"Madam, katakan apa yang harus saya lakukan agar wanita jahat itu tidak mengganggu Alice lagi?" tanya Felix.
"Sebentar!" Madam Anyelir memejamkan matanya, dan posisi tubuhnya seperti orang yang sedang bermeditasi. Felix menunggu wanita itu sampai selesai dengan ritualnya. Felix juga tidak begitu paham dengan apa yang wanita itu lakukan. Namun dia selalu berpikir positif dan ini semua demi kebaikan Alice.
Beberapa saat kemudian Madam Anyelir membuka kedua matanya diiringi dengan dengusan panjang.
"Bagaimana, Madam?" tanya Felix.
"Untuk membuatnya tenang, kau itu harus bisa menemukan jasadnya Sea!" ujar Madam Anyelir.
"Benarkah?" Felix tampak syok mendengarnya. "Ada di mana jasad wanita itu, Madam?" Felix bertanya lagi.
"Aku juga tidak paham letak persisnya. Mata batinku masih tertutup oleh kabut. Sehingga aku tidak bisa melihat keberadaan wanita itu bersemayam," jawab Madam Anyelir.
"Tapi, apa hal itu benar-benar akan berakhir?" tukas Felix yang masih tampak ragu.
"Aku rasa itu satu-satunya jalan yang benar!" jawab Madam Anyelir.
"Lalu apakah saat ini juga, aku harus ke London?" tanya Felix.
"Aku tahu kamu masih lelah. Sebaiknya istirahat dulu. Tidak baik melakukan perjalanan jauh dengan kondisi tubuh yang masih lelah," ujar Madam Anyelir.
"Iya, tapi bagaimana dengan Alice? Aku takut dia akan berbuat agresif lagi?"
"Tenanglah, aku akan menjaganya dengan kemampuanku. Aku juga akan berusaha untuk menghalau Sea!"
"Tapi—"
"Pergi lah, dan temui Alice serta kakaknya!" suruh Madam Anyelir.
Felix pun hanya bisa pasrah, dia meninggalkan ruangan praktek Madam Anyelir.
Namun sebelum pergi, Felix menyempatkan diri untuk berbicara serius kepada Madam Anyelir.
"Baiklah, saya pergi Madam. Dan saya harap Anda bisa membantu Alice sampai sembuh," tukas Felix, "sekarang, saya hanya bisa berharap kepada Anda. Hanya Anda satu-satunya orang yang saya yakini bisa menyembuhkan Alice." Imbuhnya.
"Aku akan berusaha!" jawab Anyelir.
Felix bukannya tidak mempercayai psikiater lagi, namun apa yang terjadi pada Alice ini di luar batas, bukan hanya ganguan mental biasa. Namun juga ada campur tangan Sea, yang belum bisa melepaskan Alice sampah akhir hayatnya.
*****
Felix pun memasuki rumah Bella, dan melihat sejenak keadaan Alice.
Tampak wanita itu yang sedang terlelap di atas ranjang.
'Wajahnya begitu tenang, sepertinya Alice memang sedang kelelahan,' batin Felix.
"Felix, ayo makan siang dulu," ajak Bella seraya menyentuh pundak Felix, "aku sudah memesankan makanan untuk kita semua," timpalanya.
Pemuda itu menoleh kearah wanita yang tngah berbicara kepadanya. Dan ketika mata mereka saling memandang, Bella segera memeluk Felix.
"Felix, terima kasih, ya," ucap Bella sambil menangis. "Kamu sudah banyak membantu kami, kalau bukan karena dirimu aku tidak tahu bagaimana jadinya!"
"Bahkan kamu sampai menunda membuka usaha kedai es krim milikmu. Dan ... itu semua gara-gara kami. Aku juga ingin meminta maaf mengenai hal itu, Felix." Ucap Bella.
Felix mengusap rambut Bella.
"Bel, kamu ini bicara apa? Lagi pula sudah sepantasnya jika aku melindungi kalian. Alice itu calon istriku. Dan kau adalah calon kakak iparku," ucap Felix.
Bella tersenyum bahagia mendengarnya. Felix benar-benar pria yang baik bagi Alice.
Dia berharap hubungan Felix dan Alice akan semakin langgeng.
Dan Bella juga berharap agar Alice segera sehat, agar bisa melangsungkan pernikahannya dengan Felix, serta hidup berbahagia.
