Nyatanya di tempat yang harusnya tidak membuat orang nyaman, justru sebaliknya, Alice sangat menyukai tempat itu.
Dia dapat merasakan ketenangan di sini.
Tidak ada lagi mimpi buruk, tidak ada lagi bayangn Sea, atau pun bayangan Clara.
Rumah Sakit Jiwa adalah tempat paling tenang bagi Alice.
"Ya sudah, kalau begitu kami puang dulu ya, Alice. Besok kami akan menjengukmu," kata Bella.
"Iya, Alice. Besok aku akan membawakanmu sandwich lagi," ujar Felix.
"Terima kasih" kata Alice.
Kemudian Bella dan Felix pun kembali beranjak pergi, namun Alice meraih tangan Felix.
"Ada apa?" tanya Felix sambil menoleh.
"Sekali lagi terima kasih ya, Felix." Alice pun menangis.
"Kenapa kamu menangis?" Felix menyeka butiran bening itu.
"Aku hanya tidak menyangka, kamu masih bertahan hingga kini, Felix. Padahal aku ini wanita yang menyeramkan!" kata Alice.
"Kau ini bilang apa, Alice?" Felix memegang wajah wanita itu dengan kedua tangannya, "bagiku kau ini tetap wanita baik-baik!" tegas Felix.
"Tapi, kata orang aku ini pembunuh, Felix! Lalu apa bedanya aku dengan Sea?"
"Ssst... jangn bicara seperti itu, Alice. Kau dan Sea itu dua orang yang berbeda! Kalian tidak bisa disamakkan! Sea itu Iblis! Dan kau seorang Malaikat!" tegas Felix meyakinkan Alice. Dia memeluk tubuh wanita itu, dan mengusap rambut Alice dengan lembut.
Perlahan Alice tersenyum, memang hanya Felix yang mampu membuatnya tenang.
Alice tak salah telah memilih Felix menjadi pria yang ia cintai.
Namun dia juga tidak tega melihat Felix yang menderita seperti ini.
Gara-gara dia, Felix dalam kesulitan. Dan harus, bolak-balik ke Penjara serta Rumah Sakit Jiwa, hanya demi Alice.
Bahkan Felix juga sudah membuang banyak waktunya demi untuk selalu ada di samping Alice.
Meski Felix melakukannya tanpa terpaksa, akan tetapi hal itu tetap membuat Alice merasa kasihan dan tidak enak hati kepada pria itu.
Harusnya dia bisa membahagiakan Felix, bukan malah menyusahkan seperti ini.
Namun Alice tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya bersabar, dan berusaha untuk bisa terlepas dari Sea, lalu menjalani kehidupan normal bersama dengan Felix.
"Alice, mulai sekarang kamu harus tetap berpikiran baik. Jangan memikirkan hal buruk lagi." Kata Felix.
"Tapi ... tidak semudah itu, Felix!"
"Alice, kamu harus yakin jika kamu pasti bisa melewati ini semua. Pokoknya aku akan mencari cara untuk membuatmu terlepas dari arwah jahat itu," kata Felix.
Alice menganggukkan kepalanya, dan masih sesenggukan.
Dia menangis bukan karena memikirkan nasibnya yang harus berakhir di tempat seperti ini, namun dia menangis karena tak sanggup berpisah dengan orang yang ia cintai.
Akan tetapi inilah yang terbaik. Dia di sini demi Felix dan yang lainnya. Karena jika dia sembuh maka keadaan akan kembali normal.
Meski tak ingat tentang semua perbuatan kejamnya. Namun Alice percaya memang telah melakukannya. Karena Sea yang beberapa kali merasuk dalam tubuhnya. Dan dia dapat merasakan itu.
***
Bella pun tak tinggal diam, dia menghampiri Alice.
"Alice, jangan menangis. Kau bilang tempat ini sangat nyaman. Maka dari itu nikmatilah. Dan jangan pikirkan hal lain. Biar kami yang mencari cara untuk membuatmu kembali pada kehidupan normalmu!" pungkas Bella. Lalu wanita itu bergantian memeluk tubuh Alice setelah Felix.
Setelah Alice kembali tenang, barulah Bella pergi bersama dengan Felix.
***
Sesampainya di rumahnya Bella, Madam Anyelir pun datang menghampiri mereka.
