Eummm ... Ahkkk...!
"Enak sebenernya. Tapi rasanya seketika berubah saat gue inget kalo Reiley sudah mempunyai ikatan," resah Sellena mengungkit kembali. Padahal ia sudah membuang pikiran itu sejauh mungkin dan menerima apapun keputusan Reiley. Entahlah, itu sungguh sulit.
Elsana menciptakan bunyi glek ... glek. Membuat semuanya fokus terhadapnya.
"Apa yang dia lakukan?" heran Elend.
"Kak, pelan-pelan dong," sahut Esme miris. Elsana tidak bisa minum dengan biasa. Itu seakan tidak ada hari esok untuk minum.
"Hahaha ... ada-ada aja," desak Elend merebut botol yang berada di jari jemari Elsana. Pemandangan ini begitu tak mengenakan baginya. "Jangan terlalu mabuk, gue males ngeladenin bacotan lo!" serunya.
"Eh ... gue balik duluan, ya," lanjut Ellera mengalihkan pandangan mata teman-temannya. Ia tiba-tiba muncul dan langsung pamit pergi mendahului.
Satu persatu kepala tertoleh kebelakang karena mendengar sahutan Ellera. Terumata Elend, ia orang pertama yang berdiri saat Ellera datang. "Elle, buru-buru, ya? Lo bahkan belum ngucapin selamat ke Reiley. Mau cabut gitu aja?" Elend menahan langkah Ellera seraya mengangkat gelas yang berisikan alkohol di jari jemarinya.
"Iya ih ... jahat banget lo!" sambung Sellena
"Tapi kalo emang sibuk, ya gapapa lo duluan aja. Tapi jangan cabut gitu aja, ucapin selamat dulu kek. Dia temen lo. Bestie lo. Saudara lo! Datang baik-baik, pulang juga baik-baik. Kalo malu, gue anterin ayo," usul Elsana. Tujuannya membuat Reiley tidak semakin sedih karena salah satu sahabatnya tidak mengucapkan selamat atas ikatan yang berlangsung tadi.
Tanpa menjawab, Ellera membalikkan badannya. Ia pergi. Tidak peduli. Hatinya belum pulih.
"Gitu banget, ya? Gimana perasaan Reiley nanti coba? Masalah terus yang dicari. Sampe kapan? Gue bener-bener kangen banget sama pertemanan kita yang dulu. Ngga kaya gini, dikit-dikit ribut. Hanya karena masalah sepele dan tak berbobot. Gedeg banget gue lama-lama sama, si, Elle. Sialan emang tuh anak. Dikira dia aja yang kecewa hah? Kita semua merasakan hal yang sama! Jangan merasa paling tersakiti sendiri gitu. Dan hak dia apa ngurusin hubungan percintaan teman-temannya? Siapa dia? Dukun?" Emosi Elsana sungguh meledak. Ia tidak habis pikir dengan Ellera. Tingkahnya sangat berlebihan. Membuat teman-temannya yang tadinya memahami, kini ikut larut terbawa emosi.
Ellera belum melangkah cukup jauh. Gadis itu mendengus pelan. Menoleh kebelakang karena ucapan Elsana memang sekeras itu. Matanya tajam melirik circle yang saat ini duduk di satu sofa yang sama. "Kalo berani, ngomong depan gue!" Kedua mata Ellera menyalang—tidak terima dengan setiap kata yang dilontarkan Elsana.
Semua anak yang berada di samping Elsana menatap heran. Kenapa semakin membesarkan?
"Udah ... udah! Apa-apaan si kalian. Malu dilihat orang-orang. Diem lu, Els!" dekap Elend.
Sellena menggeplak-geplak kepalanya sendiri. Ia ikut larut dengan ucapan Elsana barusan. "Kenapa kalian se-egois ini? Anj*ng gue tanya kenapa? Jangan pada mikirin diri sendiri. Disini yang paling tersakiti itu Reiley! Lo semua tau, dan lo semua masih bertingkah seperti itu?" bentak Sellena ke Ellera. Meski sedikit jauh, namun ruangan yang menggema itu membuat Ellera mendengar jelas ucapan Sellena. Ellera tidak mengeluarkan respon. Ia melanjutkan langkahnya dan pergi begitu saja.
Esme dan Elend bingung harus berbuat apa. Mereka memilih untuk tidak ikut angkat bicara.
