"Mengapa ia begitu bersemangat," tanya Lachlan "bukankah dia sudah sangat pintar, apa gunanya belajar dan berlatih?"
tambahnya.
"Apa kau bodoh!!" tangkas Ivana sambil melayangkan buku kearah Lachlan. "tanpa latihan kau takkan tau apa saja yang bisa kau kuasai" tambahnya
"aduh. ini sakit kau tahu. berhenti melempar benda kearahku!!!" tegas Lachlan sambil menggosok-gosok pipinya.
"kau terlalu manja. buku itu bahkan tidak sampai 100 halaman" Balas Ivana menatap tajam Lachlan.
"sudahlah!! berhenti mendebatku"
Lachlan membalas tatapan tajam Ivana. begitulah hubungan keduanya setiap bertemu. selalu berdebat tentang apapun yang dibicarakan.
tapi Lachlan sedikit tersadar saat Ivana mengatakan 'tanpa latihan kau takkan tau apa saja yang bisa kau kuasai'.
Lachlan mulai berpikir apa sebaiknya ia memulai untuk melatih kemampuannya. Tapi percuma jika tak memiliki petunjuk sedikitpun, bagaimana cara agar ia bisa mengontrol kekuatan yang dimilikinya.
"Heii Lachlan, mengapa kau begitu serius melihatnya?" tanya Ivana heran saat Lachlan begitu serius mengamati Mahrez.
"Hmmmm tidak, hanya saja dia terlihat aneh" jawab Lachlan sambil tertawa. Ivana kembali bertanya dengan raut wajah yang semakin membingungkan "Aneh? Apanya yang aneh?"
"Entahlah" Lachlan mencoba menahan tawanya, melihat wajah Ivana yang dipenuhi rasa penasaran membuat tawanya semakin lepas "hei aku hanya bercanda" tegasnya dengan tawa yang semakin besar.
"Ini bukan kelas teater!" Mahrez memotong percakapan mereka, "jika hanya ingin tertawa ria pergilah kekelas teater, kebetulan mereka sedang praktik kelas komedi" tambahnya dengan mata sinis.
Lachlan yang tadinya sedang tertawa lepas, dengan spontan terdiam dan mendekati Mahrez dengan wajah kesal.
"Apa maksudmu?" tanya Lachlan sambil mendekatkan wajahnya dengan wajah Mahres. Dengan santainya Mahrez menjawab
"Haruskah kujelaskan" sembari memalingkan wajahnya dari hadapan Lachlan.
"Kau ini!!!" sahut Lachlan geram, di saat bersamaan Lachlan mengangkat kerah baju Mahrez yang tak peduli dengan pembicaraan mereka.
"Heii Lachlan sudahlah!" cegah Ivana dari belakang, "biarkan saja dia" Ivana mencoba menenangkan Lachlan yang tiba-tiba terbawa emosi
"Heh, bertengkar denganmu tidak ada gunanya bagiku" gumam Mahrez, "tapi aku bersedia jika kau siap dikekuarkan dari sekolah" tambahnya sinis sambil berjalan keluar kelas.
"Oiii, apa yang kau lakukan? Lachlan" bentak Ivana dengan wajah marah, "apa kau lupa? Jika kau bertengkar maka sekolah akan mengeluarkanmu" tegasnya.
"Yaa aku ingat" jawab Lachlan, "tapi tingkah lakunya benar-benar menjengkelkan" gumam Lachlan pelan.
* * *
"Hari yang membosankan" kata Lachlan sambil berjalan meninggalkan pekarangan sekolah. "Mari kita buat menyenangkan" sahut seseorang dari belakang. Mendengar suara itu Lachlan seketika menoleh sambil memicingkan mata.
"Heii heii! Kapan kau kembali" tanya Lachlan gembira, "seharusnya kau mengabariku, Felix?" Tambahnya bercanda. "ohh, apakah itu harus? " jawab Felix sembari berjalan mendekati Lachlan.
Felix adalah salah satu teman sekelas Lachlan, yang menjadi perwakilan sekolahnya untuk bertanding catur dikancah Internasional. Ia sangat ahli dalam bermain catur. Namun, buruk dalam hal pelajaran layaknya Lachlan.
"Tapi aku tak melihatmu dikelas tadi, apa kau ikut bolos dengan mereka?" ungkap Lachlan penasaran.
"Ahh bolos itu kebiasaanmu" tangkas Felix cepat. "Aku baru pulang dari pertandingan yang melelahkan, dan kau menuduh seenaknya" rintihnya pelan dalam perjalanan pulang bersama Lachlan.
"Jadi bagaimana? Menang tidak" tanya Lachlan sedikit mengejek.
"Apa pernah kau melihatku kalah dalam pertandingan?" balas Felix.
