Ben sudah pergi dari apartemen Lexi sejak satu jam yang lalu, semenjak pria itu pergi dari kediamannya Lexin juga tidak menggerakkan tubuhnya dan masih terdiam di tempat. Untuk merenungi pembicaraan Ben yang mengajaknya menikah secara mendadak.
Lexi masih di hantui oleh rasa terkejut sekarang, dia masih tidak percaya dengan tawaran Ben yang mengajaknya menikah sebagai jalan keluar dari desakan keluarga mereka. Ben bahkan dapat mengatakannya dengan sangat santai dan tenang, membuat Lexi diam-diam kagum dengannya.
"Bagaimana bisa dia mengucapkannya tanpa rasa gugup sama sekali, meskipun aku dan dia sudah bersahabat selama belasan tahun. Namun, tetap saja jika menyangkut hal seperti itu aku sendiri bahkan akan sangat canggung," gumam Lexi berbicara dengan dirinya sendiri.
Bukan permasalahan menerima atau tidaknya tawaran menikah yang Ben berikan kepadanya. Lexi justru memikirkan sikap tenang dan biasa Ben ketika mengatakan pernikahan dengannya. Pria itu dapat mengatakannya dengan sangat mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Sebenarnya, Lexi tidak keberatan jika dia harus menerima lamaran dari Ben. Kemudian mereka menikah dan menghabiskan waktu bersama hingga tua. Lexi sama sekali tidak masalah dengan hal itu.
Mereka sudah cukup mengenal satu sama lain, keluarga mereka juga saling mengenal. Tidak akan terlalu banyak masalah yang datang jika mereka menikah. Lexi tidak perlu khawatir dengan perasaan cinta keduanya.
Dia sendiri tidak tahu apakah dirinya mencintai Ben atau tidak. Namun yang jelas Lexi selalu nyaman ketika berada di dekat Ben, mereka tahu kebiasaan masing-masing, mereka tahu makanan apa yang di sukai dan tidak di sukai, intinya mereka sudah saling mengenal kepribadian masing-masing dengan baik.
Seperti yang Ben katakan, tidak ada alasan Lexi menikah dengannya. Jika itu hanya karena cinta, maka perlahan ketika keduanya tinggal bersama rasa itu mungkin akan tumbuh secara perlahan.
Menurut Lexi menikah dengan Ben juga bukan suatu pilihan yang buruk. Tapi yang tidak habis dia pikir bagaimana Ben dapat mengatakannya dengan sangat mudah kepadanya. Padahal tadi itu dia baru saja memberikan sebuah lamaran pada Lexi `kan?
Dari pada sebuah lamaran, Lexi justru merasa jika Ben seperti sedang mengajaknya untuk bermain atau berwisata. Akan tetapi bedanya, ini adalah permainan dan wisata yang akan di lakukan seumur hidup mereka.
Lexi menghela nafas panjang, "Apakah aku harus berakhir dengan Ben, dia memang bukan pria yang buruk. Bahkan salah satu pria dengan kualitas dan kuantitas yang sangat baik. Ben tampan, pintar, kaya, baik, pengertian. Semua yang perempuan inginkan dalam diri seorang pria, semuanya ada di dalam diri, Ben," lirihnya.
Ben terlalu sempurna untuk Lexi yang terlalu serampangan. Sejak dahulu Ben adalah pria yang selalu menjadi primadona bagi kaum wanita di sekolah. Penyebab nomor satunya adalah karena tampangnya yang sangat rupawan.
Selain itu, Ben juga anak yang cerdas dan memiliki banyak prestasi. Jadi rasanya sangat wajar jika Ben menjadi pria yang sangat di gandrungi semenjak sekolah. Hal ini bahkan masih berlanjut hingga sekarang.
Lexi sering kali mendengar tentang banyaknya orang yang mengagumi Ben di tempat kerja. Dia sangat cekatan, berkharisma, berwibawa, dan yang terpenting adalah kaya juga tampan. Ben sudah seperti paket makanan bento yang sangat lengkap, hingga sangat sulit untuk ditolak karena kelengkapan yang dia punya di dalam dirinya.
