Aku terpaksa ikut Ridho pulang ke Rumah. Sementara motor tinggal di Rumah Sakit.
Tak lama kemudian sampai di Rumah, Arini duduk di teras. Menunggu kami berdua, Wajahnya kesal. Entah cemburu atau merajuk, aku tak ingin tau.
"Kalian dari mana saja sih?" tanya Arini dengan muka di tekuk. Aku tak menjawab, malas dengan pertanyaan Arini.
"Mas Ridho, kenapa sih pulang sama Rania? Kalian dari mana saja?" tanya Arini cemberut.
Aku tak ingin dengar. Langsung masuk ke dalam menuju lantai dua kamarku.
"Aku jemput Rania dari Rumah sakit, sekalian jenguk adiknya Rania, dia kecelakaan. Tak enak sama orang tua Rania kalau aku tak jenguk." ucap Ridho beri penjelasan sama Arini. Ia tau istrinya sedang merajuk.
Ridho merangkul Arini masuk ke dalam, takut tetangga dengar.
"Udahlah sayang, jangan merajuk. Tak baik untuk bayi kita," ucap Ridho mengelus perut Arini yang mulai membuncit. Lalu Ridho menciumnya. Tindakan Ridho sedikit mengurangi cemburunya.
Mereka masuk ke dalam kemudian masuk kamar.
Setelah mandi, aku duduk di depan cermin. Bayangan saat di Rumah Sakit kembali melintas. Seandainya Ridho tidak menikah lagi mungkin aku merasa bahagia. mencoba menerima Ridho dan melupakan Roger, Orang tuaku juga sangat welcome padanya. Tapi hati Ridho ada Arini. Tak mungkin Ia terima aku. Aku meraih ponsel, mendadak hati merindukan Roger. Aku membuka galeri ponsel, Foto kenangan bersama Roger masih terpampang di indah, sengaja tak ku hapus.
Aku mengusap foto- foto itu. Saat di Alun- alun kota, sebulan sebelum aku menikah. Hanya berdua. Kita bahagia saat itu.
"Sayang, aku merindukanmu," gumamku.
Terdengar suara rengekan Arini. Tak taulah lebih baik aku menyumbat telingaku dengan headset. Memutar lagu-lagu Malaysia. Mewakili hatiku yang melow. Tak lama kemudian aku terlelap dalam mimpi.
"Tok... Tok.
Aku terkesiap mendengar suara ketokan pintu.
" Siapa sih malam begini ketok pintu," gumamku malas. Aku membuka pintu kamar. Arini berdiri di depan pintu. Wajahnya datar, rambutnya di biarkan tergerai. Aku melirik jam dua belas malam. Ada apa Arini malam- malam ke kamarku?
"Ada apa Arini? Ini udah malam. Ngapain ke kamarku? tanya ku malas. Ya saat ini aku begitu malas dengan istri duanya Ridho. Tanpa menjawab pertanyaan ku Arini langsung masuk ke dalam duduk di pinggir Bed. Sedang aku berdiri sandar di tembok memperhatikan tingkahnya. Netrannya menatapku tajam. Aku mengabaikannya. Menurutku dia masih labil.
"Kenapa diam Arini? Ini udah malam, ngapain kamu ke sini? Nanti di cariin Ridho loh,"
"Ridho udah tidur," ucap Arini singkat.
"Terus ada apa kamu menemuiku di kamar?"
"Rania, tolong minta cerai dari Mas Ridho. Kamu tidak mencintainya kan?" Mohon Arini padahal beberapa hari yang lalu ia sudah ngomong itu. Tapi seperti ia tak menyerah. Agar aku secepatnya pergi dari hidup Ridho. Mungkin semua wanita tak ingin berbagi suami.
Terbersit rasa kasihan, aku menjalani pernikahan juga demi Ayah. Yah demi Ayah. Demi persahabatan keduanya. Walau harus rela menahan sakit hati tak di cintai suami. Namun Aku ingin tetap bertahan sampai kapan aku sendiri tak tau.
Aku menghela napas pelan. Mencoba bersabar dengan permintaan wanita hamil di depanku. Kesampingkan emosi. Padahal ingin ku cakar wajahnya. Tapi aku tak ingin jadi wanita bar- bar.
"Arini, kenapa kau tak minta Ridho melepaskan ku? tanya ku balik, memang semua ini tergantung pada Ridho.
" Mas Ridho tak bisa melepaskanmu demi Ayahnya. Ia tak mau Ayahnya kena serangan jantung," ucap Arini sendu.
