Ellera mendongak perlahan. Kedua ujung bola matanya menyusuri ujung bawah sepatu hitam itu sampai merambat ke atas.
Deg!
"Bagaimana bisa?" gumam Ellera dalam hati setelah melihat Adinata duduk di kursi taman itu.
Adinata sadar akan kedatangan Ellera. Namun dirinya masih menjatuhkan matanya ke layar ponsel.
Ellera melangkah sedikit lebih maju—mendekati cowok tampan yang menundukkan kepalanya itu. Pembuluh darah tampak tegang di leher Ellera. Wajah Ellera mendadak menjadi kosong, setelah cowok itu perlahan menatapnya.
Hembusan angin malam yang teramat sejuk juga membuat Adinata harus memejamkan matanya—menghirupkan keras—supaya angin itu masuk ke sela-sela hidungnya. Adinata bergeser kesamping. Yang tadinya ia berada di tengah kursi taman. "Kenapa lambat kali jalanmu?"
Adinata, cowok itu angkat bicara. Cowok yang telah dinobatkan menjadi kulkas 1000 pintu itu rupanya masih mempunyai setidaknya satu dua, sikap yang tidak garing.
"Sejak kapan lo disini?" tanya Ellera mencoba duduk di kursi taman itu. Dan jaraknya cukup jauh. Secara kursi taman itu sangat panjang. Namun Adinata menanggapinya dengan senyuman simpul.
Apakah pertemuan ini benar-benar kebetulan? Atau melainkan....?
"Rey, lo sempet ketemu cowok itu sebelum kesini?" Topik Adinata sangat aneh menurut Ellera. Cowok ini kenapa tiba-tiba menyebut nama Rey, pikirnya.
"Gue serius!" ketus gadis itu.
"Gue juga serius!" sambar Adinata lirih kala gadis itu tidak percaya.
"Maksud lo? Temen lo pergi ke Eleranda Palace? Ngapain? Ada urusan apa?" tanya Ellera mengecilkan suaranya. Bahkan hampir tak terdengar. Namun Adinata sudah menyiapkan jawaban sebelumnya. Karena pertanyaan itu pasti akan di keluarkan oleh Ellera.
"Datang ke acara tunangan temen kuliahnya! Gue ngga begitu kenal," ungkap Adinata.
Ellera tercengang. Namun ia tetap tenang dan nyaman dengan posisi robot seperti itu. Mereka berdua mengobrol tanpa saling tatap satu sama lain. Keduanya melirik pemandangan gemerlap lampu kota dari kejauhan. "Oh." Singkat. Padat. Dan jelas.
"Kenapa lo ke sini? Bukannya cewek itu sahabat lo?" Adinata menyadari dari dres yang dikenakan oleh Ellera. Apalagi ini belum cukup larut, namun Ellera sudah meninggalkan pesta pertunangan itu. "Lo punya masalah?" tambah Adinata. Ia mencoba menjadi cowok asik—tidak garing. Kapan lagi pikirnya, teman masa kecilnya yang selama ini yang ia cari-cari rupanya Ellera. Dan saat ini tengah duduk didekatnya.
"Gausah sok asik!" desis gadis itu masih membuang muka. Sedangkan Adinata spontan menarik senyuman tipis-nya. Sepertinya ada banyak perubahan pada teman masa kecilnya itu.
"Gue dulu penakut! Saking takutnya, sampe gue nangis-nangis minta tidur terus sama lo."
Pembahasan masih seputar masa lalu. Entah ucapannya diterima Ellera atau tidak, yang pastinya Adinata akan tetap membahasnya. "Lagi, lo masih ingat tempat tinggal kita dulu? Itu benar-benar belum ada Eleranda Palace 100 lantai, bahkan Griya Tawang sekali pun. Kita kerap main di sungai. Lo yang nyemplung, gue yang nangis. Gila, ngga tuh?"
Percakapan semakin dalam. Dan Ellera semakin tertarik dengan obrolan kali ini. Meski raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dirinya tertarik.
"Lo pasti mau tanya, persolaan awal mula gue tau kalo misalkan lo itu Ellera kecil waktu itu, kan? Jangan tanya dulu. Gue belum punya jawabannya. Mending lo tanya, kenapa gue selama ini ngga bisa nemuin lo, padahal gue tau betul kalo Apartemen mewah itu milik papa lo, Profesor Doktor Eleranda Neomu. Dan selama ini, beliau jadi mentor gue saat di luar negeri. Parahnya lagi, bisa-bisanya gue selama ini ga menyadari kalau beliau papa lo." bebernya
Rahangnya tiba-tiba menegang.
Meski Ellera tetap diam dan tidak meminta jawabannya. Namun Adinata dengan sangat senang hati membeberkan jawaban itu sendiri. "Gue, jujur, gue, nggak tau siapa pemilik Penthouse 100 lantai di sudut perkotaan seperti ini. Dulu sempet denger proyek ini. Namun gue masih ngik-nguk, gatau kalo itu proyek Profesor Eleranda, papa lo. Saking bodohnya gue, sampe gede gue baru tahu. Dan lebih parahnya lagi, papa gue, dia nggak berniat ngasih tau bahwa itu proyek papa lo. Apalagi lo salah satu penghuni Palace itu. Gue bener-bener nggak tau. Dan gue ngga mau tau kenapa papa menyembunyikan hal sebesar ini ke gue. Baiklah, karena saat ini gue udah tau. Gue lebih mudah cari lo, dan ternyata...."
"Gue," celetuk Ellera memotong pembicaraan Adinata. "Dan ternyata gue temen masa kecil lo," tambah Ellera lirih.
