Tidak terasa waktu menunjukkan sore hari, kami sudah seharian bermain di pulau macan gundul dan telah keliling di pulau macan ini. Entah kenapa, jika suasana menyenangkan, waktu akan terasa sangat cepat.
Kami sekeluarga bersantai di dek pribadi kami yang langsung memperlihatkan pemandangan lautan.
"Pa, kita balik jam berapa?"
"Kapalnya datang jam 5. Kenapa?" Papa sibuk mengotak-atik hp.
"Nggak, Cuma nanya doang." Aku melihat jam di hp, sebentar lagi pukul 05.00.
Aku mengirim pesan whatsapp ke Gaby.
"Lu bermalam di sini?"
"Nggak, gue juga pulang. Gue juga harus sekolah bukan lu aja :D wkwkwkw"
Aku diam sejenak. Gaby kembali mengirim pesan.
"Tadi Papaku juga ngasih tahu kalau nanti satu kapal bareng kalian."
"LOL :D…. Nggak ada kapal lain apa? Bosan gue lihat muka lu." Aku menyeringai.
"Sialan -_- bukan gue juga yang nentuin naik kapal yang mana, tp Papa."
"Kirain lu nginap sini. Baru mau bilang good bye, ternyata tetap ketemu juga."
"Nanti juga ketemu lagi di sekolah." Balasnya.
"Eh… ? Lu beneran mau pindah?" Tanyaku.
"Sepertinya iya, sempat tanya ke Papa. Dia setuju saja."
"Hahaha, oke gue tunggu di sekolah. Nanti gue kenalin sama teman yang lain."
"Siap bos…"
Terlihat kapal sudah berlabuh, kami mulai mengangkat tas dan membawanya ke kapal. Kembali melihat lokasi Sunset Hut, untuk mengecek apakah ada barang yang ketinggalan.
"Eh…. Kak Gaby ikut bareng kami?" Tanya Keysia terkejut melihat Gaby membawa tasnya ke kapal kami.
"Iya, Key." Gaby tersenyum.
"Yeay…. kakak Gaby ikut. Kak Gaby sekalian saja nginap di rumah, nanti tidur bareng aku." Keysia mengajak dengan wajah gembira.
"Ayo!" Gaby menyambut ajakan Keysia dengan semangat.
"Eh? Katanya lu mau sekolah besok?" Aku menyanggah percakapan mereka. "Nggak usah nginap deh, bentar lu jadi nggak masuk sekolah. Nanti Keysia juga malah ikut-ikutan nggak sekolah karena main dengan lu di rumah."
"Ugh…. Kakak nggak boleh larang orang kalau mau nginap, kan kakak Gaby juga mau." Keysia terlihat kesal.
"Oh…. Iya Key, maaf ya. Aku lupa kalau besok harus sekolah. Kirain ini weekend. Efek habis berlibur makanya lupa hari." Gaby tertawa. "Nggak apa kan, Key? Nanti lain kali saja, kakak pasti datang main."
"Iya deh kak." Keysia mengangguk.
"Ayo kita naik kapal, sudah mau berangkat." Aku melangkah naik ke kapal, beserta Gaby dan Keysia.
Papa, Mama dan Pak Thomas sudah berada di kapal. Selamat tinggal liburan, kami akan kembali menghadapi rutinitas seperti biasanya. Mungkin hampir semua pengunjung berpikir sepertiku. Tapi bagiku, ini sudah cukup. Aku sudah tidak sabar untuk menanti hal-hal yang akan ku hadapi di sekolah.
***
Kapal yang membawa kami dari pulau macan telah berlabuh di Marina Ancol. Kami berpisah dengan Pak Thomas dan Gaby.
"Sampai jumpa Kenzie, Sampai jumpa yah Keysia…." Gaby melambaikan tangannya. Terlihat Pak Thomas bersalaman dengan Papa.
Kami melanjutkan perjalanan untuk pulang di rumah, badan terasa letih. Keysia langsung tertidur di mobil, aku mengambil hp, melihat pesan whatsapp yang masuk.
"Lu besok masuk kan?" Pesan dari Arvin.
"Rahel sudah mengunjungi beberapa kelas tadi untuk kampanye, termasuk kelas kita juga hahaha." Pesan dari Arvin.
Aku membalas pesan Arvin. "Iya besok gue masuk, ini sudah perjalanan pulang rumah. Berarti kita nanti kampanye di kelas Rahel juga dong? :D"
"Halo Pak ketua, apa kabar? Kayaknya lu nggak perlu kampanye sudah pasti menang wkwkwkw" Pesan dari Jesica.