***
Setelah meninggalkan ruangan yang hanya ada dirinya dan para circle-nya. Kini Ellera berjalan ke arah pintu keluar untuk meninggalkan lantai 48 ini. Dirinya sudah tidak tahan berada dilantai yang semakin lama semakin menjijikkan, pikir Ellera.
Karena ingin pergi. Sehingga Ellera harus melewati ruang tengah untuk menuju ke pintu depan. Dengan tidak sopan, Ellera melewati kerumunan pesta kecil-kecilan itu begitu saja. Bahkan orang tuanya sendiri ia lewati.
Prof Eleranda melirik putrinya dari kejauhan. Ia juga berpikir ada apa dengan raut wajah putrinya itu?
Ellera semakin melangkah laju lebih cepat. Dres putih yang ia kenakan sedikit di singkap olehnya, karena untuk mempermudah cara berjalannya. Sehingga pada akhirnya, Ellera melewati Reiley dan juga cowok itu. Ellera berjalan lebih pelan kali ini. Meski tak sepenuhnya melirik Reiley dan cowok itu, namun Ellera tahu betul jika itu mereka berdua. Secara gaun Reiley terlihat menonjol dari bawah kaki sampai atas kepala.
Reiley tiba-tiba tegang. Wajahnya mengeras setelah tahu Ellera berjalan ke pintu utama. Dan yang ada di benak Reiley saat ini. "Apa dia mau pergi begitu saja," gumamnya resah dalam hati. Begitu pula dengan Jay, cowok itu juga menyadari bahwa Reiley sepertinya memperhatikan cewek yang mengenakan dres putih melewatinya sedari tadi.
"Itu temen lo, kan?" tanya cowok itu sedikit meninggikan suaranya ke telinga Reiley. Karena keadaan ruangan sedikit ramai. Sehingga cowok itu berbisik keras.
Reiley mengangguk pelan. Ia tak menjawab namun hanya mengisyaratkan saja. Tatapannya tidak bisa lepas dari punggung belakang Ellera.
"Kok belum ngucapin selamat ke kita? Ada masalah?" tanya cowok itu sekali lagi. Ini sungguh aneh, pikirnya.
Dan lagi-lagi Reiley hanya menjawab dengan menganggukan kepalanya. Terlukis kesedihan diwajahnya.
"Kok bisa? Masalah apa emang? Sehingga enggan mengucapkan selamat ke lo? Terus tujuannya apa kemari jika kalian berdua bermasalah?" tanya cowok itu kurang puas. Ia sangat ingin tahu. Sedangkan Reiley sudah berdiam. Ia lebih memilih untuk tak memikirkan Ellera terlebih dahulu.
***
"Ellersane ... ada apa dengan putrimu? Kenapa dia lancang tidak memberi selamat kepada Reiley? Aku malu, Ellersane! Presdir Arez bahkan sudah mengetahui akan hal ini. Sebenernya ada apa dengan Reiley dan Ellera anakmu? Aku tidak akan menyeretmu kesini jika tidak saking seriusnya!" berang Prof Eleranda. Ia benar-benar telah dibuat malu oleh Ellera. Tingkah putrinya begitu tidak sopan.
Bu Ellersane mendengus dingin. Ia juga bingung harus berbuat apa, secara Ellera saja berani dengannya. "Sepertinya anak kita bermasalah. Pulang nanti biar aku yang bicara dengannya," lirih bu Ellersane tidak berani menatap mata suaminya kala meledak.
Prof Eleranda mengepalkan satu tangannya untuk di benturkan ke tembok yang berdiri kokoh di sampingnya. Prof Eleranda juga larut dalam emosi. Ia memukul-mukul keras tembok itu.
ARGHHH!
Prof Eleranda mengerang keras, karena harus menahan rasa malu ke Presdir Arez. "Bagaimana jika mereka berpikir aku gagal mendidik anakmu? Kenapa? Ada apa dengan anakmu itu? Bisanya membuat masalah! Lihatlah Reiley, dia sangat cerdas dan nurut sama Arez! Arez berhasil mendidik anaknya! Dan kau Ellersane?" pekik Prof Eleranda lagi. Suaranya begitu menakutkan saat marah. Dan kali ini bu Ellersane yang kena semprot.
Bu Ellersane mencoba mengangkat kepalanya perlahan. Benih bening tampak berjatuhan di pipinya. Ia bingung harus berucap apa lagi. Bu Ellersane, tipe wanita yang lemah lembut. Jika suasana sudah seperti ini, ia tidak bisa membantah lagi. Apalagi pria sang pemilik Penthouse dan Palace dihadapannya itu matanya sangat merah menyalang.