Adinata, cowok itu sontak terdiam—tersenyum miring kala mendengar celetukan gadis itu. "Haha, jujur kecewa, sih sama bokap gue. Pusing gue cariin lo selama ini. Sekalinya ketemu, lo mendadak udah jadi pewaris Griya Tawang aja," sindir Adinata bernada candaan.
"Haha...." Ellera spontan tertawa kecil hampir tak terdengar.
Setelah itu, suasana tiba-tiba hening. Ellera terdiam, juga Adinata yang terdiam. Keduanya masih di posisi yang sama, duduk berjauhan menatap pemandangan perkotaan dari kejauhan.
Beberapa menit kemudian...
"Elle—" panggil Adinata lirih. Menolehkan kepalanya menyamping. Namun niatnya untuk melihat wajah Ellera itu gagal. Justru yang pertama dilihatnya bukan wajah Ellera, melainkan rambut Ellera yang terurai kedepan—karena hembusan angin malam yang cukup kencang.
"Emh," deham Ellera malas bersuara.
"Lo bener-bener tidak tertarik lagi dengan pertemanan masa kecil kita dulu?"
Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Adinata. Membuat Ellera memalingkan wajahnya. Kini mereka bertatapan.
"Engga. Untuk apa tertarik? Lo kan sekarang udah dewasa. Engga Adinata kecilku dulu lagi. Jelas beda! Jangan samakan! Terserah lo nganggep gue gimana. Yang pastinya gue engga tertarik berteman dengan seorang pria. Buang-buang waktu tau ngga," tolak gadis itu mentah-mentah.
Adinata tersentak. Jawaban itu sungguh mengejutkannya. Pasti ada penyebab dibalik semua ini. Kenapa? Ada apa dengan teman masa kecilnya yang terkenal lembut dan penyayang itu? Kenapa tiba-tiba membenci seorang pria?
"Lo sadar, nggak? Kalo ucapan lo itu keterlaluan banget?"
"Sadar! Tapi itu udah jadi keputusan gue sejak dulu," jawab Ellera memalingkan wajahnya ke arah depan lagi. Kali ini ia tak lagi saling tatap dengan Adinata.
"Elle...." lirih Adinata mencoba menolak kenyataan.
"Ga perlu memelas kaya gitu. Dari awal memang kita udah ga cocok!" Gadis itu benar-benar telah menyakiti hati Adinata saat ini.
"Ga cocok?" Adinata mengulangi ucapan Ellera dan bertanya kembali.
"Terus, kalau cocok. Kenapa kita berpisah? Kenapa? Kenapa gue tanya? Lo yang ninggalin gue dulu. Lo lupa? Bahkan kedua orang tua kita secara tidak langsung menentang keras pertemanan kita. Lo itu bodoh! Lo pura-pura apa gimana? Kalo sejak awal mereka tau, kenapa kita sengaja dipisahkan kaya gini?" sentak gadis itu terbawa emosi.
Adinata tersenyum getir. Ia berdiri dan mulai berjalan untuk duduk lebih dekat dengan gadis itu. Kemudian jari jemarinya mulai merambat ke rambut gadis yang berserakan karena hembusan angin malam itu. "Tolong, kali ini jangan halangi tangan gue," lirih Adinata berbisik ke leher belakang Ellera.
Gadis itu memejamkan matanya sejenak. Sesuai ucapan Adinata tadi, Ellera benar-benar tak memberontak. Ia diam menjatuhkan matanya.
***
1 minggu kemudian....
Praktek yang pada awalnya dilaksanakan di kampus, kini berpindah haluan dilaksanakan di tempat pengambilan bahannya langsung, yaitu tanah liat pilihan.
Ellera dan Sellena bermalam di perkampungan bernuansa pemandangan area kebun teh. Jadwal praktek mereka pukul 07:00, yangberlangsung esok hari. Kini Ellera dan Sellena masih belajar trik-trik cepat agar nilainya semakin memuaskan dan tinggi tentunya.
"Gue mau mandi, tapi takut! Gelap banget, nggak jadi mandi gue. Mana udah datang jauh-jauh kebelakang," resah Sellena dengan beralaskan kaos hitam. Mencoba untuk mandi, namun gagal karena gelap.
Ellera yang sudah mandi sejak sore tadi hanya bisa menertawakan cewek tomboy yang ada dihadapannya itu. "Haha, besok aja mandinya. Lagian waktunya tidur malah mandi, pemilik rumah kan udah bilang. Kalau malam tuh, ngga ada lampunya! Ngeyel banget sih lo," cemooh Ellera.
Tiba-tiba langkah kaki terdengar masuk mengarah ke arah kamar Sellena dan Ellera yang hanya berlampir kain tipis untuk dijadikan pintu. Kamarnya benar-benar tanpa pintu.
"Permisi, Randys Ellerana, Gerna Sellena ... apakah saya boleh masuk?" Teriakan wanita paru baya terdengar nyaring dan jelas di balik sehelai kain itu.
"Sepertinya itu suara Profesor," tebak Ellera. Secara dirinya tinggal di penginapan kayu ini bersama 3orang Profesor, selaku mentornya.
"Iya, bentar-bentar ... gue pake celana dulu," bisik Sellena kedadapan. Apalagi pintu itu sangat transparan.
"Boleh, Prof! Tapi sebentar, ya," sahut Ellera pelan—tertawa kecil karena melihat Sellena gugup.
Wanita paruh baya itu menyingkap sehelai kain dengan sangat pelan. "Tidak apa-apa, kan sesama wanita haha...." Menerobos masuk diselimuti tawa cekikikan.
"Yahhhhh....," rengek Sellena menarik resleting celananya dengan kuat. Hampir robek. "Siallann....," gumam Sellena dalam hati mengumpat.