Setelah sholat subuh, aku termenung di atas sajadah. saat ingin belajar menerima Rania, Arini hamil. Aku mengacak rambut sendiri. Bagaimana ini kalau Rania tau? Di satu sisi aku bahagia Arini hamil anakku, tapi di sisi lain merasa kasihan sama Rania. Selama ini aku cuek padanya padahal ia sudah berusaha menjadi istri yang baik. Padahal aku ingin membuka hati untuk Rania.
Mandi secepat kilat, kemudian berganti baju dan ingin pamit pada Rania. Terlihat dia sudah cantik dan bersiap berangkat ke kantor. Tapi menyempatkan menyiapkan sarapan untuk aku.
"Mas kenapa buru- buru? Sarapan dulu, aku sudah menyiapkan sarapan," ucap Rania tersenyum manis. Aku mendekat ke meja makan. Ada nasi goreng dan Ayam goreng di meja. Aku menarik kursi dan duduk di atasnya. Rania mengambilkan nasi untukku, terlihat ia senang melakukanya.
Kami menikmati sarapan bersama, tapi dari hati kecilku merasa bersalah pada Rania. Sekarang Arini sedang hamil. Bagaimana kalau Rania tau? Bayangan wajah Arini melintas di kepalaku.
"Mas, ko nggak di makan nasinya? nggak enak ya? tanya Rania.
Aku gelagapan mendengar pertanyaan Rania. Tubuhku di sini tapi tidak pikiranku.
Bab. 9. Menemui Arini.
Setelah sholat subuh, aku termenung di atas sajadah. saat ingin belajar menerima Rania, Arini hamil. Aku mengacak rambut sendiri. Bagaimana ini kalau Rania tau? Di satu sisi aku bahagia Arini hamil anakku, tapi di sisi lain merasa kasihan sama Rania. Selama ini aku cuek padanya padahal ia sudah berusaha menjadi istri yang baik. Padahal aku ingin membuka hati untuk Rania.
Mandi secepat kilat, kemudian berganti baju dan ingin pamit pada Rania. Terlihat dia sudah cantik dan bersiap berangkat ke kantor. Tapi menyempatkan menyiapkan sarapan untuk aku.
"Mas kenapa buru- buru? Sarapan dulu, aku sudah menyiapkan sarapan," ucap Rania tersenyum manis. Aku mendekat ke meja makan. Ada nasi goreng dan Ayam goreng di meja. Aku menarik kursi dan duduk di atasnya. Rania mengambilkan nasi untukku, terlihat ia senang melakukanya.
Kami menikmati sarapan bersama, tapi dari hati kecilku merasa bersalah pada Rania. Sekarang Arini sedang hamil. Bagaimana kalau Rania tau? Bayangan
" Eeh, iya. Ini aku makan." Aku memperhatikan Rania. Di terlihat cantik, fresh dan segar. Aku menghabiskan sarapan ini, karena memang enak.
"Makasih Rania, nasi goreng nya enak. Aku ke toko dulu ya," ucapku sembari mengelus lengan Rania. Ia mengangguk semangat.
Selesai sarapan, aku langsung ke garasi mobil. Menyalakan mobilku dan melajukan ke arah rumah Arini. Tak sabar mendengar kabar kehamilanya langsung dari mulutnya.
Mobilku berhenti di depan gerbang Arini. Tahu aku datang
Ia sudah menyambut antusias. Senyum merekah dari bibir Arini.
"Sayang, akhirnya kamu datang juga, Aku hamil, kamu harus menikahiku!" ucap Arini manja.
Aku menangkup wajah Arini. Ia terlihat bahagia. Aku juga bahagia, Saat ini ia sedang mengandung anakku. Membalas pelukan Arini dan mencium puncuk kepalanya.
"Sayang, kapan kamu menikahi ku? Todongnya lagi. Dia takut aku meninggalkanya setelah aku menanamkan benihku di rahimnya.
"Secepatnya sayang," Ucapku pada Arini.
"Makasih," Arini mendongak menatap ku kemudian memeluk pinggangku lebih erat.
*****
Pov Rania.
Hari ini damai duniaku, bisa memasak untuk suami, walau ada Mbok Yem tapi aku ingin memasak untuk suamiku. Dulu sebelum menikah aku terbiasa masak di rumah. Alhamdulilah semua suka masakan aku.
Selesai masak, mandi dan berganti pakaian kantor. Aku ke dapur mengambil piring juga gelas, menata ayam goreng di meja. Ridho tampak buru- buru ia juga sudah mandi. "Mas, kenapa buru- buru ini sarapan dulu,"
Kami sarapan bersama, hari ini adalah sarapan bareng pertama selama pernikahan kami.
Aku juga mengambil makanan untuk suamiku.
"Mas, silakan di makan," ucapku sambil tersenyum.
"Makasih Rania," Ucap Ridho. Tapi sebel um makan, ia sempet terdiam seperti memikirkan sesuatu. Tapi aku tak ingin berburuk sangka. Ia makan dengan lahap. Selesai makan ia mengelus tanganku dan mengucapkan terima kasih. Aku suka dengan perlakuan manisnya. Semoga ini awal yang indah batinku.
