Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 33 - Tuan adalah Bosnya

Chapter 33 - Tuan adalah Bosnya

Masalah hubungan dengan para bawahannya, Arsya lebih memilih jaga jarak dan dia pun tidak tahu nama satu persatu pegawainya karena baginya hal itu bukanlah masalah dan menurut Arsya andalannya Bram sudah dianggap kompeten untuk mengatur semuanya.

"Oh ya Sal, gimana pekerjaanmu?" tanya Arsya basa-basi, itung-itung mengobati rasa malu Salma yang tadi.

Salma tercengang, akhirnya Arsya bertanya sama dia dong … hal yang dia harapkan sejak dulu.

"Ah? Oh, pekerjaan alhamdulillah kok Pak. Baik-baik aja." Salma semakin gemetar, tapi hatinya sungguh berbunga-bunga.

Bisa-bisa malam ini dia memimpikan Arsya, melelehnya hati Salma.

Arysa pun tidak bertanya lagi, dia rasa sudah cukup ramah sikapnya selaku atasan dengan bertanya hal sesederhana itu.

Seketika pintu pun terbuka, mereka berdua keluar dan Arsya jalan lebih dulu.

Memang sudah karakter yang mendarah daging, Arsya pergi begitu saja tanpa pamit atau berbasa-basi pada Salma.

Salma menghentakkan kakinya kesal, tapi dia tidak marah karena tadi di dalam lift Arsya sudah membuatnya hampir jatuh pingsan karena tersanjung.

Ditanya Bos muda dong, yang super misterius itu.

Sikap Arsya sudah diketahui semua orang di sana, dia itu orangnya plin plan, moodyan, kadang ramah kadang juga sangar.

Tak tentu arah. Tapi, Salma tidak begitu keberatan juga kalau Arsya tidak pamitan padanya karena lagipula Salma cukup sadar diri kalau dirinya hanya seorang pegawai.

Status Arsya yang masih dikabarkan jomlo itulah yang membuat Salma penasaran dan selalu mencoba mendekatinya, siapa tahu dia bisa menjadi istri Bosnya sendiri kan?

Tidak ada yang bisa menduga itu.

Salma pun pergi sambil tersenyum-senyum, beberapa pegawai yang berpapasan dengannya sungguh terheran-heran akan hal itu hingga dia berpapasan dengan Bram.

"Pagi Bu Salma," sapa Bram sopan.

Salma mengangguk dan melempar senyumnya pada Bram. "Pagi Pak Bram."

Keduanya berhenti melangkah karena Bram memberhentikan Salma.

"Bu Salma mau ke mana?" tanyanya basa-basi.

"Saya mau bertemu sama Pak Yosep, ada yang mau dibicarain. Bukannya sama Bapak juga, ya?" Telunjuk Salma mengarah ke dada Bram.

Lelaki itu jadinya gugup.

"Oh, oh … iya iya. Silakan masuk dulu! Soalnya ada hal yang harus saya bicarakan dulu sama pak Arsya," jelas Bram kelabakan.

Ditatap Salma seperti itu membuat dirinya jadi sering salah tingkah.

"Sip Pak, saya masuk ya. Tadi pak Arsya juga baru masuk ruangan." Salma melirik jalanan yang tadi dilewati Arsya.

"Iya, pak Arsya juga sudah hubungi saya. Kalau begitu saya pergi dulu ya, Sal." Bram berlalu setelah mendapat senyuman dari Salma yang berarti mengiyakan.

"Makhlukmu cantik banget ya Alloh …." Bram bergumam sambil berjalan, dia memang menyukai Salma sejak awal Salma datang ke sini.

Tapi hatinya juga kadang-kadang plin plan karena dia juga menyukai Hana.

Bram kemudian mengetuk pintu ruangan Arsya.

TOK! TOK! TOK!

"Ya, masuk!" Terdengar suara Arsya dari dalam mempersilakannya.

Bram pun memegang gagang pintu dan menekannya ke bawah.

Ditemuinya Arsya sedang mengutak-atik komputernya dan menoleh pada Bram.

"Gimana, Bram?" tanya Arsya tapi penglihatannya tetap fokus pada komputer.

"Masalah kemarin sudah saya atasi Tuan, sekarang juga aka nada rapat untuk mensosialisasikan kepada setiap departemen bagian untuk lebih teliti dan saya juga akan menyampaikan kembali kebijakan-kebijakan baru yang sudah disampaikan oleh Bu Nia." Senyum Bram terpaksa.

Menyebut nama perempuan yang seperti penyihir itu membuatnya merinding karena dengan Nia ikut campur dalam perusahaan, sistemnya jadi otoriter dan terkesan jahat.

Alih-alih mengatasnamakannya disiplin jadi berasa seperti pemerasan pikiran.

Bisa-bisa para pekeraja stress dengan kebijakan yang berubah-ubah serta banyak menuntut itu.

Tapi Nia kekeh kalau para karyawan nanti juga akan terbiasa jika diawali dengan paksaan karena mereka juga butuh bekerja terlebih sekarang mencari kerja semakin susah.