"Nah itu tau jawabanya, aku pun tak bisa apa- apa."
"Tapi kalau kamu yang minta cerai kan pasti Mas Ridho akan melepaskanmu," ucap Arini lagi.
Darahku mendidih ingin sekali aku mengomel di depanya. Tapi harus sabar hadapi ibu hamil di depanku ini.
"Tolong pergilah dari kamarku Arini. Ku pikirkan nanti!" Saat ini aku pusing memikirkan itu.
Arini tak senang saat aku berusaha mengusirnya dari kamar. Lagian keputusan bukan di tanganku tapi di tangan Ridho. Kalau boleh jujur, aku ingin berpisah dengan Ridho. Aku ingin menemukan seseorang yang mencintaiku, toh aku masih perawan.
"Baiklah aku keluar, tapi carilah secepatnya laki- laki yang mencintaimu," ucap Arini sembari melirik sinis.
Aku melotot saat Arini ngomong seperti itu. Ingin rasanya aku telan hidup- hidup. Dasar keras kepala!batinku.
Pintu ku tutup, menarik selimut. Tak ingin aku memikirkan apapun. Tak lama kemudian aku terlelap dalam mimpi.
Suara Alarm membangunkan aku, pukul lima pagi. Ku buka jendela, angin pagi menyapa kulit, sejuk. Segera ku langkahkan kaki untuk berwudhu lalu sholat subuh.
Arini menghampiri kamarku, heran sekali aku melihatnya. Sepagi ini berada di kamarku.
"Rania, pikirkan ucapanku tadi malam ya," Aku tak menjawab ucapan Arini. Malas sepagi ini sudah di teror seperti itu.
"Ucapan apa Arini?" tanya Ridho tiba- tiba ada di belakang Arini. Ia menatapku dan Arini bergantian. Wajah Arini mendadak pucat. Bingung harus jawab apa. Kemudian menatapku mencari jawaban.
Arini kemudian keluar dari kamarku, ia menghindar dari aku dan Ridho.
"Yang di maksud Arini apa Rania? tanya Ridho.
" Tanya sendiri istrimu!" ucapku kemudian memalingkan wajah. Sebal ku melihat wajah Ridho. Aku merasa dia telah gagal mempertahankan dua wanita dalam satu rumah tapi tak bisa membimbing istri- istrinya.
Tak puas dapat jawabanku, Ridho keluar dari kamarku. Lega melihatnya. Aku segera mandi dan bersiap kerja.
****
Arini menuruni tangga, Ridho mengejarnya. Penasaran tadi yang baru saja di dengar.
"Arini tunggu!"
Arini tak menoleh, ia terus saja melangkah kaki menuju dapur. Ridho mengejarnya sampai ke dapur.
"Arini! Bisa berhenti nggak? Kalau di tanya suami harus jawab!" bentak Ridho keras. Arini kaget mendengarnya baru kali ini Ridho berani membentaknya.
Arini menoleh, ia menatap Ridho datar. Melihat istrinya merajuk Ridho melunak. Begitulah Ridho yang tak bisa tegas dengan Arini.
"Maaf sayang, sini duduk dulu, Mas penasaran ucapan sama kamu tadi," ucap Ridho lembut.
Arini masih manyun, terpaksa ia duduk di samping Ridho depan TV.
"Aku ingin Rania minta cerai dari Mas Ridho!" ucap Arini kesal.
"Astaghfirullah Arini, walau Rania minta cerai pun, Mas tak kan pernah menceraikannya."
"Mas ko gitu sih! Kan udah ada aku, sekarang juga aku lagi hamil!" rengek Arini.
"Apa Mas sekarang mulai menyukai Rania?" tanya Arini penasaran.
"Nggak sayang, sampai saat ini aku hanya mencintaimu, ku lakukan demi Ayah. Demi persahabatan Ayahku dan Ayah Rania. Ku mohon terimalah keputusanku jangan usik Rania," ucap Ridho kemudian merengkuh tubuh Arini ke dalam pelukan. Aku terpaku mendengar semua yang di katakan Ridho, ada sakit di ujung hati. Merasa tersisih dari hidup Ridho. Ini kah rasanya ketika tak di anggap? butuh hanya untuk menutupi kebusukanya? Mataku berkaca- kaca. Ingin menangis tapi ku tahan. Tak ingin make up ku luntur sebelum sampai ke kantor.
Bersambung.