Sampai Irwan menyerah dan kemudian keduanya melaju pergi menuju kediaman mereka sendiri-sendiri.
Keduanya kembali berpisah di persimpangan jalan, Arsya ke kanan dan arah rumah Irwan ke kiri.
***
"Kak Arsya balik jam berapa, sih? Lama bener," gumam Radit tidak tenang.
Dia sampai bolak-balik ke jendela untuk mengintip ke luar, untuk melihat apakah mobil Arsya sudah ada atau belum di bawah.
Tapi tidak ada tanda-tanda apa pun. Radit pun menutup buku komik yang tadi sudah dia baca seperempatnya.
Dia turun dari kasur dan membuka laci meja, di kamar Arsya.
Laci yang menjadi tempat obat-obatan itu, menjadi tempat kakaknya menyimpan obat.
Radit sudah biasa lagi mengubrak-abrik kamar Arsya. Mereka sudah terlalu dekat untuk tahu tempat penyimpanan masing-masing.
Radit menilik-nilik obat yang sudah diberikan oleh ibunya sendiri pada kakak tirinya itu.
Dilihatnya, dosis yang tertulis masih sama. Tapi ada beberapa obat baru yang ada, dan bahkan dalam jumlah yang tidak sedikit.
Radit pun mengambil handphone-nya untuk menuliskan nama obat tersebut dan dia kenali kandungannya di internet ataupun bisa dia tanyakan pada teman dekatnya di jurusan farmasi.
Tapi, saat dia ingin mencatat tiba-tiba seseorang masuk ke kamar Arsya ini.
Radit terkejut. "Mama?"
Nia memelototi Radit yang terlihat sedang memegang obat-obatan milik Arsya.
Dia berjalan cepat menghampiri anaknya dan langsung merenggut obat-obatan itu.
Dimasukkannya langsung ke dalam laci lagi. Radit jutidak bisa mencegah sang ibu.
"Ma, kenapa Mama belum tidur?" tanya Radit kikuk. Dia mencoba mengalihkan.
"Radit, mau apa kamu periksa-periksa obat Arsya? Hah? Mau bocorin semuanya?" tanya Nia melotot dan rahangnya mengeras.
Terlihat sangat emosi ditambah raut wajah ketakutan kalau rahasianya dibongkar oleh anaknya sendiri.
Tapi, Radit justru terlihat lebiih takut karena kepergok oleh si pelaku yang tidak lain adalah ibunya sendiri ini.
Si pelaku yang menjadi dalang atas candunya Arsya terhadap obat-obatan.
"Ma, Radit hanya –"
"Hanya apa? Hanya ingin ngebocorin rencana Mama, iya?" Nia sangat marah. "Kamu mau ngehancurin tujuan yang sebentar lagi akan kita capai? Hem? Iya? Awas ya, Radit. Kalau sampai kamu berani bocorin rencana mama yang sudah mama susun dari dulu …."
"Tujuan kita? Radit tidak pernah ingin terlibat sama rencana Mama. Udahlah Ma, jangan lakuin ini terus. Kasihan kak Arsya. Dia jadi tidak bisa hidup tanpa obat-obatan, Ma."
"Buka pikiran kamu, Radit! Kamu harus lebih realistis, Mama lakuin ini demi kamu juga. Kalau enggak gini, kamu enggak bakal dapet apa-apa dari harta kekayaan Ayah tiri kamu. Kamu mau jadi pesuruhnya Arsya?"
"Radit lebih baik jadi pekerja biasa Ma, daripada Radit harus dukung rencana Mama."
Radit kemudian memegang tangan Nia, sambil melihat kedua bola matanya yang terlihat hampir keluar dari kelopak mata ibunya tersebut.
Saking ambisi sama amarahnya yang beradu padu. Mata Nia yang belotot itu semakin membulat saja.
"Ma, udah ya … jangan lakuin lagi. Besok mending kita bawa kak Arsya rehabilitasi, ya Ma? Radit enggak perlu harta kok Ma, Radit hanya ingin keluarga kita rukun. Biarpun Radit enggak akan jadi pewaris, yang penting Radit bahagia dan Mama enggak perlu ambisius begini, Ma. Lagi pula kak Arsya memang lebih berhak untuk dapetin harta dari Ayahnya sendiri. Bukan Radit. Radit masih bisa bersyukur bisa dikuliahin, dikasih makan sama fasilitas yang enak. Radit bisa sukses dengan usaha Radit sendiri, Ma. Walaupun mungkin perjuangannya tidak akan instan."
