Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 79 - Perang Dunia Ketiga?

Chapter 79 - Perang Dunia Ketiga?

Mereka menunduk. Tidak ada yang berani memberikan keterangan. Apalagi menatap Bara yang sekarang sedang berada di puncak kemarahannya.

Sampai kedua mata tajam itu melihat pada anggota-anggota dari gengs Miftah yang hanya beberapa orang saja ada di dalam basecamp. Mereka juga memalingkan wajah dari Bara.

Kemudian, sorot kedua mata Bara itu tertuju pada Miftah.

Hanya Miftah yang berani menatap Bara sekarang.

Dan Miftah pun membuka mulutnya dan bicara apa adanya.

"Aku yang menyuruh mereka," kata Miftah, "Alfred dan teman-temannya sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Jadi –" Belum juga Miftah selesai bicara, Bara sudah memotong ucapannya lebih dulu.

Bara bangkit dari duduknya dan langsung menarik kerah baju Miftah dengan kasar.

"Apa? Lo berani-beraninya ya! Gue bahkan belum ninju si Alfred sampai puas." Bara berteriak-teriak di depan wajah Miftah. "Gue gak bisa maafin si Alfred, dia udah keterlaluan. Terus lo sok jadi orang suci ngelepasin dia gituh aja? Di mana otak lo, Mif? Jangan belaga deh lo!"

Bara benar-benar emosi.

Bara pikir, Miftah tidak berhak untuk memerintahkan Alfred dilepaskan tadi.

Semua orang pun mencoba untuk memisahkan, termasuk dengan Rani.

"Kak! Kak Bara, udah." Rani mencoba membujuk Bara agar emosinya mereda.

Rani tahu kalau Bara pasti marah karena Alfred sudah melibatkan Rani dalam permusuhan mereka itu.

"King! Udah, King Bara!"

"King!"

Para anggota Bara juga mencoba melerai.

Hanya Feri yang tidak ikut campur. Dia sekarang malah tersenyum sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya sendiri.

Para anggota Miftah dengan berani melindungi Ketua gengs mereka itu. Tapi tidak ada yang berani bersuara.

Namun, cengkeraman tangan Bara yang melilit kerah baju Miftah tidak bisa dilepaskan dengan mudah. Terlalu kuat.

"Minggir! Minggir lo lo pada! Kalau enggak –" Belum juga Bara meneruskan ucapannya.

Para anggota gengs Bara pun langsung menyingkir. Mereka tahu, jika Bara sudah mengancam seperti itu dengan tatapannya yang memerah, menyala seperti api. Mereka harus segera menurut sebelum Bara memukul mereka dengan telak.

Sebab, satu orang Bara. Bisa memukul mereka sampai babak belur. Bara terlalu berkuasa atas mereka dan memang sangat mereka hormati.

Dan kalau tidak menurut, bisa saja mereka mendapatkan hukuman yang parah nantinya. Paling kejam adalah dikeluarkan dari keanggotaan dan dimusuhi selama-lamanya. Tentulah, mereka tidak mau itu terjadi.

Sekarang, Bara yang tadi sempat menatap teman-temannya dengan penuh amarah. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada Miftah yang masih tak berkutik di hadapannya ini.

Tampak di depan Bara, Miftah begitu santai menanggapi emosi Bara yang sedang tak terkendali ini.

Dan Miftah juga tahu, Bara marah padanya bukan hanya perihal soal Alfred dan teman-temannya yang sudah melakukan tindakan tidak pantas pada Rani dan sudah Miftah bebaskan dari niatan Bara yang akan menyiksa mereka dengan brutal.

Akan tetapi, memang amarah Bara yang sudah terpendam sejak dari dulu pada Miftah. Sekaligus, Miftah menganggap ini sebagai bentuk dari cari perhatiannya Bara di depan Rani.

Miftah pun melirik pada Rani. Miftah yakin kalau Rani sangat merasa berterima kasih karena Bara sampai berani datang untuk menyelamatkannya.

Seorang perempuan, pasti menganggap itu sebagai sikap seorang pahlawan.

"Lo gak tahu, Mif. Tadi si Alfred dan teman-temannya udah sengaja berniat melecehkan Rani. Apa lo terima, hah?" Bara kembali berucap.

Dan Rani pun menangis.

