"HAHAHA... kau lihat seperti apa reaksi yang diberikan oleh Belania, bukan? Dia melongo seperti orang bodoh!"
Suara tawa Keke masih terdengar sangat kencang. Mereka masih berada di Morning Cafe, namun Belania dan Avilia sudah beralih ke meja yang lain untuk membahas pekerjaan mereka.
"Jangan ditertawai lagi, Keke. Kau terlihat begitu sombong."
"Aku bukannya sombong, tapi aku merasa senang melihat orang sombong bungkam karena kesombongannya sendiri." Keke menyesap minumannya hingga tandas, wanita itu memperhatikan Bela di meja yang hanya berjarak beberapa meter saja dari mereka.
"Aku tidak suka karena wanita itu terus merendahkanmu, Lusi. Jika kau keberatan untuk menertawainya, maka aku yang mewakilkanmu." Tatapannya masih menatap ke orang yang sama, sembari tangan kanan Keke memainkan sedotan di dalam gelas.
"Huh... aku sudah cukup puas dengan hasil yang didapatkan saat ini. Mungkin Bela bisa menarik Eco Publisher, tapi aku bisa menarik Creatif Publisher."
"Kau benar. Maka berbanggalah dengan dirimu sendiri."
Sudah bertahun-tahun hubungan Lusi dan Bela selalu bertentangan. Jika mengingat tiga tahun ke belakang, di mana pertama kali mereka saling mengenal, Bela sangat baik terhadapnya.
Mereka sering mengadakan pertemuan hanya untuk sekadar berbincang atau berbagi pengetahuan. Dulu Belania adalah seniornya yang sangat baik hati dan mengajarkan banyak hal pada Lusi.
Entah apa yang terjadi di tahun berikutnya, Belania tiba-tiba menjauhi Lusi dan selalu merasa bahwa mereka berdua adalah pesaing. Padahal sudah jelas, cerita yang mereka tulis sangat berbeda jauh. Jadi, apa yang harus Bela iri kan terhadapnya?
"Lusi!"
Tubuh Lusi terperanjat kaget. Wanita itu memegangi dadanya dan menatap Keke galak. "Mengapa kau mengagetkanku?" tanya Lusi dengan nada sedikit kesal.
"Kau melamun? Aku sedari tadi memanggilmu." Harusnya Keke tidak heran lagi dengan sikap Lusi yang selalu tiba-tiba melamun dan mengabaikan orang di sekitarnya.
"Maaf. Aku mungkin sedikit kelelahan," ucap Lusi, sembari mengusap tengkuknya.
"Ingin pulang sekarang?"
Lusi mengangguk pelan. Dia mulai merapikan semua barang bawaan keperluan meeting tadi. Kepalanya menoleh ke samping kanan dan melihat Belania yang masih berbincang dengan Avilia.
Sejujurnya Lusi sangat merindukan wanita itu. Namun sepertinya tidak akan bisa kembali seperti dulu. Bagaimana pun juga, Bela selalu menganggap bahwa di antara mereka tidak pernah ada hubungan dengan apalagi spesial.
"Ayo."
Lusi tersadar dan mengangguk. Mereka berdua keluar dari kafe tersebut dan berdiri di depan pintu keluar.
"Kenapa?" Keke menoleh. Kepala Lusi tiba-tiba mendongak menatap langit.
"Kenapa cuaca hari ini panas sekali, Keke?"
"Sudah tahu panas, mengapa kau malah mendongak, huh?"
Cengiran di bibir Lusi membuat Keke membeliakkan mata. "Ayo pulang. Aku harus membuat pengumuman online untukmu."
Kedua mata Lusi terbuka lebar. Dia memegang kedua bahu Keke dan menggerakkannya berulang kali.
"Kau serius?" tanya Lusi sangat antusias. Akhirnya, setelah sekian lama ia menunggu persetujuan Keke.
"Hm. Tapi aku tidak akan memublikasikannya terlebih dahulu, sebelum bukumu benar-benar terbit."
Seperti kambing yang sudah dicocoki Lusi mengangguk cepat. Lengannya sudah merangkul lengan Keke dan menyandarkan kepala di bahu kanan wanita itu.
"Jangan seperti ini. Kau bukan putriku!"
"Tapi aku ingin menjadi putrimu!"
Keke memutar bola matanya malas. Dia melangkahkan kaki sambil membawa Lusi di sampingnya.
"Aku akan membuat satu contoh, dan nanti akan kuberikan padamu lebih dulu."
***
"Arkan, apa kau tidak ingin melihat karya tulisku?"
"Tidak."
