Aku menatap nanar melihat makanan berserakan di lantai. Tak percaya dengan kelakuan Arini kali ini. Arogan juga tak menghargai pemberian ku. Ridho mengambil jajanan itu dan memasukan kembali ke dalam plastik.
"Rania, maafkan sikap Arini." ucap Ridho merasa bersalah.
"Nggak apa- apa mas," ucapku kecewa. Segera melangkah ke dapur, mengambil piring dan menaruh jajanan ku di atasnya. Ingin menikmatinya sambil minum kopi. Ridho sudah ada di belakangku.
"Rania." panggil Ridho pelan. Suaranya berat.
Aku menoleh ke belakang.
"Ada apa Mas?" tanya ku menatap lekat suamiku.
"Maafkan sikap Arini tadi, Emm ... Uang kamu masih ada?" tanya Ridho lagi.
"Masih kenapa?"
"Ooh, kalau udah habis bilang ya, nanti aku isi lagi." Aku tak menjawab, dia masih peduli padaku?
Tak sengaja Arini mendengar perbincangan antara aku dan Ridho. Setengah berlari ia ke arahku dan langsung menampar pipi kiri.
"Plak!" Terasa panas pipi kiriku.
"Dasar wanita jalang! Kembalikan ATM Mas Ridho! Aku lagi hamil, lebih berhak dengan uang Mas Ridho!" Teriak Arini histeris.
Ridho menangkap tubuh Arini untuk menjauh dari diriku. Ia tak Terima dan memukuli punggung Ridho, tapi Ridho tak peduli itu, ia membopong tubuh Ridho menuju kamar. Agar pertengkaran kami tak menjadi bar- bar.
Aku meringis sambil mengusap wajahku yang masih terasa panas. Hatiku berang, dapat tamparan Arini. Ingin juga menamparnya balik. Tapi Ridho sudah terlanjur membawa tubuh Arini menjauh dariku.
"Dasar Arini!" desis ku mengusap pipi agar panas segera hilang.
Aku menatap nanar jajanan di depanku. Mbok Yem merasa kasihan padaku, melihat pipiku di tampar Arini. Segera ku makan bersama kopi di meja makan di temani mbok Yem. Ia mengusap punggungku menyabarkan sikap Arini tadi.
"Yang sabar ya Mbak Rania, orang sabar itu di sayang Tuhan," ucap Mbok Yem.
"Iya Mbok," ucapku berusaha tersenyum
Di kamar Ridho.
Arini masih terus berontak, memukuli dada Ridho, ia masih emosi tak terima Rania dapat jatah yang sama dengannya. Ia berkacak pinggang di depan Ridho.
"Mas Ridho, aku nggak rela ya! Rania pegang ATM kamu!"
Ridho duduk di pinggir bed, berharap Arini menurunkan emosinya. Mengatur napasnya sejenak. Meraih tangan istri mudanya agar duduk di sampingnya.
Arini mengibaskan tangganya, nggak mau di pegang tangannya oleh Ridho.
"Pokoknya aku mau ATM Rania harus di kembalikan padaku! Kamu kan tau aku lagi hamil mas, harus aku dong yang dapat kebagian uang lebih banyak!" kata Arini berapi-api mengeluarkan emosinya.
Ridho diam, membiarkan Arini ngomel sepuasnya. Meredakan emosinya yang membuncah.
Arini menatap tajam suaminya, geram omongannya tak di hiraukan.
Napas Arini turun naik, merebahkan diri di samping Ridho, air matanya menetes.
Ada keheningan di antara mereka. Saling diam. Pikiran Arini berkecamuk sendiri, jengkel, emosi jadi satu. Setelah diam sejenak Ridho baru mengeluarkan suaranya.
"Arini, Rania juga kan istri aku, nggak hanya kamu. Makanya dia juga aku nafkah," ucap Ridho tenang.
"Tapi Rania kan udah kerja, ngapain harus pegang ATM dari kamu!"
" itu tadi bentuk tanggung jawabku sebagai seorang suami. Tolong mengerti itu Arini. besok kita harus pindah, aku nggak mau kamu bertengkar lagi dengan Rania."
"Nggak mau!" ucap Arini ketus kemudian membuang mukanya ke lain arah.