Wanita itu ingin mengatakn hal penting tentang Sea.
Lagi pula Felix juga ingin berkonsultasi kepada Madam Anyelir.
"Madam, syukurlah Anda datang kemari. Dan saya ingin bertanya tentang Rumah Sakit Jiwa," kata Felix.
"Memangnya ada apa dengan Rumah Sakit Jiwa?" tanya Madam Anyelir.
"Alice bilang Sea tidak suka dengan Rumah Sakit Jiwa. Apa itu benar?"
Madam Anyelir terdiam sesaat, dan dia mendapat pandangan tentang Sea.
Wanita itu tengah bertengkar dengan suaminya. Dan suaminya mencoba menenangkan Sea, namun Sea kembali murka lagi ketika si pria menyebut tentang Rumah Sakit Jiwa. Dan kalimat itu yang membuat Sea akhirnya membunuh pria itu.
Ada banyak hal yang dapat ia lihat dari bayangan masa lalu Sea. Namun Madam Anyelir tidak bisa menceritakannya dengan detail.
"Sejauh yang kutahu tempat terbaik bagi Alice memang hanya Rumah Sakit Jiwa!" kata Madam Anyelir.
Felix dan Bella saling menatap.
"Jadi benar, ya?"
"Iya! Dan sampai kapan pun Sea tidak akan menginjakkan kaki pada tempat itu!" jawab Madam Anyelir. "Tapi ... apa kita akan membiarkan Alice tetap berada di sana selamanya?" tanya Madam Anyelir, "tidak mungkin, 'kan?"
Bella dan Felix saling memandang, lalu datanglah Carlos.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Madam?" tanya Carlos yang menimbrung pembicara mereka.
"Kita harus menemukan jasad Sea secepatnya!" jawab Madam Anyelir.
"Apa!" Carlos tampak syok mendengarnya.
"Madam! Apakah kita akan pergi ke London?" tanya Felix.
"Iya!" jawab wanita paruh baya itu.
"Hari ini, kita akan ke sana. Apa kalian sudah siap?" tanya Madam Anyelir pada Carlos dan Felix.
Dua pria itu pun menyetujui ajakan Madam Anyelir. Sedangkan Bella mau tak mau tetap harus di rumah untuk menjaga anak-anaknya.
Felix dan Carlos akan melakukan apapun demi Alice.
Tak peduli apa bila mereka akan mengalamai kesulitan bahkan harus bertaruh nyawa. Yang terpenting Alice harus sembuh dan kembali normal seperti sedia kala.
Hari itu juga mereka pergi ke London.
***
Malam yang mulai gelap, dan Felix mencoba menekan tombol lampu di rumah kosong itu.
"Aku tidak menyangka akan datang ke tempat ini lagi," ucap Carlos.
"Aku juga. Benar-benar tempat yang sangat menyeramkan," ujar Felix.
Sementara Madam Anyelir hanya diam, dan memandang setiap sisi ruangan dengan penuh ke waspadaan. Bahkan langkah kaki wanita itu juga sangat diperhitungkan.
Tak lama Carlos melihat anak kecil yang berlari.
"Eh, siap itu!" teriak Carlos.
"Siapa memangnya?" tanya Felix, "tidak ada siapapun?" Felix menggaruk-garuk kepalanya dan begitu terlihat bingung.
"Tadi aku melihat sekelibat bayangan anak kecil! Dan dia sedang berlari ke arah sana!" kata Carlos seraya menunjuk tempat yang dimaksud.
"Kau ini sedang berhalusinasi, Carlos! Tidak ada sipapun!" tegas Felix. Nyatanya Felix memang tidak melihat apapun, hanya kegelapan yang dibantu sedikit pencahayaan lampu rumah ini yang mulai usang. Bahkan sebagiaan lampu sudah berkedip-kedip karena konslet dan hampir mati.
Melihat keduanya sedang berdebat, Madam Anyelir pun berusaha untuk menenangkan.
"Kalian bisa diam tidak!" bentak wanita itu, "fokuslah pada tujuan awal, yaitu mencari jasad wanita itu!" suruh Madam Anyelir.
"Maaf, Madam!" sahut kedua lelaki itu secara bersamaan.
Langkah mereka menuju ke ruang berikutnya.
To be continued