"Terima kasih sudah mencintai adikku, bahkan kau mencintainya tanpa syarat, kau menerima Alice apa adanya. Dan kau juga tidak meninggalkannya meski sedang dalam keadaan serumit ini. Aku sangat bersyukur, Felix."
"Bel—"
"Aku yakin kau yang terbaik untuk adikku, dan kami juga berhutang banyak kepadamu,"
"Sudahlah, Bella. Jangan menangis. Kalau kau menangis aku malah tidak tenang. Kau itu harus kuat, demi Alice!" ucap Felix.
Bella pun segera melepas pelukannya dari Felix, dan dia menyeka air matanya yang mengalir di pipi.
"Maafkan aku," ucapnya.
"Yasudah, ayo kita ke ruang makan. Kau mengajakku makan bersama, 'kan? Kebetulan aku lapar," ucap Felix.
"Baiklah, Felix."
Lalu mereka berdua pun berpindah ke ruang makan, dan di sana juga sudah ada Daniel serta Diana.
***
Esok harinya keadaan Alice, sedikit membaik, namun dia tidak mengingat semua kejadian yang menimpanya.
Hanya ada beberapa saja, namun hal yang besar malah ia lupakan.
Dia ingat, jika dia baru saja pulang dari London, dan dijemput oleh Bella serta Felix. Ketika berada di ruang bawah tanah rumah Sea, Alice juga masih ingat. Hanya saja dia tidak tahu mengapa dia bisa berada di sana.
Bahkan Alice juga tidak mengingat jika dia telah membunuh Caroline dengan tangannya sendiri.
Alice duduk di kursi dekat perapian bersama dengan Diana.
"Bibi, ini susu hangatnya," ujar Daniel seraya menyodorkan gelas berisi susu kepada Alice.
"Terima kasih, Daniel," tukas Alice.
"Iya, Bibi," Dan anak lelaki itu juga ikut duduk di samping Alice.
Mereka mengobrol sambil menghangatkan tubuh dari cuaca dingin di pagi itu.
Sedangakan Bella masih menyiapkan sarapan untuk mereka semua.
Memandang kearah api yang menyala, Alice tiba-tiba teringat dengan wajah Sea.
Wanita itu tampak ketakutan dengan tubuh dipenuhi luka dan noda hitam bekas kayu terbakar.
Wanita itu memasuki cerobong perapian untuk bersembunyi dari kejaran polisi.
Kedua mata Alice menajam saat bayangan itu tiba-tiba hadir dalam benaknya. Semua terlihat nyata, tangan Sea memegangi bagian dadanya yang mengalami sesak napas. Alice dapat merasakan hal yang begitu menyeramkan pada wanita itu. Dadanya juga ikut sesak.
Alice mulai panik, rasanya dia ingin menolong Sea. Dia mulai bediri dan hendak masuk ke dalam lubang prapian yang masih terdapat api yang menyala-nyala. Dalam pandangan Alice tidak ada api, hanya ada Sea yang masih bersembunyi di dalamnya.
Beruntung Daniel dan Diana dengan sigap berusaha untuk menghentikan Alice. Mereka memegang tangan Alice dengan erat.
"Sea! Sea!" teriak Alice.
"Bibi! Bibi, kenapa?!" tanya Daniel.
Diana segera memanggil Bella.
Dan wanita itu kembali memercikkan sisa air di dalam botolnya. Dalam sekejap Alice pun pingsan.
"Oh, astaga! Apa aku memanggil Madam Anyelir saja, ya!" tukas Bella yang panik.
"Jangan, Bu! Di rumah Madam sedang ada tamu!" ucap Daniel.
"Ah, begitu ya! Yasudah kiya coba bangunkan Bibi Alice, ya!" Bella menepuk-nepuk wajah Alice.
"Bangun, Alice!" panggilnya
dan secara perlahan Alice membuka kedua matanya.
"Bella? Ada apa ini?" Alice berusaha untuk bangkit.
"Kalian kenapa menatapku dengan raut wajah seperti itu?" tanya Alice.
"Bibi Alice, tadi pingsan!" jawab Diana.
Alice begitu heran dengan ucapan gadis itu. Dan dia juga tidak tahu apa yang membuatkan menjadi pingsan.
Hidupnya benar-benar terasa kacau, Alice seperti ketinggalan hal penting atas kejadian yang ia alami.
Nyatanya dia seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
To be continued