Chereads / Isi Hati Rania / Chapter 4 - Bab 3. Pernikahan.

Chapter 4 - Bab 3. Pernikahan.

Pikiranku masih tertuju pada Roger, Laki-laki yang ku cintai.

Drrt.. Nama Roger terpampang di layar ponsel. Astaga Roger menelpon? Teriak ku lirih.

Saat aku ingin mengangkatnya, terdengar suara langkah kaki menuju kamar.

Ceklek.

"Kamu lagi apa Rania?" tanya Ibu. Jantungku hampir copot saat tau Ibu ada di depan pintu. Aku langsung menyembunyikan ponsel di balik badan Ibu menangkap kegugupan ku.

"Habis cuci muka Bu," ucapku sembari menolak panggilan Roger.

"Tadi sepertinya ada yang telepon kamu, siapa dia?"

"Eehm, nggak ada ko Bu, salah sambung!"

"Jangan hubungi Roger lagi! Sebentar lagi kamu akan jadi istri orang! Jangan permalukan nama keluarga karena tingkah konyol mu! Paham Rania Maharani!"

"Iya Bu!" Jawab ku patuh. Lidah ku kelu saat ingin mengatakan bahwa aku dan Ridho tidak saling mencintai.

"Nanti sore Ke Budhe wati ya, liat baju buat acara nikahan kamu,"

"Iya Bu,"

Aku mengatur napas ku yang berat, Panggilan dari Roger aku biarkan mati sendiri. "Maafkan aku Roger," Batinku.

****

Sore menjelang sehabis sholat ashar aku bersiap ke rumah Budhe wati. Kakaknya Ibuku, dia seorang perias pengantin yang lumayan terkenal di daerah kami.

"Ayo, Rania. Kalau kesorean takut nanti hujan!"

"Iya, Bu."

Aku dan Ibu berangkat naik motor ke Rumah Budhe Wati. Jarak rumah kami tak terlalu jauh. Sekitar 1km, pakai sepeda motor sampai dalam waktu lima belas menit.

Budhe Wati sedang duduk di teras menunggu kedatangan kami. Sebelumnya Ibu sudah telepon dulu kedatangan kami.

"Assalamu'alaikum, mbak wati," Sapa Ibu pada kakak perempuannya

"Walaikum salam, Ina."

Aku mencium tangan Budhe Wati takzim.

"Ciee, calon pengantin! Aura udah keluar ya. Udah pantas sanding di pelaminan,"

Jleb.

Kata-kata Budhe Wati terasa hambar di hatiku, Aku hanya senyum-senyum menanggapinya. Ibu juga ikut senyum, rona bahagia terpancar di wajahnya.

Kami berdua masuk ke ruang tengah. Kebaya berbagai model terpajang di Etalase lemari. Budhe dengan antusias mengeluarkan model terbarunya.

"Ini kayaknya pas buat kamu Rania," Ucap Budhe Wati. Kebaya warna putih tulang.

Tak ada gairah untuk mencoba kebaya itu. Tapi Ibu memasangkan baju di di badanku. Mau tak mau harus mencobanya. Aku menuju ke ruang ganti, kebaya itu pas di badan ku. Aku melangkah keluar.

Ibu dan Budhe Wati takjub dengan penampilanku tak henti- hentinya memuji.

"Kamu cantik sekali Rania!" Puji Ibu Tapi semua itu hanya biasa saja bagi ku, tapi berusaha menyunggingkan senyum di hadapan mereka.

"Iya, cocok di kulit mu yang kuning langsat," Budhe Wati menimpali.

"Ya mbak, Rania pake kebaya itu aja. Hijab juga,"

"Siap," ucap Budhe Wati semangat.

Aku menghela napas pelan melihat kebahagiaan mereka.

****

Hari pernikahan tiba. Aku di rias cantik oleh Budhe ku. Sebelum di rias aku Nasehati tugas sebagai istri. Patuh dan taat pada suami adalah hal mutlak yang harus di patuhi seorang perempuan.

Aku hanya bisa menunduk, tak sadar air mata menetes di kedua pelupuk mata ku. Pernikahan apa yang akan ku hadapi? Sedang Hati kami sama-sama mencintai orang lain.

Aku menangis di pelukan Budhe Wati. "Yang sabar Rania, kalau kamu Ikhlas ada pahala buat kamu," ucap Budhe sembari mengusap air mata. Budhe Wati tau kalau aku punya hubungan dengan Roger.