Aku membalas pesan Jesica. "Hahahah…. Nggak boleh nyindir gitu. Kan belum pasti juga kita menang, entar kalah yah malu jadinya udah terlanjur PD :v"
"Kamu menghilang bukan bagian dari strategi kan? :D" Pesan dari Farrel. Rasanya déjà vu, oh iya ini sindiran dengan gaya satire. Gaya bicaranya Jesica, dia juga mengirim pesan nyindir seperti ini. Aku tersenyum tanggung.
Aku membalas pesan Farrel. "Iya! Gue sengaja supaya nggak kampanye! LOL :D ."
Malam yang begitu tenang mengiringi suasana rumah yang sunyi, udara terasa dingin menyegarkan, langit cerah dihiasi bintang-bintang. Kami tiba di rumah. Selama ini aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa papa membeli rumah ini. Lokasi yang sunyi, bahkan jarang ada kendaraan lewat di jalan depan rumah kami. Secara harfiah lokasi ini sebenarnya tidak sunyi, karena jika lewat gang belakang itu adalah perumahan penduduk, tapi aku merasa rumah kami mendapat titik strategis, lokasi sunyi dalam keramaian atau apalah namanya, aku bingung menginterpretasikannya. Kalau di ibaratkan dunia ini adalah sebuah café, maka rumah adalah orang-orang yang berada di café tersebut. Jadi, rumah kami itu di ibaratkan orang yang sedang menyendiri dalam hiruk pikuk café.
Aku mengangkat Keysia yang telah tertidur pulas dan membawanya ke kamar.
"Selamat tidur, Key." Ucapku.
Aku menguap sembari meregangkan tangan, walau liburan itu bertujuan untuk refreshing, pasti kalau sudah pulang akan terasa lelahnya. Tapi aneh ya, saat lagi liburan gitu, tidak terasa sama sekali lelahnya. Bahkan dengan penuh semangat bermain-main, ke sana kemari. Mungkin ini semua efek emosi dalam pikiran, jika sedang senang maka tidak akan terasa lelah.
***
Kampanye adalah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang yang terorganisir. Dalam kelompokku kami belum terorganisir dengan baik, karena memang aku nggak terlalu mendorong teman-teman dalam berkampanye. Bahkan kami sudah kalah start dalam memulai kampanye. Aku masih memikirkan ide yang agak berbeda dengan kampanye pada umumnya, sepertinya aku nggak akan datang ke kelas-kelas seperti yang dilakukan Rahel. Jika aku melakukan hal tersebut, tidak memiliki dampak signifikan, tidak unik dan terkesan biasa saja. Tapi aku masih belum terpikirkan ide yang berbeda, mungkin aku diskusikan dulu dengan teman-temanku.
"Hey melamun saja." Arvin menyapa "Tumben lu nggak lambat? Habis liburan jadi disiplin ya." Wajahnya cengar-cengir sembari menatapku.
"Persentase lambatku di sekolah tidak sampai …."
"50 persen…" Jesica menyergah "Udah ketebak lu mau bilang apa, tapi walau nggak sampai 50 persen, lu udah terkenal sebagai siswa sering terlambat." Dia mengutik jidatku.
"Ken, kalau ada kemeja putih sekali, dan ada kotoran tidak sampai 50 persen. Orang akan tetap bilang baju itu kotor walau yang bersihnya lebih dari 50 persen kan?" Farrel tersenyum ke arahku, menyerangku dengan gaya bicaraku sendiri yang suka menganalogikan sesuatu.
"Kami ini udah nggak sabar mau ke kelas-kelas untuk kampanye. Jadi kapan kita mulai?" Arvin bertanya, sekaligus memecah pembahasan kami yang sedang bersenda gurau menjadi pembahasan serius.
"Kita tidak kampanye ke kelas-kelas!" Aku menatap mereka satu per satu. Beberapa teman yang lain mulai berkumpul ke tempat pembahasan kami ketika mendengar aku berkata begitu.
"Kenapa tidak, Ken? Padahal kami sudah antusias satu kelas loh, mau bantu kamu untuk kampanye sebentar." Attar menghampiri ketika mendengar pembahasan kami.
"Iya, Ken. Kemarin kita sudah kalah start sama kelompok Rahel, mereka sudah kampanye, dan pasti mereka akan kampanye lagi." Hasan berkata dari jauh, sambil duduk di meja. Dia salah satu preman di kelas, tapi dia tetap menunjukkan rasa respect kalau di hadapanku. Yah karena aku memang bukan anak-anak culun juga sih.
