Saat kembali ke kamarnya, Sakamoto termenung, dengan apa yang baru saja dia alami. Begitu banyak rasa sakit di bagian tubuhnya, serta kenangan pahit yang sulit untuk dihilangkan dari ingatan.
"Huh… rasanya aku ingin sekali mati!"
Sunyi senyap yang sangat mencengkam, menjadi teman untuk Sakamoto merenung, akan nasibnya yang begitu pilu.
Semua hal yang baru saja terjadi sangat sulit dia lupakan, hingga matanya menutup dan hanyut dalam buaian mimpi.
…
"Huah!" Sakamoto langsung bangun dengan wajah terkejut, dadanya berdetak dengan cepat. "Apa itu tadi?" Sebuah mimpi buruk bagaikan kenyataan yang sedang dia alami.
Sakamoto terdiam dengan mata yang melotot, mimpi itu seolah sangat nyata, dia melihat serangkaian peristiwa yang belum pernah dia alami.
Cahaya fajar menghangatkan tubuhnya, hingga meredam rasa gelisah dengan sangat cepat. Perlahan napas Sakamoto mulai bisa teratur kembali.
Sakamoto menatap mentari yang baru saja, terbit. Dirinya masih mengingat peristiwa aneh yang muncul di dalam mimpinya.
Setelah itu Sakamoto mulai kembali ke sekolah yang merupakan tempat neraka bagi dirinya. Dadanya tiba-tuba berdetak lebih cepat daripada biasanya saat berada di depan bangunan sekolah.
"Apa ini? Kenapa tubuhku seakan tidak mau masuk ke dalam bangunan sekolah! Bukankah selama ini aku sudah terbiasa akan menerima cacian dan hinaan dari setiap orang? Tapi… kenapa!"
Dia tidak bisa mengkontrol rasa gelisah yang terus bermekaran di dalam hatinya, kakinya mati rasa disertai getaran hebat yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Tidak! Apapun yang terjadi aku harus maju, meski rasa sakit kembali harus aku rasakan." Dengan gagah berani Sakamoto mulai melangkah menuju kelasnya, setiap langkah tubuhnya semakin berat.
Saat hendak masuk ke dalam ruangan kelas, Sakamoto menundukkan pandangannya, dia tidak sanggup untuk melihat tatapan mata yang selalu saja merendahkan dirinya.
Ketika berjalan menuju mejanya, Sakamoto terdiam dengan pandangan mata menatap meja. Begitu banyak coretan yang terukir di atasnya. Kata-kata seperti lemah, cupu, cengeng, anak lugu, dan pecundang mewarnai meja yang awalnya bersih.
Seorang anak laki-laki dengan sengaja menyenggol tubuh Sakamoto. "Maaf!"
"Heahahahaha!"
Lalu semua anak di dalam kelas tertawa, setelah melihat Sakamoto terkena tumpahan air minum yang dijatuhkan oleh anak laki-laki tadi.
"Apa yang lucu?" Wajah itu membuat dirinya benar-benar muak. "Apa yang namanya sekolah unggulan? Kalau penghuninya hanya makhluk hina yang selalu saja, memberikan hal buruk kepada orang lain." Tangan mengepal dengan kuat, gigi merapat disertai alis yang meruncing.
Sakamoto sudah siap untuk melepaskan seluruh amarah yang selama ini bersarang dalam hatinya. "Apakah memang seperti ini hidup itu? Apakah keadilan hanya kata-kata manis?"
"Diam semuanya!"
Tidak berapa lama guru masuk ke dalam ruangan, seluruh anak murid di sana langsung terdiam.
Guru itu melihat Sakamoto yang masih berdiri dengan pandangan mata tertunduk.
"Sakamoto ada apa?" Guru itu berinisiatif untuk mendekati Sakamoto, anak itu seperti sebuah patung yang tidak bernyawa. "Huuuh?" Sungguh mengejutkan dirinya, melihat meja yang penuh dengan coretan dan pakaian Sakamoto yang berlumuran air. Air itu mengeluarkan bau yang tidak enak, guru tersebut langsung menutup hidup.
"Kenapa dengan dirimu Sakamoto? Kau jorok sekali!"
Tidak ada jawaban dari Sakamoto, hanya sebuah diam membisu.
"Iya dari tadi kami mencium bau yang tidak enak, sejak Sakamoto masuk. Mulut kami hampir muntah saat mencium baunya."
"Heahahaha."
