Hari ini, Lou Och sudah mendingan. Dia bahkan sudah harus kembali berangkat bersekolah di pondok bersama anak para menteri lainnya. Dia berangkat dengan ditandu pengawalnya. Sepanjang jalan dia hanya duduk diam membuka buku pelajaran yang sampai detik ini tidak bisa menarik perhatiannya. Dia hanya membukanya dan menatap lamat-lamat buku tersebut. Tidak membaca apalagi mempelajarinya.
Kereta tandunya berguncang tanda dia telah sampai di pintu gerbang pondok sekolahnya. Pintu dibuka seorang pengawal dan mengisyaratkan bahwa tuannya telah sampai dan bisa segera keluar. Lou Och hampir berdecak tetapi, urung karena tak jauh dari gerbang terlihat guru besar yang berdiri menyambut siswanya. Tumben sekali guru besar itu mau berdiri berlama-lama di luar ruangannya.
Lou Och keluar perlahan dan berjalan masuk diikuti kedua pengawalnya. Aturan di dalam pondok hanya mengizinkan siswa yang masuk, jadi kedua pengawal itu hanya bisa berjaga di depan pintu pondok. Mereka harus menunggu tuan mereka selesai belajar dan pulang dengan selamat. Tugas yang sederhana namun begitu mengancam keselamatan. Mereka bertaruh nyawa untuk mendapat tugas mulia ini.
Lou Och duduk di bangku terdepan seorang diri. Sudah terbiasa dengan suasana kelas yang menyudutkannya. Dia selalu saja dibicarakan oleh putra para menteri. Mengatakan dia tidak akan pernah pantas menjadi seorang raja bahkan seorang pelajar. Hatinya selalu merasa sakit mendengar pembicaraan itu, tapi ... dia menahannya. Papanya bahkan membencinya. Mungkin saja dia memang pantas mendapatkan itu semua.
Saat pelajaran memanah dan bertarung, dia akan selalu diejek habis-habisan oleh mereka. Mereka yang bahkan tidak pernah mengenalnya sebelumnya. Lou Och ingin menangis saat itu juga, bahkan ingin berlari pergi dan berhambur ke pelukan mamanya. Tapi, sekali lagi dia menahannya. Mamanya akan merasa begitu sedih kalau dia kembali menangis.
Hubungan mamanya dengan papanya juga memburuk. Dia tidak akan mau membuat mamanya kembali berdebat dengan sang papa karenanya. Mamanya, pasti menahan banyak kesakitan karena ulahnya. Sejak awal, seharusnya dia bisa menahan diri dan belajar dengan giat seperti yang diinginkan mamanya. Bukan malah malas-malasan dan bermanja dengan sang papa.
Dia menunduk saat seorang guru memasuki pondok belajar. Ini seperti akademi di klan lain. Hanya saja di klannya hanya ada dua akademi terbesar. Satu khusus untuk para bangsawan dan putra kerajaan, satu lainnya sekolah khusus untuk para rakyat bawah. Semuanya dikhususkan untuk laki-laki. Bagi rakyat bawah yang berhasil sekolah di akademi mereka nantinya yang akan menjadi para pengawal para bangsawan. Mereka harus mau mengabdikan diri kepada tuannya sampai akhir hayat bahkan ada yang sampai anak cucunya tunduk pada satu tuan.
"Aku tidak akan sudi menjadi bawahan bocah itu, bahkan kalau bisa aku yang akan memperbudaknya!"
Suara seperti itu bukan pertama kali masuk ke dalam telinganya. Lou Och berusaha mengatakan pada dirinya bahwa semua akan segera berlalu. Dia akan baik-baik saja dan tidak perlu mendengar ucapan itu kembali.
Sepulang dari belajarnya, dia akan duduk sendirian di tepi sungai. Mebiarkan pakaiannya kotor oleh tanah yang ia duduki dan mengembuskan napas beratnya di tempat itu. Para pengawal tidak bisa menolak permintaan tuannya, mereka membiarkan putra kerajaan itu duduk sendirian ditemani suara keramaian pasar yang tak jauh dari sungai tersebut berada.
Setelah puas, dia akan langsung masuk ke dalam tandu dan tanpa bicara sedikitpun para pengawal akan dengan sigap membawa tuan mereka pulang ke istana. Sesampainya di istana, Lou Och segera keluar dari tandunya dan masuk ke dalam kamarnya. Dia enggan menemui mama atau papanya. Dadanya hanya akan berdenyut nyeri menginginkan masa lalu.
Di kamar, dia berusaha membuka bukunya dan belajar. Meskipun dia tidak mau, meskipun dia kesulitan, dia akan tetap mencoba. Pikirannya akan sangat kacau kalau hanya duduk diam. Kilasan menyakitkan saat papanya memukulnya akan membayanginya saat dia duduk diam. Dia tidak mau terbayang-bayang akan kejadian itu.
