Adinata tersenyum remeh. Ia melepaskan pukulannya sejenak, membuat kepala cowok itu terpental kembali. Dan saat dirinya membalikkan badan, kedua bola matanya langsung tertuju ke dosen yang sedari tadi memperhatikannya ditengah kerumunan.
"Sudah ... sudah ... Adinata, kamu ikut Ibu!" seret dosen berlipstik merah pekat itu.
Ini adalah pemandangan terburuk pertama kali yang pernah wanita itu lihat. Akan tetapi, gaya bertarung Adinata juga di acungi jempol olehnya. Namun bagaimana pun juga, Adinata tetap salah. Karena telah menghajar mahasiswa itu habis-habisan.
Adinata bersedia diseret pasrah oleh dosen wanita itu. Sedangkan preman-preman kampus diamankan oleh petugas kampus yang datangnya sedikit terlambat. Kerumunan juga telah dibuyarkan oleh Elsana dan Sellena. Sedangkan Ellera saat ini masih diam, dibenaknya masih terbayang-bayang pertarungan sengit antara Adinata dan keempat cowok itu tadi.
Jujur saja, Ellera sedikit takjub karena gaya bertarung Adinata sangat menyihir semua orang yang melihatnya. Namun jangan harap Ellera akan berterimakasih ke Adinata. Itu sangat mustahil, meskipun cowok itu telah menolongnya.
Sebelum dosen berlipstik merah pekat itu membawa Adinata, Adinata menghentikan langkahnya memastikan apakah wanita yang baru saja ditolongnya itu terluka atau tidak. Ellera tampak menunduk secara paksa setelah Adinata memperhatikannya–menghindari kontak mata. Ellera bahkan tak menunjukan rasa terima kasih apapun itu. 'Bodoamat' kata andalannya.
Dosen itu juga memastikan apakah Ellera terluka. Karena Ellera tak begitu terluka, dosen itu lalu melanjutkan langkahnya lagi karena harus membawa Adinata.
"T-tapi, Bu ... dalang dari semua ini bukan disebabkan oleh Adinata, Bu! Cewek ini dalangnya," ujar salah satu mahasiswa cewek yang sangat terpesona akan ketampanan Adinata. Cewek itu mengeluarkan jari jemarinya dan dihadapkan ke arah Ellera. Sontak dosen itu menghentikan langkahnya kembali.
"Hah?"
Dosen itu jelas ternganga karena mengira keributan berawal tidak ada sangkut paut dengan Ellera. Namun dugaanya salah, rupanya Ellera lah yang melakukan penyerangan terlebih dahulu.
Tanpa basa-basi, Ellera menyerahkan diri dengan berjalan nyeludur tanpa disuruh oleh dosen wanita itu terlebih dahulu. Tingkahnya membuat Adinata geleng-geleng.
"Baiklah, Adinata. Mari....!" seret dosen itu melanjutkan langkahnya lagi menyusul Ellera yang sudah berjalan lebih dulu.
***
Prof Eleranda Neomu menatap bangunan megah yang berdiri kokoh di hadapannya, sudah berbulan-bulan ia tak menginjakan kaki disini lagi sejak insiden putrinya.
"Profesor." Pak Raka dengan sopan menyalami pria yang mengenakan setelan jas berwarna hitam itu.
"Silahkan duduk, Profesor Eleranda Neomu." Pak Ragiel sekaligus pemilik kampus mempersilahkan orang tua Ellera untuk duduk.
Dan tak lama kemudian....
"Selamat siang, maaf terlambat," ujar pria bersetelan jas berwarna biru tua yang tampak terengah memasuki ruang interogasi.
"Silahkan masuk, Presdir Abinata," suruh pak Ragiel mempersilahkan orang tua Adinata agar duduk bersampingan dengan Profesor Eleranda Neomu.
Ellera dan Adinata tampak terkejut setelah melihat masing-masing ayah mereka. Bagaimana bisa?
"Wow...." takjub Ellera. Pemandangan yang sangat tak terduga ini benar-benar mengejutkannya. Ellera dan Presdir Abinata berbubungan cukup baik 2 tahun yang lalu, namun tak di sangka. Presdir Abinata adalah ayah kandung dari Adinata, yaitu mahasiswa pindahan yang sangat berprestasi di kampus ini.
"Om...." panggil Adinata lirih, ia juga dikejutkan dengan sosok Profesor Eleranda selaku mentornya saat diluar negeri dulu.
Sebelum Presdir Abinata duduk, beliau tak lupa berjabat tangan dahulu dengan Prof Eleranda, mereka kenal cukup baik dan dekat.
Dosen-dosen dan para wali cowok-cowok yang terlibat perkelahian dengan Adinata dan Ellera itu, juga tampaknya terkejut karena keduanya saling kenal. Hal itu karena Prof Eleranda yang memang berkarier diluar negeri selama ini. Dan baru-baru ini Prof Eleranda pulang, dan langsung dipermalukan oleh putrinya.
Ellera memalingkan wajahnya saat melihat sosok Prof Eleranda yang meliriknya.
"Pak Ragiel, sepertinya masalah ini sangat serius," ujar Presdir Abinata melirik miris putranya.