"Tapi, apakah akan tidak aneh jika kita berdua menikah. Bersahabat dan menikah adalah dua hal yang sangat berbeda, apakah akan baik-baik saja jika aku menikah dengannya. Astaga hal ini membuatku kepalaku menjadi sakit," keluh Lexi seraya memegang kepalanya frustasi.
"Bodo deh, pikiran besok lagi saja. Lebih baik sekarang aku menenangkan pikiran dan tidur."
Sebelum pergi ke kamar, Lexi terlebih dahulu membersihkan meja dari bekas makanan dirinya dan Ben tadi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya, karena mereka hanya memakan makanan ringan dan beberapa minuman soda.
Lexi hanya perlu mengumpulkan bekas kemasan dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian membersihkan meja dengan lap. Setelah beres, Lexi dengan langkah ringan baru dapat masuk ke dalam kamarnya dan berbaring dengan nyaman.
Dia tidak suka dengan rumah yang berantakan dan sampah yang berserakan. Atau lebih tepatnya Lexi memang sangat mencintai kebersihan. Dia selalu membersihkan rumah ketika malam sebelum tidur.
Hal ini sudah menjadi suatu kebiasaan bagi Lexi semenjak dia tinggal sendirian. Rasanya sangat menyebalkan ketika terbangun di pagi hari, kemudian mendapati rumah yang sangat berantakan. Lexi sangat membenci hal ini.
Maka dari itu dia selalu membiasakan dirinya membersihkan rumah sebelum tidur, dengan begitu ketika dirinya bangun di pagi hari Lexi sudah di suguhkan dengan kondisi rumah yang sangat bersih dan rapi.
Hal ini sangat mempengaruhi perasaannya di pagi hari, melihat rumah yang sangat tertata sambil menatap keindahan alam di pagi hari. Dengan langit biru dan matahari yang terik tapi sangat menyehatkan untuk tubuh.
Embun yang membuat pegangan pagar balkon dan tanaman hias yang miliki nya menjadi basah, adalah hal lain yang sangat Lexi sukai untuk di lihat ketika pagi hari. Udara yang segar dengan suara kicauan burung dan suara orang yang sudah memulai kegiatan mereka di pagi hari, sudah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi Lexi.
Dia merasa jika dirinya menjadi hidup dan mengumpulkan nyawanya dengan baik. Dengan memikirkannya saja sudah membuat hati Lexi menjadi berbunga seperti tanaman di musim semi.
"Baiklah, mari tidur dengan tenang dan nyenyak. Lalu, terbangun dengan pikiran yang lebih jernih untuk menghadapi kehidupan yang rumit di bumi esok hari," ujar Lexi pada dirinya sendiri.
Berbicara dengan diri sendiri seperti ini juga menjadi salah satu kebiasaan aneh yang di miliki oleh Lexi. Meskipun Lexi tidak menganggapnya sebagai hal yang aneh, dia menganggap jika berbicara dengan diri sendiri adalah suatu hal yang sangat wajar.
Bagaimanapun juga, kita harus mengenal diri sendiri di bandingkan dengan orang lian. Bukankah akan sangat menyeramkan ketika orang lain lebih mengenal diri kita, di bandingkan dengan diri kita sendiri.
Dengan membayangkan nya saja sudah membuat bulu kuduk di tubuh Lexi merinding sendiri. Perempuan itu mengambil selimut yang berada di bawah kakinya, kemudian menariknya hingga sampai se-atas dada.
Lalu mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur dengan warna kekuningan yang lebih nyaman bagi mata ketika tidur. Lexi memejamkan mata setelah sebelumnya melafalkan doa tidur, agar tidak di berikan sebuah mimpi buruk malam ini.
Dia sudah terlalu banyak pikiran, jadi Lexi berharap jika dia mendapatkan mimpi yang indah. Lalu dengan begitu Lexi dapat melupakan masalah duniawi selama sejenak. Kemudian terbangun di pagi hari dengan pikiran dan hati yang lebih bahagia, dengan begitu dia dapat menghadapi kenyataan yang harus di hadapi nya besok.
Yaitu, memberikan jawaban atas tawaran atau dapatkah dia menyebutnya sebagai sebuah lamaran dari Ben.