Nia kemudian menepis kedua tangan radit yang memegang kedua bahunya.
"Enggak, Radit!." Nia membentak sang anak dan menunjuk-nunjuk wajah Radit. "Mama ingin kamu bahagia, Mama lakuin ini demi kamu! Kamu harus dukung Mama."
"Dari dulu, Ma. Dari dulu alasan Mama seperti itu sampai Papa pun Mama bunuh juga."
DEGGG!
Radit meringis sendiri membahas kematian ayahnya yang sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri.
Biarpun ayahnya sudah memperlakukan mereka dengan semena-mena, tetap saja Radit tidak setuju kalau ibunya mengotori dirinya sendiri saat itu dan berhasil menyembunyikan kasus kematian ayahnya.
Tapi, hasilnya tetap saja kalau harta ayahnya tidak bisa jatuh pada Radit dan ibunya. Melainkan, diambil alih oleh orang tua dan saudara-saudara kandung ayahnya.
Sejak saat itu pun, putus sudah hubungan Nia dengan keluarga besar suami terdahulunya itu dan Radit pun terpaksa ikut Nia dan juga terpaksa tidak berkomunikasi dengan keluarga besar ayahnya.
Seolah tidak ada kata kerabat, tidak ada kata cucu untuk Radit.
Radit juga tahu kalau ibunya merebut ayah Arsya dari istrinya.
Radit masih ingat, dulu ibunya Arsya melabrak ibunya—Nia ke rumah kecil mereka.
Tapi, bukannya si pelabrak yang menang, justru ibunya—Nialah yang dengan kasar mencengkeram tangan ibunya Arsya dan bahkan sampai menamparnya.
Mengetahui ibunya yang bisa menempati posisi ibunya Arsya, Radit sebenarnya kecewa berat pada Nia.
Tapi, dia hanyalah seorang anak yang masih berpangku tangan pada ibunya dan karena ibunya menikah lagi pun Radit bisa melanjutkan sekolah dan hidup dengan layak.
Meskipun ada hati istri pertama yang terluka dan lebih memilih meninggalkan rumahnya sendiri.
Meninggalkan anaknya yang hampir saja gila dan mungkin akan tetap depresi karena dicekoki obat terus oleh Nia.
Radit terasa perih sekali, dia harus tetap bungkam atas semua kejahatan ibunya.
Dan saat mereka masih bersiteru, suara deru mobil datang. Itu Arsya!
Keduanya langsung mendekati jendela, melihat ke bawah di mana mobil Arsya sedang memarkirkan diri ke bagasi dan pak Dodo menutup gerbang rumah.
Tumben Arsya memarkirkan mobilnya sendiri, pikir Radit.
Tapi itu bukanlah hal yang mesti dipikirkannya sekarang.
Ibunya pun menatap anaknya. Menatap penuh dengan ancaman.
"Ingat ya Radit, awas kalau kamu bongkar rencana Mama." Nia memelototi Radit dan dia pun segera pergi ke luar.
Radit hanya diam, dia bingung harus melakukan apalagi agar ibunya sadar.
Membocorkan kelakuan ibunya juga akan beresiko, Radit juga tidak ingin kalau Nia nanti masuk penjara.
Radit berada di pilihan yang sulit, ketika hatinya ingin memihak kebenaran tapi logiknya yang lain juga menyuruhnya melindungi ibunya dari ancaman jeruji penjara.
Arsya membuka pintu dan seketika dia terkejut karena lampu langsung menyala saat dia masuk.
"Mama?"
Nia tersenyum padanya dan mendekati Arsya yang masih belum melangkahkan kakinya.
Anak tirinya itu masih mematung. Ada ketakutan dalam dirinya untuk enggan ditanya-tanya.
"Arsya, kamu dari mana, Sayang? Hmmm?" Nia mengelus-elus rambut Arsya.
Arsya ragu untuk menjawab jujur. Jadinya, dia hanya menjawab setengah dari kebenaran yang ada.
"Arsya tadi anter temen, Ma." Arsya tersenyum simpul, matanya bisa dibaca oleh Nia kalau anak tirinya itu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Ke mana? Ke Club?" Nia menduga-duga.