"Aku juga sudah beritahu temanku di kelas lain bahwa hari ini kami akan kampanye karena lu akan masuk. Mereka sempat tanya kenapa lu nggak hadir di sekolah kemarin. Banyak yang senang hasil debatmu. Jadi lu lagi dinantikan oleh kelas lain." Bella menyampaikan keluhannya ketika tahu kalau aku nggak bakal kampanye di kelas-kelas.
"Tunggu, kita tanya dulu sama Kenzie, dia ingin kampanye seperti apa." Arvin memotong pertanyaan-pertanyaan dari teman sekelasku.
Aku senyap sejenak, membuat seisi kelas juga hening menunggu aku berkata sesuatu.
"Sebenarnya aku juga belum punya ide." Aku tertawa lepas.
Membuat seisi kelas riuh menanggapiku.
"Lu yah!! Orang udah pada serius semua, lu nya bawa becanda." Arvin mendengus kesal, "Kita tetap harus menyapa orang-orang di kelas lain, walau kita nggak punya ide kampanye." Tegas Arvin.
"Gue nggak akan kampanye di kelas-kelas." Tampikku, membuat seisi kelas kebingungan.
"Maksudnya gimana?" Attar menyergah.
"Jadi begini, gue memang nggak akan kampanye di kelas-kelas. Karena terlalu mainstream. Tapi gue belum punya ide kampanye seperti apa yang akan kita lakukan." Jelasku, sambil bertopang dagu.
"Terus gimana? Nggak mungkin kan kita hanya diam-diam saja jika tidak ada ide kampanye yang berbeda." Arvin menatap prihatin, nyengir. Farrel dan Jesica diam mendengarkan, tidak sibuk berkeluh kesah ataupun bertanya. Mereka hanya senyum-senyum nyengir. Membuatku refleks memberikan senyum balik, solah-olah kami sedang bermain.
"Kita memang nggak akan diam saja, makanya gue ingin kampanye kita terorganisir sekaligus kita sama-sama mencari ide apa saja untuk kita berkampanye nanti. Jadi kalau ada dari kalian, kita akan diskusikan sama-sama." Aku melihat wajah semua temanku yang mulai mengerti.
"Sepertinya kita nggak akan berkampanye lagi hari ini." Farrel memecah keheningan teman-teman yang sedang berpikir.
"Cerdas!! Ide yang unik tidak didapat dengan cara yang instan. Jadi hari ini kita libur dalam berkampanye, tapi bukan berarti kita diam, kita hanya bergerak di bekalang layar dulu. Mendesain kampanye kita sebaik mungkin sebelum kita eksekusi bersama." Aku menjelaskan sembari melihat wajah semua teman-temanku. "Dan ini akan menimbulkan rasa penasaran untuk semua orang di luar kelas kita. Sebenarnya kita berkampanye atau tidak. Ada beberapa efek juga yang akan timbul entah itu positif maupun negatif. Contohnya dalam hal negatif, kita dianggap tidak serius untuk memimpin OSIS, bahkan terlalu menganggap enteng sampai nggak berkampanye. Tapi akan tiba saatnya. Boooom!!! Ternyata kita sedang mempersiapkan sesuatu yang berbeda, unik dan anti mainstream. Bukannya lebih seru, dan lebih punya tantangan untuk mengejar ketertinggalan dua hari ini." Teman-teman menatap takzim mendengarku.
Arvin tetap memperlihatkan wajah kesal, "Tunggu dulu, bukannya itu terlalu beresiko!? Apa lagi ekspetasi yang lu bilang terlalu tinggi, karena ide nya saja belum kita tahu. Bisa saja nanti justru idenya tidak direspon dengan baik karena lebih buruk dari kampanye Rahel yang terstruktur." Arvin berseru sebal karena tidak sepakat denganku.
Aku menghela napas panjang. "Itu bedanya gue dengan Rahel. Gue lebih suka tantangan, lebih suka sesuatu yang unik, berbeda tapi tetap menjaga kualitas yang kita ingin capai. Jadi tidak perlu takut, Vin. Ini bisa jadi tantangan pertama kita dalam kerja sama tim. Apa lagi nanti saat di OSIS, pasti lebih banyak tantangan. Jika hal seperti ini kita tidak bisa membuat terobosan baru, bagaimana saat di OSIS nanti!?"
Terdengar langkah kaki guru yang akan memasuki kelas kami.
"Sebentar kita lanjutkan saat istirahat!" Aku berseru.
Semua kembali ke tempat duduknya, pembahasan terhenti. Kami kembali ke rutinitas belajar.