Chereads / The Little Touch / Chapter 19 - Di antara manusia

Chapter 19 - Di antara manusia

Georgia masih memandang ke arah Nayla dan Alan. Ia merasakan jika diantara keduanya terdapat sesuatu hal yang sulit dicerna oleh logika.

"Apakah mereka pacaran? Gila! Tapi, Alan memang sangat tampan! Sial, aku kalah satu langkah dari Nayla!" umpatnya kesal,

"napa sih? Nayla selalu saja terdepan? Hadeh, selalu saja menikungku di persimpangan!" umpat batin Georgia.

Wajah cantiknya seketika cemberut, ia merasa tersaingi dengan Nayla yang berwajah sangat asia dan memiliki kulit yang eksotik indah.

Gwendolyn memperhatikan Nayla yang duduk tenang tanpa berpikir buruk atau menggerutu. Berbeda dengan Georgia.

"Baiklah, kalian pasti lapar sebaiknya kalian makanlah dulu!" ajak Gwendolyn.

Ia mengetahui apa yang sedang Georgia pikirkan mengenai Nayla. Ia tidak ingin jika keduanya memulai persaingan yang menyulitkan putranya.

Gwendolyn mengenal putranya yang sedikit takut berdekatan dengan manusia mana pun, kecuali dengan Nayla.

"Nayla yang, baik!" batin Gwendolyn.

Akhirnya Georgia dan keempat temannya sarapan.

Nayla masih sibuk menonton TV. Ia masih penasaran dengan apa yang diberitakan.

"Apakah mungkin para vampir ini sedang membuat sebuah koloni?" batin Nayla.

Ia melirik ke arah Alan yang juga begitu seriusnya menyimak berita. Nayla merasa jika Alan adalah monster yang sangat baik.

"Jika semua monster seperti Alan dan keluarga Thompson ... Dunia akan indah!" batin Nayla.

Nayla menarik napasnya perlahan, "Alan dan keluarga Thompson adalah vampir yang sangat baik! Tapi, bagaimana dengan vampir di luar sana?" batin Nayla.

Ia sedikit galau mengingat vampir berbentuk burung tersebut dengan kulit dan tubuh yang sudah mengering, berwarna putih, dan kepala botaknya.

"Itu sangat mengerikan, mereka juga memiliki sayap. Membedakan pria dan wanita hanyalah rambut mereka.

"Jika vampir bersayap tersebut pria, mereka tidak memiliki rambut sedangkan wanitanya memiliki rambut dan daging kenyal di bagian dada," batin Nayla menganalisa.

Ia berusaha untuk menganalisanya, ia berharap menemukan jawaban dibalik semua itu.

Alan hanya diam mematung seperti patung indah di salah satu sofa. Ia berusaha menjauhi keenam manusia di dalam rumah tersebut.

Namun, ia tidak bisa jauh dari Nayla.

Agatha begitu bersemangatnya dengan manusia-manusia yang berada di rumahnya. Ia terlalu suka berbaur dengan manusia di mana pun.

Alan mengeryit, ia merasa jika privasinya sudah tidak ada lagi. Ia sedikit mendengus kesal, ia melirik dengan ekor matanya. Melihat Nayla yang begitu seriusnya menatap layar televisi di depannya tanpa bergeming.

Ia juga tidak peduli dengan semua sahabat-sahabatnya yang manusia. Alan memandang satu per satu tamu Gwendolyn.

Ia merasa kelimanya bukan tamunya selain Nayla, "Apa yang sedang dipikirkan Nayla? Aneh, jika ia begitu serius dan memusatkan perhatian kepada sesuatu aku tidak bisa menembusnya!" batin Alan.

Ia masih terus mengamati Nayla, "Ehm! Ehm! Hai, Alan! Apa kabarnu?" tanya Georgia duduk di antara Nayla dan Alan.

Alan melirik sekilas ke arah Georgia. Ia sudah ingin marah, sebaliknya ia berusaha bersikap manis karena ibunya akan marah.

"Aku baik-baik, saja!" balas Alan. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa.

Alan merasa hanya Naylalah yang bisa membuatnya berbicara banyak hal dan tidak bersembunyi di balik guanya. Nayla benar-benar membawa sebuah keajaiban kepadanya.

"Maukah kau mengajari kami untuk berlatih untuk mengalahkan vampir?" tanya Georgia.

"Aku tidak bisa! Mintalah kepada Mom, Pap, atau Agatha!" balas Alan.

