Kanova mengebutkan motornya, berjalan diatas aspal hitam yang sekarang sudah tergenangi air hujan yang terus-menerus turun dari langit abu.
Jalanan kota Jakarta kali ini lebih sepi dari biasanya. Sudah pasti orang-orang saat ini bergantian meneduh, menghindari air hujan, memilih untuk tetap aman.
Pinggiran kota yang biasanya banyak terdapat pedagang kaki lima, kini hanya terdapat beberapa saja di beberapa bagian.
Lampu jalan yang berderet, menyala siang-malam, menerangi jalanan kota yang sepi, redup dan dingin ini.
Dengan kecepatan tinggi, Kanova membelah genangan air didepannya. Membuat percikan air yang menyiprati trotoar jalan.
Tangannya, sudah mulai membiru akibat terlalu lama terkena air dan menahan dingin. Tubuh atletis bersampul seragam sekolah itu tercetak lumayan jelas di bagian lengan serta punggung. Lebar dan tegas.
Sampai di perempatan jalan, Kanova membelokkan setirnya ke kanan. Menancap gas, melaju dengan cepat. Berfikir agar cepat sampai ke rumah.
Kurang lebih setengah jam ia menyusuri jalanan kota Jakarta dengan dipayungi air hujan yang deras. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan gerbang tinggi berwarna hitam menjulang.
Hanya dengan membunyikan klakson beberapa kali, pintu terbuka dengan sosok pria berseragam biru-putih yang susah payah mendorong gerbang besi itu. Satu tangannya memegangi payung, sedang lainnya mencengkram pegangan gerbang, mendorongnya kuat agar bisa membukanya.
Motor merah itu masuk ke dalam bagasi rumah. Di sampingnya, terdapat mobil antik keluaran 90-an milik ayah Kanova.
Kanova segera berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Takut-takut ketahuan jika lewat pintu utama atau pintu depan.
Dalam tubuh yang kedinginan, ia sempat-sempatnya mengambil minuman soda dalam kulkas. Meminumnya cepat-cepat, lalu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.
Namun sayang, seorang gadis kecil tiba-tiba sudah muncul dibalik pintu kulkas yang baru saja Kanova tutup. Sontak dia terkejut, melihat Aruna yang sudah memandanginya dengan wajah kesal menahan amarah.
Tangannya menggenggam sebuah tongkat peri berwarna pink dengan aksesoris yang gemerlapan. Namun tak lama, ia menepuk tongkatnya pada telapak tangan kecil miliknya. Layaknya seoarang preman khas dengan balok kayunya.
"Kenapa, Kaka, baru pulang?" Tanya Aruna dengan suaranya yang lembut itu. Wajahnya marah dengan bibir yang maju kedepan, mengkerut. Matanya tajam namun itu sangat terlihat lucu sekali.
Seketika Kanova terdiam dan terbata melihat kekesalan adik kesayangannya ini.
"KAKA!" Sentak Aruna kembali seraya menudingkan tongkat perinya kepada Kanova.
Kanova sempat kaget.
"Kalo Kaka masih diem. Nanti aku kasih tau mamah ni!" Ancam Aruna dengan suara yang menggemaskan itu.
Seketika Kanova menggeleng kencang, satu jari telunjuknya ditempelkan di depan bibir. Menunjukkan bahwa Aruna tidak boleh melakukan apa-apa dan harus tetap diam.
Tak lama, Kanova membungkuk kan tubuhnya, lalu berjongkok di depan Aruna.
"Aruna cantik, adik Kaka yang paling lucu ... Jangan kasih tau mamah ya. Aruna mau apa? Nanti Kaka beliin! Ayok mau apa?"
Aruna seketika menyipitkan matanya seraya memandang Kanova.
"Ga mau! Aruna ga percaya sama Kaka! Kemarin Kaka bilangnya-
"SSTTT-
Kanova menempelkan jari telunjuknya pada bibir Aruna. Sebab Aruna sempat meninggikan suaranya.
"Yaudah. Kaka beliin satu paket kostum mermaid ya. Tapi Aruna janji. Jangan bilang ke mamah kalo Kaka abis ujan-ujanan. Oke?"
"Mermaid?! BENERAN KA?!" Kanova langsung mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.
Aruna yang semula berwajah kesal menahan amarah, kini malah berubah sangat manis dengan senyuman luasnya itu.
"Yaudah. Aruna ke kamer dulu ya ka. Bye!!!" Dengan langkah lebar, seraya melompat-lompat kecil tanda bahagia. Aruna berjalan menjauh dan melangkah ke tangga, tempat kamarnya berada.
