik lainnya. Sejak hari itu, dia menyesali banyak hal. Tujuannya memang agar putranya mau belajar dan melepas sifat kekanakan. Tapi, dia kemudian merasa kehilangan sendiri. Melihat bagaimana Lou Och berubah sikap dan tampak tidak sesuai ekspetasinya membuatnya belingsatan.
"Semua baik," jawab Lou Och berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia terlalu takut mengatakan apa yang ia rasakan setiap kali mendapat cercaan dari teman belajarnya atau bahkan dari sang guru langsung. Takut kalau ternyata papanya tetap jahat kepadanya dan membunuhnya secara langsung. Tidak ada mama yang akan membelanya, dia harus sebaik mungkin bersikap di hadapan papanya.
"Kamu anak baik, pasti mendapat semua kebaikan juga."
Dan Lou Och hanya bisa diam mendengar itu. Tidak dipungkiri bahwa dadanya merasa sesak dengan mata yang mulai memanas. Papanya mengatakan hal itu seolah memperlakukannya dengan baik. Itu sungguh menyakitinya. Sekali lagi dia harus menangis karena papanya.
Austin menatap putranya yang tertunduk. Sepertinya menangis. Tapi, untuk alasan apa, Austin tidak mengerti. Jiwa seorang ayah pada dirinya tidak bisa ia tutupi kali ini. Maka, dengan kelembutan dia mengulurkan tangannya, membelai rambut kecokelatan putranya.
"Apa belajar terlalu berat untukmu?" tanya Austin memastikan. Dia tidak sanggup melihat kemurungan putranya atau bahkan diamnya istirnya selama beberapa hari belakangan. Dia ingin seperti dulu, tapi situasinya tidak memungkinkan.
Pertemuan hari ini, pasti ada banyak orang yang ingin menghancurkan keluarganya. Negeri indah yang dibangun leluhurnya bisa saja dihancurkan saat tahu pewaris berikutnya selemah ini. Austin tidak haus kekuasaan, tapi putranya butuh itu. Dia tidak rela kalau sampai putra kesayangannya di masa depan nanti dijadikan sebagai budak orang lain.
Lou Och menggelengkan kepalanya. Baginya belajar memang sulit dan membosankan, tapi rasa sakit dipukul papanya jauh lebih memyakitinya. Itu pukulan pertama dan paling menyakitkan dari semua luka yang pernah ia dapatkan. Wajar jika dia merasakn efek traumatis akibat itu.
"Kemari, Sayang," panggilnya menepuk pahanya. Membiarkan putra kesayangannya duduk di pangkuannya seperti dulu. Ini bahkan belum satu tahun berjalan, namun rasanya sungguh mengharukan. Aroma manis dari putranya selalu membuat dia bersemangat mengukir masa depan untuk seorang Lou Och.
Tekanan dari para menteri tidak pernah ia pikirkan asal Lou Och tumbuh menjadi pemuda yang baik dan begitu bertanggung jawab. Menyiapkan para abdi setia untuk mendampingi putranya. Bahkan menjalin kerja sama yang baik kepada negeri lainnya agar tidak ada yang berpikir melukai putra kesayangannya ini.
"Hiks ..."
Lou Och menangis di pangkuan papanya. Menyalurkan kesedihan yang belakangan ini ia rasakan. Menyembunyikan wajah sembabnya di dada bidang papanya. Membiarkan baju kebangsaan papanya basah oleh air matanya. Dia merindukan papanya sampai rasanya ingin pergi dari dunia.
"Papa hanya mau Lou Och tumbuh dengan baik. Menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan kuat. Lou Och harus bisa melindungi semua orang untuk menjadi pemimpin yang sebenarnya."
Lou Och tidak peduli pada nasehat papanya. Dia sibuk membenamkan wajahnya di tubuh tegap papanya sampai isakannya teredam. Menghirup aroma menenangkan papanya yang tak pernah berubah sedikitpun sejak ia masih kecil.
Sementara itu perjalanan terus mereka lalui. Membiarkan matahari beristirahat dan digantikan cahaya rembulan. Lou Och tertidur di pangkuan Austin. Austin membiarkannya merasa tenang di pangkuannya. Mendusal di dada bidangnya sampai kembali diam dan terlelap begitu damai.
Semakin larut, keadaan semakin sunyi. Hanya ada suara langkah kuda dan lonceng dari kereta yang ia naiki. Sengaja diberi lonceng agar memudahkan pengawalnya mengetahui lokasi ia berada. Setidaknya saat kabut melanda, suara lonceng menjadi signal untuk terus berjalan bersama.
"Jalan dengan perlahan!" perintahnya sedikit membuka jendela. Gerakannya terbatas karena keberadaan Lou Och. Apalagi setiap kali ia bergerak sedikit Lou Och akan langsung merasa tidak nyaman.
Malam ini, ia putuskan untuk tetap bergerak. Pengawal yang ikut juga tak mengeluh. Mereka sudah terlatih tak tidur berhari-hari dan berwaspada pada keadaan apapun.
Setelah perintahnya itu. Austin kembali sibuk mengelus surai kecokelatan Lou Och yang sedikitpun tak mewarisi gen darinya. Mungkin gen dari leluhur yang membuat Lou Och tumbuh seperti rakyat Dabarath. Saat Lou Och tahu ada orang berambut cokelat, pasti remaja ini akan bahagia. Austin tidak sabar menunggu wajah senang putranya.
Austin ikut terlelap mendekap putranya. Menyerahkan kesadarannya pada alam mimpi. Menjelajahi dunia mimpi hingga malam berlalu.