Pemilik kampus menghembuskan nafas perlahan. Ia benar-benar tidak habis pikir, kampus bergengsinya akan terguncang seperti ini. "Profesor, Presdir, dan wali murid semua yang kami hormati, mohon maaf sebelumnya. Kami selaku penanggung jawab penuh di kampus ini. Jujur, kami sangat kecewa dengan tingkah mereka semua," kata pak Ragiel seraya melihat mahasiswa-mahasiswa yang terlibat itu satu persatu.
Pak Ragil langsung menunjuk Ellera, mengartikan harus berbicara terlebih dahulu dengan jujur seksama. "Ellera, banyak mahasiswa yang bilang, bahwa kamu yang menyerang keempat mahasiswa ini terlebih dahulu, benar, Ellera?" tanya pak Ragiel menunjuk cowok-cowok yang saat ini berdiri berjajar menunduk semua itu.
"Benar," ucap Ellera spontan. Ia tidak bisa berhenti memainkan gelangnya sedari tadi. Sehingga Profesor Eleranda melihat putrinya sedikit geleng-geleng.
Di sisi lain, Adinata masih tercengang, ia tak bisa melepaskan tatapannya ke Ellera.
"Lalu kenapa, Elle? Kenapa kamu menyerang cowok-cowok ini? Nekat sekali kamu. Bagaimana jika kamu tadi yang kenapa-kenapa? Syukurlah kamu tidak terluka, hmm ada-ada saja," bentak pak Ragiel tegas. Ia benar-benar bersikap netral.
"Lalu kalian." Kini pak Ragiel menunjuk ke arah keempat cowok itu. "Kata para saksi, kalian yang memancing keributan. Benarkah? Benda ini, apa benda ini?" pak Ragiel menyodorkan benda yang bisa menciptakan suara menyakitkan di telinga.
Keempat cowok itu diam, semakin menunduk dan semakin takut melihat kedua orang tua Adinata dan Ellera yang sepertinya bukan orang biasa. Tidak menyangka, bahkan tak terduga. Rupanya Adinata dan Ellera adalah anak orang kaya.
Salah satu dari wali itu menyenggol lengan putranya supaya angkat bicara.
"Iya—kami yang menyebabkan perkelahian ini," ujarnya sangat pelan, bahkan tidak terdengar.
Pak Ragiel mengangkat keningnya. "Bicara apa kamu?" tegasnya lagi fokus ke cowok yang bersedia mendahului pembicaraan.
"K—kami, Pak. Kami yang menyebabkan keributan di kantin, lalu mahasiswa jurusan seni menegur kami. Kami sempat cek-cok sebelum pertengkaran terjadi, dan ..." Berhenti bicara.
"Dan apa?" ucap pak Ragiel menyimak dengan sangat serius.
"Dan...." Cowok itu melirik Ellera, memastikan apakah Ellera masih berapi-api. Namun ternyata tidak, Ellera justru bersikap acuh, meski suasana sangat memanas. "Dan ... wanita itu menyerang kami dengan menendang bagi .. bag ... ba-bagian alat kami," beber cowok itu terbelit-belit karena harus menahan rasa malu.
"Alat? Alat apa, Radit?" tutur pak Ragiel.
"Fi—fital ... itu sungguh sakit. Perut kami bahkan ditendang habis-habisan sama cewek itu, Pak! Kami jatuh tersungkur dan tetap berkelanjutan di habisi lagi dan lagi, sial itu sangat sakit, Pak," celetuk Gali, teman Radit yang sedikit cupu tadi. Gali paling menderita disini, karena masadepannya hampir tak terselamatkan akibat ulah Ellera yang menendang begitu kuat dengan sengaja terhadapnya.
Adinata sontak tertawa kecil meremehkan keempat cowok itu.
"Oohh ... ngeri juga ternyata kamu Ellera, terus? Masih utuh, kan?" ledek pak Ragiel.
"Ma—masih panjang, Pak. Cuma sedikit mengeras," sahut Bagas yang baru angkat bicara. Ia juga korban dan paling tersakiti di sini.
"Hohohoho ... nanti saya pinjamkan punya bapak!" Pak Ragiel terkekeh keras. Ia tidak bisa menahan tawanya karena rata-rata korban Ellera, masadepannya yang menjadi target utama. Ruang interogasi ini menjadi sedikit tidak menegangkan—karena kelucuan berawal dari Gali, sehingga menimbulkan tawa. Bahkan Presdir Abinata dan Prof Eleranda juga ikut tertawa kecil.
"Dan Adinata, bagaimana bisa ada Adinata? Adinata membela Ellera? Begitu kah konsepnya?" tanya pak Ragiel. Ini adalah pertanyaan yang terakhir, secara hanya ada mereka saja yang terlibat.
Adinata bersiap angkat bicara, ia duduk tegap kali ini. "Mereka cemen, beraninya sama perempuan. Apa pantas, jika dari awal saya seorang pria, tapi hanya melihatnya saja? Bukan hanya itu, mereka juga sempat mengumpat saya dengan kata-kata kotor! Bahkan papa saya tidak pernah berbicara seperti itu kepada saya sebelumnya. Namun semakin lama cowok-cowok banci ini semakin sengklek, dan maaf, saya tidak bisa menyimpan amarah saya," ungkap Adinata panjang lebar. Ia berbicara sesuai fakta.
Sungguh semua wali murid di sini telah dibuat malu dengan tingkah anak-anaknya yang telah terlibat.