Di kantor Kinanti menatapku heran.
"Rania, kamu sedang bahagia ya," tanya Kinanti heran. Biasanya aku ke kantor dengan muka datar, Kali ini Aura Bahagia dari wajahku keluar.
"Ehhm, nggak juga sih. Cuma hari ini Ridho sikapnya sangat manis, aku suka."
"Cieee... " Ledek Kinanti.
"Syukurlah semoga Ridho bisa mencintai kamu ya Rania," ucap Kinanti merangkul pundaku.
"Amin,"
"Udah, yuk kerja, orang- orang di luar sedang menunggu kita."
"Okee... Oke.."
Kami berdua menyalakan komputer lalu pak satpam membuka pintu kantor Bank. Dua masuk yang masuk. Satu orang ke Teller, dan satu orang lagi ke Customer service. Kinanti sebagai teller sedang aku di bagian Customer service.
Seharian melayani Customer berjalan lancar. Mungkin moodku sedang baik hingga mempengaruhi pelayanan. Sepulang dari kantor aku berniat belanja bulanan untuk makan malam. aku telepon Ridho ingin tanya di masakin apa. Tapi tak di angkat, ponselnya tak aktif.
Sampai rumah aku membawa dua plastik belanjaan. Mbok Yem dengan semangat menyambutku. Dia langsung menaruh bahan makanan di kulkas.
"Mbok Yem, nanti bantuin masak ya,"
"Siap mbak Rania," ucap Mbok Yem semangat.
Aku dan mbok Yem masak untuk makan malam ini. Tak tau perasaan ini kenapa begitu semangat? Aku tak tau ini perasaan apa? Tapi yang jelas aku menikmatinya. Masak telah selesai, mandi dan dandan tipis di wajahku. Rambutku biarkan tergerai. Kata Mbok Yem, aku lebih cantik saat di gerai rambutnya. Aku menghubungi Ridho. Ponselnya masih tak aktif. Tak putus asa, aku mengirim chat padanya.
["Mas, mau pulang jam berapa?"] tapi centang satu.
"Kemana dia ya?" Gumam ku. menghampiri Mbok Yem. Mengutarakan kegelisahan ini.
"Mbok Yem, kemana Mas Ridho ya? udah hampir magrib tapi dia belum pulang juga? Padahal biasanya jam lima udah pulang.
Mbok Yem menatap ku sambil tersenyum.
"Mbok, kenapa malah tersenyum?" Tanyaku heran.
"Itu artinya sudah rasa di hati mbak Rania, semoga Mas Ridho tau itu ya. Kalian bisa hidup bahagia, sabar Mbak Nanti juga Mas Ridho pulang, kan ada yang menunggu di rumah,"
Aku menunduk malu mendengar ucapan Mbok Yem, tak tau lah perasaan berbunga- bunga bermekaran di hatiku. Yang terpenting saat ini aku berusaha menerima suamiku.
Suara mobil berhenti di teras, itu pasti Mas Ridho. Batinku. Aku berlari kecil untuk menyambutnya. Ridho keluar dari mobilnya. Ia memasang wajah datar dan dingin beda saat tadi pagi.
"Ehmm, Mas Ridho lagi banyak pelanggan ya? di toko ramai ko baru pulang?"
Ridho diam saja, hanya melirikku kemudian berlalu.
Jleb.
Aku di cuekin lagi.batinku.
"Rania!! Panggil Ridho keras. Aku berlari kecil menghampirinya. Wajahnya meradang. Jantungku serasa mau lepas, anganku di sapa manis olehnya seakan di jatuhkan dari atas awan Jatuh terjerembab di dasar lembah. Suamiku kembali seperti awal pernikahan. Dingin, cuek terkadang keras. Padahal aku baru saja membuka hati untuknya.
"Ada apa Mas? tanyaku tak sadar bibir bergetar menahan sakit di dada.
"Tolong siapkan air hangat! Aku mau mandi! Perintah Ridho tegas.
Aku masih terpaku di depannya, tak percaya kalau Ridho berubah secepat itu. Terus apa artinya dia berjanji di rumah orang tuaku kemaren?
"Kenapa benggong Rania Maharani! Bukankah kata mu ingin menjadi istri yang baik? Maka lakukan sekarang!" Hardik Ridho.
"Eeh, iya." Aku tersentak kaget.
memegangi detak jantungku yang naik turun. Lalu berbalik badan menuju ke kamar Ridho, menyalakan shower hangat untuknya. Tes. Air mataku tak sadar menetes. Mengusap air mataku, tak mau Ridho melihatku menangis. Tak lupa Menyiapkan handuk juga bajunya. Aku harus sabar menghadapi ini. Mungkin ini ujian dari Allah.
Air hangat telah siap, menemui Ridho yang duduk di sofa, di tangan kirinya memegang ponsel sambil senyum- senyum. Ia tak menghargai perasaanku yang berdiri di sampingnya. Sekuat tenaga menahan air mataku yang ingin keluar.
"Mas, itu air hangatnya sudah siap, handuk dan bajunya juga," ucapku selembut mungkin. Tak mau suami marah karena aku salah ucap.
"Makasih," ucap Ridho datar.
Bersambung.