Di tengah perjalanan pulang Dengan secangkir kopi dingin di masing-masing tangan mereka yang mereka dapatkan secara gratis, setelah membantu pemilik kedai kopi itu memindahkan barang-barangnya dari truk ke ruang penyimpanan.
Hal yang sering mereka berdua lakukan ketika pulang dari sekolah. Bahkan mereka tak ragu membantu seorang gelandangan untuk mendapatkan uang agar gelandangan itu bisa membeli makanan.
Sifat baik yang sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, mereka lebih suka menolong dengan tangan mereka sendiri daripada uang.
Inilah sebab mengapa Ivana memiliki cara pandang berbeda dari teman-teman sekelasnya terhadap Lachlan. Ia sering mengamati Lachlan yang sedang membantu orang-orang di sekitarnya.
Ivana sering menawarkan tumpangan kepada Lachlan saat pulang sekolah karena arah rumah mereka sama, hanya berbeda beberapa blok perumahan saja.Namun karena Lachlan selalu menolak tawarannya dengan alasan 'aku masih punya urusan lain' lah yang menyebabkan Ivana penasaran dan sering mengamati Lachlan saat pulang sekolah.
"Kenapa mereka selalu membuat masalah disekolah jika bisa berprilaku sebaik itu" gumam Ivana heran dari kejauhan, saat ia mengamati dari dalam mobil mewah ayahnya yang di kendarai seorang supir pribadinya.
* * *
"Aku duluan" ujar Lachlan sembari membuka parar rumahnya. "Baiklah, sampai nanti" sahut Felix, "aku akan datang nanti" tambahnya sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
"Buu!! Aku lapar" rintihnya didepan pintu rumah. "Makanlah! Aku sudah siapkan makanan untukmu" Sambut ibu cepat, "basuhlah dulu tubuhmu itu, kenapa kau selalu pulang dalam keadaan kusut seperti ini, apa yang kau lakukan disekolah" tambahnya sambil menyoroti detail anaknya dari rambut sampai ujung kaki.
Lachlan pun bergegas pergi kekamarnya untuk membersihkan dirinya sambil berkata"Kau tahu? Aku hampir terlambat berangkat sekolah pagi tadi dan..."
"Bukankah kau memang terlambat!!! Kepala sekolahmu menelponku pagi tadi" ibu menyela Lachlan yang sedang bicara. "Ehh, dia menelponmu?" jawab Lachlan ambil menghentikan langkah dan menoleh kearah ibunya.
"Aku sudah membangunkanmu berkali-kali, kenapa kau masih bisa terlambat" sang ibu menghela nafas panjang, "cobalah untuk langsung bangun saat aku membangunkanmu, jangan menungguku berangkat kerja dan kau kembali tidur" tegas ibu.
"Iya bu, maaf" Lachlan menunjukan ekspresi bersalahnya.
* * *
Di sisi lain perampok kembali melakukan aksinya, kali ini Toko perhiasan ternama 'Laporta Bijouterie' milik keluarga berkebangsaan prancis Laporta.
"Cepat kumpulkan semua yang ada" bentak salah satu dari orang bertopeng itu pada kariawan toko.
"Kami tak punya banyak waktu" sahut yang lainnya dengan suara sedikit serak. Dengan cepat para kariawan mengumpulkan semua perhiasan yang ada didalam toko.
Isak tangis dan rintihan ketakutan mereka didalam toko pun terdengar jelas sampai keluar, namun tak ada yang berani memasuki toko itu karena ancaman para perampok.
"Jika ada yang campur tangan dalam urusan kami, semua yang ada didalam toko akan menjadi mayat dalam sekejap, termasuk para polisi!!" teriak seseorang dari dalam toko, yang sepertinya adalah pemimpin dari komplotan bersenjata ini.
Mereka benar-benar mendominasi keadaan, bahkan polisi tak bisa sembarangan bertindak jika tidak ingin ada korban jiwa. Langkah pertama yang bisa dilakukan polisi sekarang hanyalah mengevakuasi orang-orang yang masih berada di sekitar lokasi untuk menjauh dari sana.
Lalu seorang polisi berusaha untuk bernegosiasi dengan para perampok, "kami sudah mengepung tempat ini" ujarnya melalui pengeras suara, "lepaskan para sandra dan menyerahlah" tegasnya.
Tiba-tiba seseorang berkemeja putih dikeluarkan dari dalam toko, dengan tangan dan mulut terikat ia berlari kearah polisi dan membalikkan badan dengan kaki bergetar ketakutan. Ternyata dibaju bagian belakangnya mereka menulis sebuah pesan 'kalian tak akan bisa membedakan yang mana kami dan para sandra'