Sebuah kebohongan yang sengaja dilontarkan untuk memojokkan Sakamoto.
"Tidak, itu bukan salahku. Bau ini dari orang tadi!" ucap Sakamoto dari dalam hatinya.
"Diam kalian!" bentak guru perempuan itu. Sikap anak-anak di kelasnya benar-benar tidak bermoral sama sekali. "Sakamoto! Ibu tidak mau tahu, sekarang kau pergi ke toilet dan ganti pakaian yang ada di dalam lokermu!"
Sakamoto lalu pergi tanpa menjawab, matanya masih tertunduk. Semua orang yang mencium bau busuk yang menyebar dari tubuhnya, langsung menghindar.
…
"Brack!"
Tinju merupakan wujud kesal dari perasaannya Sakamoto lakukan di depan loker.
"Kenapa aku selalu mendapatkan perlakuan tidak pantas!" Luapan emosi di dalam tubuh Sakamoto bagaikan air mendidih.
"Apakah kau menginginkan kekuatan?"
"UH?"
Suara aneh dan misterius tiba-tiba berdengung di telinganya.
"Siapa itu?"
"Hehehehe… apakah kau lupa? Dengan perjanjian kita kemarin?"
"Uh!"
Otak membawa Sakamoto ke ingatan kemarin.
***
"Apa yang kau lihat dari masa depanku?" Itu adalah pertanyaan dari Sakamoto kemarin, ketika momen dirinya menunggu sebuah jawaban takdir yang mungkin ada sebuah keajaiban di masa depannya.
"Kau akan mengalami serangkaian masalah, yang tidak akan kunjung selesai."
Mata Sakamoto langsung melotot, keringat mengucur deras. "Apakah tidak akan ada kebaikan di masa depan yang bisa aku temui."
"Sayangnya, tidak ada! Kau memiliki kegelapan takdir yang luar biasa. Bahkan aku sendiri saja merinding ketika melihat masa depanmu. Gelap dan sanga pekat, sebuah gambaran dari apa yang aku lihat di dalam dirimu."
"Jadi begitu ya!" Mata Sakamoto menjadi layu. "Tapi aku percaya kalau takdir itu akan memberikan keajaiban, dan hanya waktu yang akan memberikan jawaban!" Raut wajahnya dipaksa untuk tersenyum, namun sorotan matanya menandakan kesedihan yang mendalam.
Orang berjubah itu sedikit terkejut melihat sikap Sakamoto yang masih tegar meski sudah mengetahui nasib di masa depan.
"Apakah kau yakin kalau sebuah kebaikan akan datang?"
"Entahlah, tapi kata kakek. Sebuah keajaiban akan datang dan menyelamatkanmu. Tetaplah menjadi orang yang bisa tersenyum saat melihat masa depan." Ungkapan yang begitu indah, dari ingatan masa lalu, kenyataannya Sakamoto sudah kehilangan senyum di wajahnya.
"Dengar, berhentilah untuk hidup di dalam sebuah khayalan semata. Semua yang kau bayangkan itu tidak akan pernah terjadi, meski kau berusaha keras untuk menggapainya."
Lontaran kata-kata pesimis yang semakin menjatuhkan mental Sakamoto, telah terdengar. Sakamoto tidak bisa menyangkal ucapan orang itu, karena memang dirinya sanga bimbang. Dia tidak pernah memikirkan masa depan yang lebih baik, baginya hari-hari yang telah dilewati terasa seperti neraka.
"Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk mengubah nasib ini? Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Di sekolah aku selalu mendapatkan hinaan dan cacian. Aku tidak memiliki kekuatan untuk melawannya."
"Apakah kau mau mengubah nasibmu?"
Tawaran dengan nada berat, suasana menjadi sunyi senyap yang mencengkam. Tubuh Sakamoto langsung merinding.
"Aku masih bisa mengubah nasib yang bagaikan neraka ini?" Sebuah tatapan harapan terpancar jelas di mata Sakamoto.
"Ya!" jawab orang berjubah itu dengan senyuman dingin di wajahnya. "Tapi bukan kebahagiaan yang bisa aku berikan, melainkan sebuah kekuatan yang bisa menghancurkan semua orang yang telah membuat dirimu menjadi pilu menjalani hidup ini."
Sakamoto terdiam, lalu dia merenung. Semua ingatan itu kembali terputar di dalam kepalanya.
"Jikalau kau memang menginginkan hal tersebut, aku akan membantu dirimu!" lanjut orang berjubah itu.
__To Be Continued__