"Tapi aku sudah membuatnya selama dua hari. Paling tidak, kau bisa melihatnya beberapa lembar."
Arkan menutup buku dan menatap pada gadis yang sedang berdiri sembari merengek di depannya.
"Itu tugasmu. Seharusnya kau memperlihatkannya kepada dosen, bukan padaku." Wajah Arkan sangat dingin. Pria si irit bicara itu memang jarang atau bahkan tidak pernah ramah pada orang yang tidak dekat dengannya.
"Tapi kau mahasiswa paling pintar di jurusan ini. Aku hanya ingin kau sedikit mengoreksi sebelum aku menyerahkannya pada dosen."
"Baik. Kalau begitu berikan padaku."
Gadis itu menyerahkan tugas karya tulisnya pada Arkan dengan senang hati. Karena dengan begitu, ia bisa berlama-lama menatap wajah tampan Arkan dari jarak yang sangat dekat.
"Eh, mengapa kau mencoret di banyak tempat, Arkan?" kedua mata gadis itu melebar, tatkala melihat Arkan mencoret karyanya dengan pulpen dengan tinta berwarna merah.
"Kau yang memintaku untuk mengoreksi. Ada masalah?" Arkan mendongak dan menatap wajah gadis yang tengah meringis pelan di depannya. "Sudahlah, kau bawa saja karyamu ini. Mungkin dosen bisa memberi toleransi pada karyamu ini."
"Tidak. Biar kau saja yang memeriksanya."
Tanpa mengangguk atau pun menggeleng, Arkan kembali memeriksa tugas orang lain yang ada di tangannya. Membuka lembar demi lembar dan memberi tanda merah di setiap lembarnya.
"Ar, apa separah itu?" gadis itu hampir menangis ketika menyaksikan karyanya yang habis di tangan Arkan.
"Woah... Arkan, apa yang kau lakukan pada Eflin?"
Bahkan Jevon yang barus saja tiba langsung terperangah melihat kekejaman Arkan yang mencoret tugas Eflin dengan kejam.
"Aku tidak melakukan apa pun. Dia hanya memintaku untuk mengoreksi tugasnya.
"Eflin, apa kau sudah gila? Kenapa kau harus meminta Arkan?"
Eflin menggaruk telinganya yang memerah. "Aku... aku hanya ingin hasil karya tulis ilmiahku berjalan sempurna sebelum diberikan pada dosen."
"Kau salah memilih orang. Lihat sekarang, bahkan Arkan tidak menyisakan tugasmu dengan baik."
Eflin menatap nanar pada tugasnya yang sudah dicoret habis oleh Arkan. Di setiap lembarnya hampir berisi tinta merah yang di maba artinya dia harus membuat ulang tugas tersebut.
"Hanya tersisa dua lembar yang memenuhi standar." Arkan membuka suara sambil menyodorkan tugas tersebut kepada si pemilik.
"Seperah itu, Ar?" tanya Jevon tidak percaya.
"Periksa saja olehmu sendiri. Aku tidak mungkin membuang pekerjaan yang benar." Arkan beranjak dan meninggalkan dua temannya yang masih mematung.
"Jev, apa Arkan bukan manusia?"
***
"Bagaimana dengan yang ini?"
"Apa seperti ini bisa disebut sebuah pengumuman?"
Keke menghela napas pasrah dan menjatuhkan kepalanya di atas keyboard. "Ini sudah revisi yang ke sepuluh, Lusi. Apa kau tidak kasihan padaku?"
"Kau yang sejak awal menyanggupinya. Kalau begitu, biar aku memebelikanmu secangkir kopi, bagaimana?"
"Jangan lupa dengan kentang goreng kesukaanku," jawab Keke menambahkan menu yang ditawarkan.
"Baik. Kau tunggu di sini, aku akan membelinya."
"Eh, kau tidak ingin memesan online saja?"
"Tidak. Aku ingin sekalian berjalan-jalan, lagi pula sudah sore, pasti sudah tidak terlalu panas."
"Terserah kau saja. Aku hanya ingin menenangkan otak sejenak."
Lusi meraih tas selempang miliknya di atas sofa. Ia bergegas keluar rumah dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di lantai dasar.
"Lusi."
Hampir saja tubuh Lusi terjengkang karena terkejut oleh panggilan seorang pria dengan suara ngebass nya.
"Arkan. Kau membuatku terkejut," ucap Lusi sambil mengusap dada.
"Maaf. Kau mau ke mana?"
"Aku ingin membeli minuman untuk Keke. Dia sedang mengerjakan sesuatu untukku."
"Karya baru, kah?"