Desas desus tentang kedatangan Loucy di Andalanesia University sudah menyebar hingga ke seluruh fakultas. Tidak heran jika Arkan saat ini tengah berjalan dengan langkah terburu-buru melewati lorong gedung Fakultas Bahasa dan Sastra, hanya untuk melihat pengumuman resmi yang katanya sudah terpajang di papan pengumuman.
Perasaan Arkan ketika mendengar hal tersebut cukup diserang keterkejutan. Pasalnya, sudah beberapa hari dia dan Lusi tidak bertemu. Lusi dan Keke selalu pergi bekerja di pagi hari dan akan kembali larut malam. Bertolak belakang dengan kegiatan Arkan sehari-harinya.
Mengapa bisa begitu? Karena Arkan selalu mengandalkan sebuah kebetulan untuk bertemu dengan gadis incarannya. Ingat ya, masih gadis incaran, belum merambah ke calon kekasih.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi kedua kaki Arkan yang jenjang, pria itu hanya perlu belok ke arah kanan dan langsung berhadapan dengan papan pengumuman terpenting sepanjang hidupnya.
"Permisi." Pria itu menginterupsi beberapa orang yang menutupi layar tersebut. Arkan menyelinap maju, bola matanya mengedar dan mencari apa yang dia tuju.
"Ini dia." Wajahnya langsung terfokus pada sebuah poster pengumuman yang paling besar dan bertuliskan berita utama di atasnya.
Kedua sudut bibirnya tertarik, tidak seperti biasanya. Nama Loucy terpampang di sana, dengan menggunakan huruf kapital sebagai pembeda sekaligus petunjuk.
"Ternyata wanita itu benar-benar akan datang. Ini waktunya untuk membuktikan, apakah mereka orang yang sama atau bukan."
Arkan kembali berbalik menuju laboratorium bahasa yang dia tinggalkan secara tiba-tiba. Ya, Arkan dan Jevon selalu berada di sana untuk melakukan praktik membedah beberapa buku novel dengan jumlah ratusan bab atau bahkan ribuan.
Wajahnya kembali berubah datar, padahal tadi kedua sudut bibirnya sudah memperlihatkan senyuman indah namun sangat langka dan hampir tidak pernah diperlihatkan kepada orang-orang, kecuali Jevon.
"Bagaimana? Sudah melihat pengumumannya?"
"Hm."
Jevon menutup buku yang tengah ia baca dan mengangkat wajah memperhatikan Arkan. "Menurutmu, kenapa Loucy datang ke kampus kita? Apa dia alumni?"
"Aku tidak tahu. Yang terpenting, aku bisa melihatnya secara langsung." Arkan menekan tombol power dan siap mendengarkan materi listening untuk melatih kemajuan Bahasa Asingnya.
Di lab tersebut terdapat beberapa audio dan contoh visual. Lebih tepatnya, sudah seperti perpustakaan ditambah dengan beberapa audio untuk melakukan listening yang akan melatih mereka mengucapkan bahasa asing.
Di sana seluruh mahasiswa yang masuk ke dalam jurusan tersebut bisa menikmati praktik latihan mandiri. Maksudnya, mereka dibebaskan untuk menggunakan ruangan tersebut. Salah satu contohnya adalah Jevon dan Arkan.
Kedua teman sejawat itu sangat rajin berdiam diri di dalam sana hanya untuk sekadar membaca buku atau mendengarkan audio untuk melatih bahasa asing mereka.
Jevon lebih tertarik membaca buku komik yang juga disediakan di dalamnya. Apa gunanya buku-buku tersebut? Fakultas Bahasa juga dikenal sebagai Fakultas Kepenulisan. Jadi, mahasiswa dari fakultas lain menganggap bahwa orang yang berada di lingkungan tersebut akan menjadi seorang penulis puisi dan novel di masa depan.
Arkan memberi pendapat yang berbeda untuk orang-orang seperti ini. Dia memilih jurusan Bahasa karena ingin melatih public speaking atau berinteraksi dengan orang-orang disekitar agar tetap menggunakan adab dan kaidah yang berlaku.
Seperti saat ini. Arkan tengah fokus menonton sebuah vidio yang memperlihatkan cara orang yang melakukan public speaking dengan tata Krama sesuai standar.
"Kau sudah menontonnya berulang kali. Apa perlu diulang lagi?"
