Ben tinggal sendirian di ruang tunggu itu. Ia memeluk kakinya sambil memutar-mutar ponsel di tangannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar hingga terlepas dari tangan Ben. Ia melihat nama Briella tertera di sana.
Ben mendesah. Ia tidak akan mengangkat telepon itu. Hubungannya dengan Briella sudah berakhir. Seharusnya, wanita itu tidak perlu menghubunginya lagi.
Dibiarkannya telepon itu hingga mati sendiri. Tak berapa lama kemudian, muncul pesan singkat yang masuk. Ben membacanya.
"Ben, apa kamu baik-baik saja? Aku tahu, kamu pasti masih marah padaku. Aku yakin, kamu tidak benar-benar bermaksud untuk putus dariku kan. Kamu hanya emosi sesaat. Kita bisa bicara baik-baik, Ben. Aku mohon. Aku tidak ingin hubungan kita jadi seperti ini."
Di dalam dada Ben terasa perih sekali, seperti ada pisau yang menusuk di dalam sana. Sejujurnya, ia tidak ingin berpisah dengan Briella, tapi apa daya jika kenyataannya jadi seperti ini.