Melihat Aruna yang sudah ia jinakkan, Kanova pun usap dada merasa lega. Dingin yang semula menggerogoti tubuhnya, sempat hilang karena keburu panik melihat kehadiran Aruna.
"Syukurlah." Ucapnya seraya berdiri. Ia kemudian mengambil handuk dan segera berjalan ke kamar mandi.
Hujan masih mengguyur di luar. Kali ini, petir dan guntur tidak sama sekali muncul seperti biasanya. Kali ini, mereka beristirahat terlebih dulu. Merasa iba pada orang-orang yang selalu merasa takut jika ada kehadiran mereka.
Kali ini, hanya air yang mengelilingi bagian kota.
Hingga akhirnya, semakin lama, air hujan yang sebelumnya deras kini berubah menjadi gerimis. Pertanda hujan akan selesai.
Begitupun Kanova yang sudah menyelesaikan mandinya. Ia kemudian berjalan menuju kamar di lantai atas. Dengan kaos serta celana pendek, Kanova menaiki tangga satu persatu. Tangannya berfokus mengusap rambut kepalanya yang basah menggunakan handuk kecil.
Sampai di depan kamar, Kanova segera masuk. Matanya, langsung disambut oleh sebuah bingkai foto kecil yang berada diatas meja belajar, yang didalamnya terdapat foto tiga remaja SMP. Dengan satu gadis berada ditengah, sedang dua pemuda lainnya berada di samping gadis itu.
Di samping bingkai itu, terdapat botol kecil berisi bunga dandelion dan lavender yang diawetkan.
Kanova menaruh handuk di tepi ranjang, sedangkan dirinya bergerak menuju meja belajar yang terdapat satu mangkuk sop jagung kesukaannya. Juga ada beberapa cemilan manis di samping mangkuk tersebut.
Tanpa ragu, ia mengambil sendok lalu segera mencicipi sup kesukaannya itu.
Setelah mencoba satu sendokan, Kanova tersenyum riang. Ia lalu mencoba untuk menghabiskan sup nya.
Di saat Kanova tengah menikmati sup nya. Tiba-tiba ponselnya berdering di dalam saku celananya. Spontan ia terdiam, lalu kemudian mengambil ponselnya dan melihat layarnya.
Sebuah panggilan dari Zellio ternyata.
Ia pun mengangkatnya, lalu menempelkannya pada telinga.
"Ka!"
"Iya kenapa Yo?"
"Yang buat masalah si Evelyn gimana? Aris udah minta tolong ke kita. Saran gue sih, taro cctv aja di lokernya Evelyn. Gimana?"
"Oh itu. Boleh juga sih."
"Besok kita bahas di rumah Aris ya. Aris juga kan besok udah boleh pulang. Gimana?"
"Oke. Yaudah. Gue matiin dulu ya. Nyokap manggil nih."
"Thanks Ka buat waktunya!"
"Iya santai."
Setelah kalimat itu, Kanova segera mematikan sambungan telfonnya. Ia lalu melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Ia menaruh ponselnya di atas meja belajar. Ia terdiam di atas bangku seraya berpangku tangan. Tak lama, ia membuka laci meja yang berada di sebelah kanan. Mengambil sebuah botol kecil yang di dalamnya terdapat bunga dandelion yang di awetkan.
"Apakah gue harus ngelakuin ini lagi?"
Tanya nya dalam hati. Fikirannya berkecamuk di dalam, sedangkan bibirnya tetap mengatup seperti tidak terjadi apa-apa. Kemudian, perasaan nya tiba-tiba saja berubah tidak enak.
Ia kembali menatap bunga dandelion itu lekat. Mengangkat nya hingga sejajar dengan mata, mendekatkannya pada mata cokelat itu.
"Evelyn." Ujarnya tanpa sadar.
Ia mengingat kembali kejadian tadi sore. Saat ia mengantarkan gelang pemberian Aris kepada Evelyn.
Dia masih mengingat bahagianya dia mendapatkan gelang dengan aksesoris berupa bunga lavender. Dimana, lavender adalah bunga kesukaannya.
Senyum lebar itu, terngiang-ngiang di dalam fikiran Kanova. Sangat menggemaskan jika Kanova mengingat kejadian itu lagi. Rasanya, ia ingin membawa Evelyn ke dalam rumah, agar bisa selalu melihat senyum lebar Evelyn yang candu.
Tidak bisa diragukan lagi bagaimana suasana ruangan kamar ini jika ada Evelyn.
Seketika, tanpa ia sadari. Senyuman tipis itu tercetak kala mengingat kejadian tadi sore.
Sungguh menggemaskan.