Ia tidak ingin berdekatan dengan manusia lain. Ia takut jika mereka berdarah dan ia akan melakukan sebuah kesalahan.

Alan tidak bisa menguasainya di dalam hal itu, berbeda dengan Agatha, Gwendolyn, dan Andre.

Georgia sedikit kecewa mendengar semua itu, ia berharap agar Alan memperhatikannya seperti dia memperhatikan Nayla.

"Apakah jika Nayla yang memintamu untuk mengajarinya kamu pasti mau, Bukan?" tanya Georgia.

Alan memandangnya sejenak, "Tentu, saja!" batin Alan.

Ia hanya memandang Georgia sejenak, "aku tidak tahu!" balas Alan.

Ia melesat secepatnya ke kamarnya meninggalkan semuanya. Ia merasa gerah berada diantara kerumunan manusia-manusia yang memiliki degup jantung dan aliran darah yang berdenyut di sana.

Ia takut, baru kali ini dia merasakan dekat dan berada di antara sekumpulan manusia. Alan melesat ke luar dari jendeka kamarnya menembus udara pagi.

Alan benar-benar tidak ingin pulang ke rumah Thompson yang penuh dengan manusia. Ia sangat lelah untuk itu. Ia lelah terus-terusan berada di dekat Nayla dan kini hadirnya Georgia di antara mereka dengan empat orang temannya yang lain.

Alan pergi menyusuri hutan yang lebih lebat, ia tidak ingin pergi ke Winging Dark pada siang hari karena hal itu akan memicu para masyarakat untuk mencurigainya.

Alan berusaha mencari jejak vampir bersayap tersebut, melesat dari pohon ke pohon, melekat seperti bunglon bila berpapasan dengan manusia.

"Aku harus berburu! Aku tidak ingin menerkam salah satu manusia itu, hadeh! Buat pusing saja," gerutu Alan.

Ia melihat seekor beruang dan langsung menerkamnya, mencengkramkan kedua tangannya di kepala si beruang. Berusaha untuk menghisap darahnya.

Namun, beruang pun tidak ingin membiarkan dirinya dimangsa oleh monster. Ia berusaha untuk melawannya, pada akhirnya pertarungan kecil itu terselesaikan dengan Alan membuat sentuhan kecil di lehernya.

Setelah merasa puas, Alan melanjutkan perjalanannya mencari privasinya sendiri. Ia ingin menyendiri, "Sebaiknya aku mencari tempat untukku!" batinnya.

Ia terus bergerak secepat kilat, ia tidak peduli dengan banyak hal. Berlomba dengan burung-burung dan tertawa.

Alan tidak menyadarinya jika ia sudah semangkin jauh meninggalkan Signpost Forest. Ia sudah berada di suatu lembah Land Sherk.

Sebuah lembah yang indah penuh bunga beraneka warna dan sungai kecil berair jernih. Penuh dengan tumbuhan pakis. Alan merebahkan tubuhnya di antara bunga-bunga tersebut.

Mencoba memejamkan matanya, ia ingin sebuah kedamaian. Akan tetapi, bayangan Nayla selalu saja menghantui.

Memaksanya untuk terus kembali lagi, "Mengapa bayangannya selalu saja menggangguku?" batin Alan.

Ia membuka matanya berharap cahaya matahari menyinarinya dengan keindahan. Alan hanya diam tidak bergeming bagaikan sebuah patung yang sedang telentang menatap langit biru.

"Aku tidak peduli apa yang akan terjadi! Aku akan melindungi Nayla sepenuh jiwaku," batin Alan.

Malam semangkin merayap turun, ia mencoba tidak akan pulang ke rumah. Ia lelah harus berkumpul dengan aroma wangi darah manusia.

Akan tetapi, ia merasakan kerinduan terhadap Nayla. Ia mencoba untuk melupakannya.

"Aku harus bisa melupakannya! Aku harus mencobanya," batin Alan.

Alan tidak menghitung berapa lama ia berbaring di antara bunga-bunga indah berwarna-warni yang sedang mekar.

Di antara hembusan angin dan gemercik air sungai yang mengalir bagaikan kidung indah yang mengantarkan seribu kata cinta dan kerinduan akan sosok Nayla.

Senja mulai datang, suara-suara binatang malam mulai menandakan malam penuh kegelapan dan semua rahasia yang membawa seribu duka dan bahagia.