Setelah duduk lama membaca bukunya, seorang pengawal memberitahukan kedatangan mamanya. Dia menutup buku tersebut dan berbaring di ranjangnya. Rasanya enggan bertatap muka dengan sang mama. Dia terlalu lemah untuk bersikap tegar di hadapan mamanya. Mama yang dulu galak sekarang melembut dan mulai memanjakannya.
Falesia melangkah masuk ke dalam ruang kamar Lou Och. Dilihatnya putranya itu tidur berbaring membelakanginya. Dia membiarkan pintu kamar ditutup dan duduk di depan meja dengan buku tertutup di atasnya.
"Bangun Och, untuk apa pura-pura tidur?" tanya Falesia membut Lou Och menggigit bibir bawahnya. Dia gugup berbohong seperti ini. Takut kalau mamanya akan berubah menjadi wanita yang galak seperti sebelumnya.
"Besok kamu ikut pertemuan dengan papamu ke Dabarath. Mama hanya ingin tahu apakah kamu bersedia atau tidak. Kalau kamu tidak bersedia, mama bisa meminta papamu untuk tidak memaksa," ujar Falesia memberitahu rencana suaminya kembali mengadakan pertemuan dengan seluruh negeri membahas satu topik.
Mereka biasanya membawa keluarga mereka agar bisa menjalin pertalian sekaligus memperkenalkan siapa pewaris selanjutnya. Meskipun kebanyakan dari mereka berbohong dan membawa orang lain yang tampak lemah. Tapi, pertemuan semacam itu sesungguhnya penting untuk pewaris selanjutnya agar tahu bagaimana problematika yang dihadapi negeri di kejauhan sana. Membuka mata lebih lebar dan belajar lebih banyak hal dari orang-orang berpengalaman dan berpengetahuan luas.
"Mama akan ikut?" tanya Lou Och akhirnya membuka matanya dan beringsut bangun. Pakaiannya jadi tidak lagi rapi.
"Mama tidak ikut, hanya papa, kau, dan para pengawal. Itu perjalanan sekitar satu bulan," jawab Falesia sembari mengelus surai kecokelatan putranya. Lau Och mengerucutkan bibirnya. Dia merasa kecewa karena mamanya tak ikut serta dalam perjalanan itu. Padahal dia ingin melakukan perjalanan pergi ke tempat jauh yang tak pernah ia tahu peradabannya.
"Aku ingin ikut, tapi ..."
"Papa tidak akan bersikap buruk kepadamu, Sayang. Selama kamu menurut, papa akan menjagamu dan menyayangimu," pungkas Falesia tahu kekhawatiran Lou Och. Remaja itu diam dengan wajah cemberut, berpikir dan menimbang apakah dia harus ikut atau menolaknya.
"Apakah akan baik-baik saja kalau aku menolak itu?" tanya Lou Och menatap manik cantik miliki mamanya. Yang ditatap tersenyum manis dan menggeleng.
"Papa akan tetap memaksamu, Sayang. Mama hanya akan berusaha membujuknya, bukan berarti bisa merubah keputusannya," jawab Falesia membuat Lou Och kian mempoutkan bibirnya.
Andai saja papanya masih sama seperti dulu, maka dia dengan senang hati ikut perjalanan itu. Apalagi pergi bersama papa dan menjelajahi alam dengan berkuda. Itu akan menjadi pengalaman yang luar biasa menarik. Sayangnya, situasinya berbeda. Dia mengalami kecanggungan dengan lelaki yang menjadi papanya dan terasa sungkan duduk berdua melewati alam.
pemandangan yang seharusnya begitu indah dan menenangkan bisa-bisa menjadi pemandangan membosankan dan mencekam. Lou Och selama ini sudah tak pernah bertegur sapa dengan sang papa. Dia takut papa akan kembali memukulnya dan menyuruhnya belajar. Lou Och, takut pada papanya sendiri.
"Sayang ... percayalah, papa akan baik kepadamu. Hubunganmu dengan papa akan baik-baik saja. Dia seorang ayah dan kamu adalah putranya. Semarah apapun dia, kamu tetaplah putranya. Dalam bahaya dia akan berusaha membuatmu aman, bahkan saat itu adalah bahaya yang kamu ciptakan sendiri," nasihat Falesia.
Lou Och mengangguk mendengar itu. Hatinya sedikit merasa tenang mendengar tutur kata mamanya. Apalagi tatapan lembut yang diberikan sang mama kepadanya. Tatapan lembut yang ia miliki selamanya. Tatapan itu, tidak pernah dilihat orang lain selain dia seorang. Dia beruntung memiliki mamanya.
"Aku akan ikut, Ma," putus Lou Och membuat Falesia tersenyum semakin lebar dan mengecup pucuk kepala putranya. Benar. Lou Och sudah tumbuh dewasa. Dia bisa mengendalikan dirinya sendiri dan membuat keputusan untuknya sendiri. Keraguan yang dulu selalu ada dalam diri Lou Och pasti akan sirna dan menjadikan diri Lou Och menjadi lelaki tangguh selayaknya suaminya.