"Jadi? Apa yang ingin kalian bicarakan dengan Ibu dan Ayah?" tanya Ibu saat Ben pulang bersama dengan Lexi malam ini.
Kedua orang itu terlihat sangat gugup untuk berbicara dengan Ibu dan Ayah, meski yang lebih menonjol dan terlihat dengan mata telanjang adalah Lexi. Sedangkan, Ben terlihat sedikit lebih santai di bandingkan dengan perempuan itu.
Kedua orang tua Ben menunggu Lexi dan Ben untuk berbicara, saat ini mereka berempat sedang berada di ruang keluarga rumah kedua orang tua Ben. Tadi sore Ben menghubungi Ibu dan mengatakan jika dia akan datang sore ini bersama dengan Lexi, mereka ingin membicarakan sesuatu dengan mereka.
Sebenarnya, Ibu mempunyai dugaan di dalam hatinya tentang Ben dan Lexi. Namun dia menahan dirinya dan tidak ingin berbahagia terlalu dini, sebelum dia mendengar dengan kedua telinganya sendiri tentang berita bahagia itu.
Dia tidak akan bersikap berlebihan, meski dirinya saat ini menatap dengan penuh harap pada Ben dan Lexi yang duduk berhadapan dengannya saat ini.
"Ibu, aku dan Lexi akan menikah dalam waktu dekat." Tanpa berbasa-basi Ben langsung mengatakan keinginannya bersama dengan Lexi di depan kedua orang tuanya.
"Hah?" ujar Ibu dan Ayah bersamaan.
Mereka terkejut dengan berita yang mendadak ini, meski keduanya juga sudah mengharapkan perkembangan hubungan antara Lexi dan Ben sejak lama. Tapi, rasanya berita ini terlalu membuat mereka terkejut dan tidak percaya.
"Aku akan menikah dengan Lexi dalam waktu dekat." Ben kembali mengulangi perkataannya saat dia melihat kedua orang tuanya diam membeku setelah mendengar ucapannya.
"Benarkah?" tanya Ibu dengan mata berbinar menatap Lexi dan Ben, berharap jika hal yang baru saja dia dengar dari mulut Ben adalah nyata dan bukan mimpi semata.
"Ya, Ibu."
"Ibu, ini bukan mimpi ini adalah kenyataan." Ayah menyadarkan Ibu seolah dapat membaca pikiran istrinya saat ini.
"Kalian berdua benar-benar akan menikah, benar begitu Lexi." Ibu berdiri dan pindah tempat duduk di sebelah Lexi, membuat gadis itu cukup terkejut dengan tingkah calon mertuanya.
Calon mertua? Bisakah sekarang Lexi menggunakan nama itu mulai sekarang dalam menyebut kedua orang Ben.
"Iya, Tante Harum," balas Lea dengan gugup.
"Sekarang kamu jangan memanggil Tante, panggil Ibu seperti Ben." Paksa Ibu agar Lea mengubah nama panggilannya mulai sekarang.
"Iya, Tan―Ibu."
"Tidak apa kamu tidak perlu merasa gugup seperti itu, karena sebentar lagi kamu akan menjadi menantu Ibu. Lama-kelamaan kamu juga akan terbiasa dengan panggilan Ibu."
"Jika kamu memanggil Tante Harum dengan sebutan Ibu, maka kamu juga harus memanggil Om dengan sebutan Ayah mulai sekarang, Lexi." Ayah yang tidak mau kalah, juga menginginkan Lexi mengubah panggilannya kepadanya.
"Baik, Ayah." Lexi tersenyum senang, dia tahu jika keluarga Ben akan menerimanya dengan baik.
Hubungan persahabatan mereka berdua yang berjalan selama belasan tahun, membuat Lexi mengenal baik keluarga Ben begitu juga dengan sebaliknya. Rasa canggung yang dia rasakan ketika awal menginjakkan kakinya di rumah Ben meluap perlahan karena sikap hangat kedua orang tuanya.
"Jadi, kapan kalian akan menikah."
"Aku sudah membicarakannya dengan Lexi, dua bulan dari sekarang kita akan menikah." Sebelum datang ke rumah kedua orang tuanya dan memperkenalkan Lexi sebagai calon istrinya tidak lagi menjadi sahabat Ben yang mereka kenal selama ini.