Miftah memang tidak tahu bagaimana bentuk pelecehan yang Alfred dan teman-temannya lakukan pada Rani sebenarnya.

Tapi Miftah juga sudah bertanya pada Rani. Alfred dan Teman-temannya tidak sampai merebut mahkota berharga dari Rani.

Dan menurut Miftah, Alfred memang sengaja melakukan itu karena bukan Rani sasarannya. Melainkan Bara yang mereka incar.

"Bar, gue –" Baru saja Miftah akan berucap, Bara sudah menyela ucapannya. Miftah tidak diberi kesempatan.

Dan raut wajah Miftah sekarang sungguh teduh. Dia memang tidak ingin menanggapi Bara dengan emosi yang sama. Dan Miftah juga sebenarnya sangat kasihan pada Rani.

"Diem, lo!" Bara pun mendorong tubuh Miftah.

Bersyukur, para anggota dari gengs Miftah memegangi Miftah dan Ketua mereka itu tidak sampai terjatuh.

"Pergi lo! Jangan injakkan kaki lo ke basecamp gue," kata Bara sambil menunjuk ke pintu keluar.

Dilihat dari raut wajah semua anggota Miftah yang ada, mereka tampak tersulut emosi. Dan bersamaan juga, para anggota yang lain, yang tadi berdiam di luar. Para anggota gengs Bara dan gengs Miftah.

Mereka pun datang karena keributan yang tengah berlangsung di dalam terdengar oleh mereka yang di luar.

Miftah pun melihat pada Rani. Dia tidak ingin melawan Bara. Bukan karena sekarang dia berada di kawasan tempat Bara tinggal.

Akan tetapi, memang tidak tepat mengurusi Bara untuk saat ini.

Dan Miftah memberikan isyarat mata pada para anggotanya agar tidak ada yang bergerak untuk melawan Bara. Mereka dengan ikhlas menerima pengusiran ini.

Miftah pun berkata pada Rani.

"Ran, ayo pulang! Aku yang anter kamu," katanya sambil mendekati Rani.

Rani yang masih menangis pun, kini menatap pada Bara.

Bara terlihat semakin emosi dan menghalangi jalannya Miftah untuk mendekati Rani.

"Apa maksud lo, hah? Sekarang lo mau sok jadi Pahlawan? Bukannya lo bilang, kalau lo itu gak suka sama Rani? Kenapa lo peduli sama dia?" Bara menatap Miftah dengan senyum ketusnya. "Gue yang bakal anterin Rani pulang."

Rani yang mendengarnya pun sungguh tak percaya dengan itu. Seketika kedua matanya membesar. Menatap tak percaya pada Miftah.

Miftah yang selama ini disukai oleh Rani, lelaki yang dia kagumi, ternyata tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya.

Dan hal itu semakin diperkuat oleh ucapan Miftah sendiri.

Miftah tersenyum, sinis.

"Apa hubungannya peduli sama perasaan suka, hah? Kita itu sesama manusia harus saling tolong menolong. Gak ada tuh yang namanya peduli karena suka. Terus memangnya kalau gak suka, berarti gak peduli gituh?" Miftah jadi emosi. Suaranya pun jadi naik satu oktaf.

Bara menatap Miftah dengan kedua matanya yang menyalak. Tajam dan semakin merah.

"Dan, apa lo yakin mau nganterin Rani dengan kondisi lo babak belur begini? Nanti orang tua Rani pasti nanyain kondisi lo. Ditambah lagi Rani pulang telat ke rumah. Mikir ke sana dong, Bar. Gue gak punya sedikit pun alasan terselubung untuk mendekati Rani. Jadi lo gak usah buang-buang tenaga untuk cemburu sama gue." Miftah menatap Rani sekilas.

Miftah tahu ucapannya barusan itu akan membuat hati Rani terluka.

Dan dilihatnya, Rani hanya diam dan mengalihkan pandangannya. Rani tampak tak sanggung berpandangan mata dengan Miftah yang menatapnya tadi.

Mendengar ucapan Miftah barusan. Bara sedikitnya membenarkan apa yang Miftah ucapkan itu.

Dia ada benarnya juga. Tapi tetap saja. Bara tidak terima jika Rani diantarkan pulang oleh Miftah.

Bara pun menugaskan Hilman dan Tobi untuk mengantar Rani pulang ke rumahnya.