"Harus mau!" ucap Ridho keras, sedari tadi di tahan emosinya akhirnya meledak juga.
Arini langsung terdiam dengan ucapan Ridho.
Ia kemudian keluar dari kamar dan membanting pintu kamarnya keras.
Brakk!!
Arini kaget, menurunkan ritme jantungnya yang naik tadi mendengar suara pintu di tutup.
"Huuuh! Dasar Mas Ridho!" Desis Arini geram.
Ridho melangkah menemui Rania di dapur, wajah Rania terlihat sedih. Seperti memendam sesuatu.
"Rania," panggil Ridho sendu.
Aku menoleh, ingin mengakhiri semuanya. Tak baik satu rumah ada dua istri, yang ada ribut terus.
"Mas, aku minta cerai, Aku ingin mengakhiri semuanya." Pintaku pada Mas Ridho, Tak ingin ribut terus dengan Arini. Selama setahun ini aku sudah bersabar menghadapi Arini.
"Jangan lakukan itu Arini! Ku mohon!" Mata Ridho berkaca- kaca, Alisnya turun kedua tangannya menangkupkan di dada. Sejenak tak tega melihatnya.
"Kenapa?" tanya ku menatap laki- laki itu tajam.
"Ku mohon jangan lakukan itu, demi Ayah ku!" Ridho terus memohon pada Rania.
Lalu Ridho memelukku erat, apa dia serius? Entahlah. Jujur dalam hatiku sudah lelah menjalani rumah tangga seperti ini. Tak ada kedamaian di dalamnya, tak ada saling suport dan sayang. Hanya status istri saja yang menempel. Belum pernah juga beri nafkah batin padaku. Untuk apa aku di sini?
Tubuhku menegang, seperti di aliri listrik tegangan tinggi. Segera ku lepaskan tubuh Ridho dari tubuhku, tak ingin terlena terbuai dengan aksi suamiku.
Hati dan jiwaku hampa dengan pelukan Ridho tadi. Ingin segera lepas dari pelukannya. Tapi Ridho kemudian meraih tubuhku lagi ke dalam pelukannya.
Air mataku menetes dari kedua pelupuk mata, hanya air mata yang bisa mewakili sesak dalam dada. Ridho semakin memeluk erat diriku. Ada apa dengan Mas Ridho? Apa dia mencintaiku?
Entahlah.
"Sudah Mas, jangan memeluk ku terus, nanti di liat Arini. Ngamuk lagi dia." ucapku kemudian melepas tubuh Ridho. Ia terduduk, di kursi makan. Menatap kosong di depannya. Apa dia teringat bagaimana perlakuannya padaku selama ini?
"Maafkan aku Rania, besok aku dan Arini pindah dari sini," ucap Ridho tenang.
"Ku mohon, jangan minta pisah, aku belum sanggup kehilangan Ayah." ucap Ridho menangkup pipiku.
Aku terdiam, walau aku muak alasannya, tapi mendengar demi Ayahnya tak tega mendengarnya. Pernikahan ini bertahan demi kesehatan Ayah mertua.
Tapi kalau di pertahankan, aku yang terluka. Tak ingin terus seperti ini. Aku juga ingin bahagia, membina rumah tangga bersama orang yang mencintaiku.
"Tapi sampai kapan mas? Mending Mas pilih Arini saja, aku mundur. Toh dia saat ini hamil anak Mas Ridho,"
Ridho terdiam mendengar ucapan ku, terlihat dia memikirkan sesuatu.
Ridho menghela napas pelan, aku tau dia bingung ketika harus pilih salah satu di antara kami.
Ridho menunduk, terlihat kedua matanya mengembun.
"Tak tau Rania, aku tak ingin melepas salah satu dari kalian," ucap Ridho menunduk, merasa sedih Rania minta cerai. Mendengar ucapan itu kedua Alisku mengkerut, menatap tajam laki - laki yang ku sebut suami itu.
"Bagaimana dia bisa seegois itu?" batinku kesal.
"Baiklah, kalau Mas tak bisa memilih di antara kami. Aku yang mundur!" ucapku tegas. Lebih baik mundur, nanti aku berusaha bicara sama Ayah mertua dengan kata selembut mungkin, agar tak kecewa dengan keputusanku. Ridho melongo mendengar ucapan ku.
Bersambung.