Arkan tidak menggubris sedikit pun. Entah karena headphone yang menutup kedua lubang telinganya, atau memang karena dia malas menanggapi Jevon.
"Ar, kau sudah sering menonton cara berinteraksi sosial. Tapi mengapa kau tetap menjadi orang pendiam, yang bahkan enggan hanya untuk bertanya pada orang lain?"
Arkan menyerah. Dia langsung melepas headphone dan menekan tombol pause. Lalu menoleh pada Jevon di samping.
"Karena aku tidak ingin membicarakan hal yang tidak penting."
Jevon menyengir lebar. Seharusnya dia tidak bertanya tentang hal seperti itu pada Arkan, karena akan berakhir percuma.
"Kau menonton video tersebut agar bisa mengajak Loucy berbincang?"
"Tidak. Kalau hanya mengobrol dengan Loucy, mengapa aku harus menonton seperti ini lebih dulu?"
Jevon menarik kursi dan mendekati Arkan. "Dia adalah seorang penulis. Apa kau pernah berpikir, bahwa orang yang berada di bidang tersebut pasti menggunakan bahasa yang baku dan benar. Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia."
Arkan tertawa pelan. Bagi Jevon itu adalah hal biasa dan sering dia lihat. Tapi coba saja Arkan keluar ruangan, lalu tertawa di sepanjang koridor. Pasti semua gadis akan mendekat dan berteriak histeris.
Arkan dan seluruh bagiannya yang tak terlihat selalu menjadi pion bagi para gadis yang tergabung dalam klub penggemar berat Arkan.
Jevon memang pernah mendengar klub tersebut dari salah satu teman di kamar asramanya. Dia menceritakan pada Jevon, bahwa gadis di seluruh fakultas membuat satu kumpulan sebagai tanda rasa suka mereka pada Arkan. Bahkan mereka juga sering bertukar informasi serta membagikan foto-foto Arkan yang diambil secara diam-diam.
"Penulis juga manusia biasa, Jev. Mereka tidak setiap hari berbicara seperti apa yang dituangkan di dalam buku."
Jevon menatap wajah Arkan menyelidik, membuat pria itu merasa risih dan mendorong wajah Jevon dengan tangannya. "Jangan menatapku seperti itu!"
"Dari mana kau tahu, bahwa mereka tidak seperti apa yang aku katakan?"
"Karena aku sering mengobrol dengan mereka."
"APA?"
***
Jam kuliah Arkan sudah berakhir. Pria itu tengah berjalan keluar gerbang dan berpisah dengan Jevon.
Sebenarnya Jevon sudah menawarkan Arkan untuk kembali tinggal di asrama mereka. Namun Arkan menolaknya dengan halus. Jevon pernah menggoda Arkan yang mengatakan bahwa pria itu sudah kelebihan uang dan memilih tinggal di apartemen.
Namun Arkan menyangkal tuduhan tidak benar itu. Arkan hanya tidak suka berbaur dengan orang asing. Apalagi kumpulan pria lajang itu sangat tidak suka kebersihan. Hampir setiap hari Arkan mencium bau kaus kaki yang tidak sedap dan menyebabkan hidungnya alergi.
Baru saja dia berdiri di depan halte, sebuah bus yang biasa mengantarnya pulang dan pergi sudah berhenti tepat di depan dirinya. Arkan memasuki bus tersebut dan mendapat kursi kosong di barisan paling belakang.
"Permisi, apa tidak ada kursi yang kosong lagi?"
Suara seorang wanita membuat Arkan menoleh. Dia melihat wanita itu tengah membawa perut besar. Buru-buru Arkan bangkit dan memberikan kursi pada wanita tersebut.
"Silakan, Bu," ucap Arkan dengan sopan.
"Terima kasih."
Arkan tersenyum sesaat dan berdiri tidak jauh dari sana. Tangan kanannya memegang tiang penyangga khusus para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk.
Di halte depan bus berhenti. Arkan segera turun dan berjalan menuju gedung apartemennya.
Dari kejauhan matanya memicing. Arkan melihat Lusi dan Keke yang baru saja keluar dengan langkah terburu-buru. Dia mencoba mengejar, namun terlambat. Kedua wanita itu sudah menaiki taksi berplat D ke arah pusat kota.
"Mau ke mana mereka? Bekerja di sore hari?"