"Good! Kamu memang selalu bisa saya andalkan Bram. Tapi mengenai kerugian apa bisa ditutup? Atau klien bisa memaafkannya? Setidaknya … gituh?" Arsya menatap Bram, mengharapkan jawaban yang keluar dari Bram sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Arsya.

Bram tersenyum. "Nah, itulah Tuan. Bagusnya klien kita paham karena sudah berlangganan lama jadi mereka memaklumi kalau dalam produksi pasti akan ada kesalahan yang bisa saja terjadi."

Arsya menjentikkan jarinya. "Good Job! Ayah pasti enggak akan lagi uring-uringan nanti."

"Cuman mereka berpesan, diproduksi yang seterusnya jangan sampai ada lagi kejadian dan kalau sampai mereka dikecewakan lagi ya … mereka akan beralih tempat kerja sama. Katanya, masih banyak perusahaan yang lebih bisa kompeten."

Arsya terdiam sejenak sebelum dia membalas ucapan Bram, kemudian Arsya tersenyum sinis.

"Enggak apalah, sudah biasa para klien manja seperti itu. Buktikan saja pada mereka kalau perusahaan kita memang terbaik se-Asia Tenggara. Jangan ragu, Bram."

"Baik Tuan, baik."

"Oh ya, dan satu lagi. Saya sengaja datang pagi karena memang banyak yang saya urusin, kamu paham itu."

"Iya, Tuan. Jadi?"

"Ya … supaya saya juga bisa pulang setengah hari untuk mengurusi kuliah saya." Arsya tersenyum, menggoda Bram dengan kebiasaannya yang sulit dihilangkan yaitu pulang setengah hari untuk alasan kuliah ataupun beberapa alasan yang tidak masuk akal.

Meskipun memang Arsya selalu menyelesaikan tugasnya lebih awal tetapi tidak bisa dipungkiri juga kalau ketidakberadaannya di kantor terkadang membuat hal-hal yang mendesak yang perlu adanya kehadiran dirinya –terpaksa Bram selesaikan seorang diri.

Apalagi kalau Arsya menghindar dengan tidak mengangkat telepon dari Bram.

"Terpaksa harus saya izinin karena Tuan adalah Bosnya." Bram tersenyum bersamaan Arsya juga tertawa, Bram sudah paham lagi maksud Tuannya apa.

"Si Hana mana lagi belum ke sini, nanti siang saya suruh dia temenin Tante saya si Litta. Katanya mau lihat produksi yang bikinin orderan baju rancangan dia. Tapi sebelum itu pastiin dulu di lapangan baik ya Bram, kamu hubungi Supervisornya suruh koordinasi ke semua Leader-nya agar nanti si Litta enggak ngamuk-ngamuk kalau dia lihat ada yang kurang bagus saat mengerjakan orderan dia."

Bram mengerti maksud Arsya, dia pun mengangguk.

"Ngomong-ngomong Nyonya Litta enggak sibuk emang? Biasanya dia suruh bawahannya untuk cek produksi."

"Dia rindu ponakkannya kali, hahaha. Oh ya, saya lupa Bram. Hari ini si Radit udah mulai kerja di sini, kamu damping dia ya!" Arsya jadi ingat kalau dulu dia saat mereka kecil keduanya saling berebut mainan.

Selisih mereka hanya beda lima tahun, dan dulu adik ayahnya itu selalu merusak mainan Arsya makanya Arsya selalu geram dan pernah meninju wajah Litta.

Samar-samar Arsya mengingatnya, tapi Litta adalah termasuk orang yang akrab dengan dia setara dengan Hana. Sama-sama ngejengkelin Arsya tapi tanpa mereka Arsya tidak akan merasa punya orang dekat.

"Siap, Tuan."

Arsya percaya kalau Radit nantinya akan mudah untuk beradaptasi dan juga bisa mengerjakan tugasnya dengan baik.

Radit cukup cerdas menalar apa pun dan kinerjanya juga sudah bisa diprediksi Arsya kalau adik tirinya itu akan lebih baik darinya, Radit akan lebih rajin.

"Eh, kebetulan nih orangnya nongol," celetuk Arsya setelah Hana sekonyong-konyong masuk ke ruangannya.

Perempuan yang dulu tomboy itu memang sangat sulit menghilangkan kebiasaan buruknya yang seringkali tidak sopan, apalagi kalau sudah akrab.

"Hehe, maaf tadi gue mules. Hampir enggak ingin masuk gara-gara haid pertama." Hana beralasan, tapi alasan yang memang jujur.

Arsya dan Bram yang keduanya lelaki saling tatap satu sama lain.

Jelaslah mereka enggak bakal ngerti rasa mules Hana seperti apa, meskipun mereka sudah sering melihat perempuan kesakitan karena datang bulan.

"Kenapa lihat-lihatan seperti itu? Kalian kira gue bohong apa?" tanya Hana mencurigai keduanya.