Keduanya sudah memutuskan jika mereka akan menikah dalam waktu dua bulan dari sekarang, kedengarannya memang terlalu cepat. Tapi untuk Ben dan Lexi yang sudah mengenal satu sama lain dalam waktu yang sangat lama.
Itu tidak seberapa untuk mereka berdua, lagi pula mereka sudah memiliki keyakinan antara satu sama lain. Mereka hanya perlu menyiapkan pernikahan dengan baik saja setelah ini, dengan begitu keduanya akan segera meresmikan hubungan menurut negara dan agama.
Usia keduanya juga sudah sangat dewasa dan matang, berada di kepala tiga seperti sekarang. Mereka berdua juga tidak ingin menunda terlalu lama untuk mempunyai anak, karena usia keduanya apalagi dengan usia Lexi.
Akan tidak baik jika Lexi hamil nantinya dalam usia yang sangat dewasa, hal ini akan menimbulkan bahaya kehamilan di usianya. Ben tidak ingin membahayakan Lexi dan juga calon anaknya nanti.
"Bagus, jika kalian sudah memutuskannya seperti itu. Memang benar, pernikahan kalian harus segera di laksanakan mengingat usia kalian berdua, tidak baik jika terus menunda," ujar Ibu.
"Itu juga yang aku dan Lexi pikirkan, Bu."
Ayah memandang Lexi yang sedari tadi diam dan tidak banyak berbicara, gadis itu juga duduk dengan sangat sopan di depan mereka. Membuatnya tidak bisa menahan rasa menggelitik di perutnya.
"Kenapa Ayah tertawa seperti itu?" tanya Ibu heran melihat Ayah yang tiba-tiba saja tertawa ketika mereka semua sedang berbicara serius tentang pernikahan Ben dan Lexi.
"Tidak ada, Ayah hanya merasa lucu saja. Lexi bukankah hari ini kamu menjadi sangat pendiam, kenapa kamu terlihat sangat begitu gugup," ledek Ayah membuat wajah Lexi seketika menjadi memerah.
Biasanya ketika Lexi datang ke rumah Ben, dia akan datang dengan wajah ceria dan menyapa kedua orang tua Ben dengan penuh senyuman. Lexi juga akan bercerita banyak hal kepada mereka berdua tentang kesehariannya menjadi seorang dokter, tidak jarang Lexi juga suka mengeluh tentang betapa lelahnya bekerja dalam bidang medis.
Tapi hari ini anak itu menjadi sangat pendiam dan tidak banyak berbicara, justru Ben yang biasanya tidak banyak bicara malah terlihat seperti juru bicara Lexi. Mereka berdua seperti sedang bertukar kepribadian.
"Om—maksud aku Ayah. Saat ini aku sedang menjaga image yang baik sebagai calon menantu kalian. Jangan meledek aku seperti itu, aku benar-benar sangat gugup sekarang." Lexi berterus terang dengan wajah cemberut yang membuatnya terlihat sangat imut.
Meski memiliki usia kepala tiga, Lexi masih dapat terlihat imut dan lebih muda di bandingkan dengan para wanita yang memiliki usia sama dengannya. Sikapnya membuat Ibu, Ayah, dan Ben tertawa keras setelah melihat wajah penuh keluhan Lexi.
"Lihatlah, sekarang kalian mentertawakan aku." Lexi mengambil tangan Ibu yang berada di sebelahnya dan menyembunyikan wajahnya di balik bahu perempuan paruh baya tersebut untuk menutupi rasa malunya.
Sebenarnya, Ibu sendiri juga tertawa tapi dia menahan diri untuk tidak mengeluarkannya di depan Lexi. Saat melihat Lexi yang menyembunyikan wajahnya di bahunya, Ibu berdehem sebentar untuk menormalkan tenggorokan nya dan tidak tergoda untuk tertawa seperti Ben dan Ayah.
"Ayah, Ben, berhentilah tertawa. Kalian membuat malu calon menantu Ibu yang cantik dan imut ini."
Lexi mengangkat sedikit wajahnya dan menatap Ibu mertua yang membela dirinya, "Ibu marahi mereka, aku sangat malu saat ini," bisik Lexi dengan suara pelan, meski sebenarnya hal ini tidak berpengaruh sama sekali karena baik Ben dan Ayah masih dapat mendengar suaranya dengan baik meski samar-samar.
"Ya, kamu tenang saja Ibu akan memarahi Ben dan Ayah. Hingga mereka kapok dan tidak akan mentertawakan kamu lagi."