"Udah jangan nangis, Budhe rias kamu dulu ya," Aku mengangguk sebagai jawaban.

Selesai di rias Terdengar suara ramai dari depan. Itu tandanya pengantin pria datang. Jantungku mendadak berdetak lebih kencang. Menjadi nyonya Ridho tinggal beberapa menit lagi.

"Ayoo Rania, Ibu anter ke depan, itu pengantinnya udah datang,"

"Iya Bu," Hati serasa mati rasa saat Budhe dan Ibu menuntun ku ke tempat akad nikah. Pikiran ku berharap Roger yang ada di depan penghulu. beberapa pasang mata menatapku, aku berusaha tersenyum menutupi hati yang sedih.

Aku kemudian menatap Ridho, calon imam ku, tak ada senyum di wajahnya. Ia seperti ku, tak menginginkan pernikahan ini terjadi. Semua ini hanya demi orang tua.

Ibu mendudukan aku di samping Ridho. Ia duduk di hadapan Ayah dan Pak penghulu.

Ridho mengucapkan ijab kobul dengan sekali tarikan napas. Tak ada bahagia, kosong. Aku tak percaya saat ini sudah menjadi Nyonya Ridho. Air mata ku menetes, bukan karena bahagia. Tapi aku teringat Roger di sana. Tapi mulai saat ini aku tekad kan untuk menerima Ridho sebagai suami ku.

Budhe menepuk bahu ku, untuk mencium tangan Ridho.

"Rania, cium lah tangan suami mu." Perintah Budhe melihat ku diam saja sembari menunduk.

Aku meraih tangan Ridho dan mencium tangannya. Dia meraih kepalaku lali menciumnya. Ia berbisik " Mulai saat ini kita harus pura- pura bahagia"

Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Ridho.

Malamnya kami mengadakan resepsi di gedung. Aku terpaksa memasang wajah senyum menyambut kedatangan tamu. Temen- temen ku dan teman Ridho datang untuk mengucapkan selamat. Kinanti juga datang, ia memeluk ku sebagai dukungan.

Selesai resepsi kita masuk kamar pengantin. Aku menatap nanar kamar pengantin ku. Di hias indah oleh Budhe Tapi hati tak berselera melihat itu. Secepatnya aku ingin mengganti baju pengantin ini lalu tidur.

Ridho sudah menganti bajunya dengan piyama tidurnya. Aku canggung, juga Ridho. Dia menyuruh ku duduk di pinggir Bed.

"Duduk lah Rania, aku ingin bicara," Ucap Ridho sambil menepuk bed pengantin kami. Aku maju pelan- pelan sambil mengatur napas ku lalu duduk di pinggir Bed.

"Kenapa tenang aja, aku tak menyentuh ku," ucap Ridho.

Aku bernapas lega usai mendengar ucapan Ridho.

"Ada apa? tanya ku hati- hati pada lelaki yang baru beberapa jam jadi suamiku.

Ridho terdiam sejenak menatap ku lekat. Aku bingung dengan tatapannya. Ia Seperti menguliti tubuh ku.

Ridho menunduk kemudian menghela napas panjang, ingin mengeluarkan semua uneg- uneg nya.

"Rania, kita menikah karena orang tua. Tak ada cinta di antara kita. kita jalani hidup masing-masing. Aku juga tak keberatan apabila kamu ingin kembali pada Roger, begitu juga dengan ku. Aku tak mau kamu mencampuri urusanku,"

Deg.

Jantung ku mendadak berhenti berdetak, padahal sudah ku putuskan untuk menerima Ridho tapi dia tak ingin aku mencampuri urusannya. Aku mencoba menelan pil pahit pertama setelah dua jam resepsi pernikahan.

"Sampai kapan? Apa kamu akan menceraikan aku?" tanya menatap Ridho lurus berharap ada jawaban di matanya. Tapi Ridho mengalihkan pandangannya.

"Baiklah, kita baik di hadapan orang tua masing-masing selebihnya kita adalah orang lain," Ucap ku akhirnya mengalah.

Ridho kemudian memelukku.

"Makasih Rania, kamu wanita yang baik,"

Aku terpaku dengan pelukan Ridho. Apa ini pelukan Terima kasih?

Bersambung.